[BAB 5] Coklat Valentine yang sia-sia

14 7 5
                                    

Langkah Nathan tiba-tiba terhenti melihat Aurora yang berdiri menghadap dirinya. Walaupun lelaki itu tidak menguntit, tetap saja Aurora ingin tahu siapa orangnya. "H-halo?"

"Ternyata kamu orangnya. Apa kamu tinggal di sini juga?" tanya Aurora membuat Nathan membalikkan badannya melihat sekelilingnya, dan kemudian mengangguk.

"Apa yang kamu lakukan? Kupanggil Juni bisa hilang masa depanmu!" Nathan meringis mendengar ucapan Aurora yang terdengar galak.

"Aku hanya ingin mengganti uangmu. Kamu membayarkan ongkos bus untukku kemarin." Aurora memutar bola matanya, beruntungnya jam sekolah masih lama. Keduanya sama-sama keluar di pagi buta.

"Ya udah. Mana uangnya?" tanya Aurora meminta uangnya langsung.

Nathan tersenyum dan segera mengeluarkan uang lima ribu rupiah dari kantong celananya. Senyuman Nathan harus kandas seketika ketika ia melihat Aurora yang justru memasukkannya ke dalam kotak amal.

Aurora terlihat memberikan uangnya sendiri kepada supir bus. Nathan masih terdiam tidak percaya. "Yang dikatakan Kaliya rupanya benar juga," bisiknya. Karena kejadian tadi, Nathan menjadi ragu untuk menatap Aurora.

Aurora menyadari sesuatu hal yang berbeda secara mendadak. Ia membalikkan badannya dan melihat Nathan berjalan lebih lambat darinya. "Kenapa kamu begitu lambat? Tidak mau berjalan bersama?"

Penawaran Aurora ditolak oleh Nathan yang menyadari dirinya tidak pantas untuk bersamaan dengan Aurora. Banyak mata yang menatap keduanya tidak nyaman. Tidak sedikit ada yang melempar tatapan tidak suka pada Nathan.

****

Aurora membuka pintu kamarnya. Ia benar-benar hampir tidak bisa tidur karena kejadian kemarin pagi. Saat baru saja keluar, sepasang mata menatap ke ruangan yang sama secara bersamaan.

Aurora dan Amel-adik perempuan Aurora saling menahan badan yang lain. "Ya! Hentikan aku duluan!"

"Tidak! Aku yang duluan!"

"Mau bersuten?" tawar Aurora yang langsung disetujui oleh Amel. Namun, permainan itu dimenangkan oleh Aurora dengan kertas lawan batu. Amel hanya mendesah pelan dan kemudian berjalan ke dapur.

"Kak ... jangan mencipratkan air ke klosetnya! Aku tidak bisa buang air karena semuanya basah!" Aurora yang mendengar itu langsung menutup pintunya membuat Amel tidak bisa mengelak.

Hampir lima belas menit di dalam kamar mandi. Aurora keluar dengan wajah yang begitu segar. Tersenyum tanpa ada rasa bersalah. Amel melihat itu segera masuk sambil memegang perutnya.

"Cepatlah keluar, aku sakit perut."

Aurora bodoh amat dan menyuap sesendok nasi goreng sebelum mengganti pakaiannya ke seragam sekolah.

"Di mana kak Rora!" Amel keluar dengan penampilan yang berantakan, tetapi ia tidak menemukan siapa-siapa di sana. Dengan wajah kesal, ia kembali masuk ke kamar mandi. Beruntungnya tidak ada yang melihatnya.

****

"Nasi gorengnya asin sekali." Aurora meminum sebotol kecil air putih sebelum membuangnya ke tempat sampah. Aurora masih merasakan seret karena asin. Baru saja, mau berbelok ke minimarket, sebuah botol teh muncul di hadapannya.

Kepalanya mendongakkan siapa yang memberikannya itu. Dengan senyum manis, Nathan memberikan sebotol teh. "Minumlah, teh lebih bagus."

"Terima kasih." Aurora bersyukur. Di sisi lain, ia ingin meminta maaf karena perkataannya yang tidak mengenakkan. Nathan masih tersenyum dan mendahului langkahnya mengikuti Leo.

Aurora melihat itu menyusul. Leo membalikkan badannya sambil memberikan ponselnya. "Rora, bisakah kamu memainkan level ini untukku? Bukannya kamu sudah melewati level ini?"

Leo tersenyum. Ia melirik permainan Aurora yang cukup hebat.

"Dia benar-benar bisa bermain game?" bisik Nathan di belakang Aurora. Tatapannya mengarah ke Leo. Namun, lelaki jangkung itu hanya mengedikkan bahunya. Sambil berjalan ke arah halte, Aurora sudah memberikan ponselnya.

"Aku sudah menyelesaikannya. Kamu tinggal cari barang lain di level selanjutnya."

"Sip, terima kasih, Rora. Oh, ya, tali sepatumu."

Ucapan Leo membuat Aurora menengok ke bawah dan segera berjongkok mengikat sepatu. Nathan melihat itu mendapatkan kesempatan berharga.

Dikeluarkannya coklat dengan surat yang digulung. Kantong yang tersisa dimasukkan coklat itu di sana. Leo menjadi gugup ketika Nathan nyaris gagal menaruhnya. Aurora berdiri membuat coklat itu semakin masuk ke dalam.

Leo merangkul Nathan dengan semangat. "Semangat, aku yakin bisa melakukannya."

"Beritahu aku jika dia membacanya."

"Aku pastikan dia memakan coklatnya."

Setelah itu, Leo memilih diam karena dia tahu yang memberikan coklat pada Aurora bukan hanya Nathan tapi juga hampir 90% cowok yang ada di sekolah. Ia tidak ingin membuat sakit hati sahabatnya itu.

****

Aurora menerima keranjang besar dari Juni dan mulai memasukkan hampir puluhan coklat yang memenuhi mejanya dan Kaliya. Meski begitu, ia tidak bahagia. Muka datar yang tidak diinginkan para jantan selalu ditampakkan.

Inilah alasan kenapa Aurora selalu mencoba datang pagi sekali ke sekolah. "Bolehkah aku minta satu?" tanya Juni membuat Aurora mengernyitkan alis.

"Bukankah kamu ingin menjaga berat badan."

"Bodoh amat. Yang penting badanku sehat. Lagi pula kamu tidak pantas mendapatkan coklat dari mereka." Perkataan Juni seketika membuat beberapa cowok di sana merasa tersayat.

Juni kalau sudah menyindir. Sakitnya bukan main. "Bisakah kamu menghargai semua yang ada di sini?"

Leo yang baru saja mengucapkan itu seketika menjadi takut karena melihat Juni mendekati mejanya. Pukulan pada mejanya nyaris membuat baut hampir terlepas. "Kamu mengatakan apa tadi?"

"Tidak ada."

Aurora terdiam ketika menyadari ada satu coklat di tasnya. Ingin sekali ia memasukkannya ke dalam keranjang, tetapi coklat itu satu-satunya yang memiliki surat di sana.

"Dari siapa ya?" bisiknya yang terdengar oleh Kaliya.

	"Dari siapa ya?" bisiknya yang terdengar oleh Kaliya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Stupid Cupid [Terbit✓]Where stories live. Discover now