[BAB 7] Terima kasih, hujan!

11 5 1
                                    

"Aku pulang duluan," ucap Juni sambil merangkul dengan ganas lelaki yang lebih tinggi darinya. Jonathan meski begitu tetap sayang sama kakak seniornya. Tanpa Juni, ia tidak bisa menjadi atlet Karate internasional.

"Oh, iya ... kenapa kakak tidak ikut pertandingan?" tanya Jonathan setelah sampai di rumah Juni. Keduanya duduk di halaman sambil memandang. Juni menyenggol lengan berotot yang lebih muda.

"Aku memberikanmu kesempatan untuk mendapatkan medali emas terbaikmu." Jonathan menatap Juni tidak percaya. Karena Juni adalah tipe orang yang tidak akan memberikan kesempatan ke orang lain.

"Tapi, ingat ... kamu harus melakukannya demi kakakmu ini," ucap Juni kemudian memberikan minuman kepada Jonathan. Jonathan mengangguk kuat.

Sebuah pintu terbuka menampilkan adik kandung lelaki Juni. Tatapannya benar-benar rapuh seperti belum dikasih makan. Namun, pandangannya berbeda ketika menyadari ada Jonathan di sana. "Bang, akhirnya beneran juga mau menemaniku."

Juni menggelengkan kepalanya dan memberikan sisa cemilan kepada adiknya. "Juan, makanlah. Bawa Jojo ke dalam."

Juan dengan semangat menarik kakak kesayangannya ke kamar. Ia tidak memiliki siapa-siapa selain Jonathan, terlebih lagi ketiganya begitu dekat sejak kecil. Orang tua masing-masing tidak mempermasalahkan itu.

****

Aurora tertawa pelan melihat Juni datang dengan wajah kusam. Di tangannya ia menarik sebungkus plastik besar berisikan cemilan. Kaliya yang baru saja datang bertepuk tangan dengan kehebatan Juni yang menyempatkan waktu untuk membeli cemilan sebanyak itu.

"Ya, sejak kapan kamu bisa membeli sebanyak ini?"

"Aku meminta si Jonathan membelikan subuh tadi," ucap Juni dengan enteng dan mulai membawa tas besarnya menyusul kedua temannya yang hanya membawa tas kecil. Bahkan baju olahraganya terlihat seksi dengan postur bugarnya.

Suara peluit membuat semua murid berbaris dengan rapi sesuai kelasnya. "Jika ada yang salah hitungan akan bapak suruh ulang dari awal."

Perintah kepala sekolah membuat semua orang mematuhinya. Guru olahraga dengan perut buncitnya mencoba memimpin senam, namun tidak bertahan lama karena kelelahan tidak bisa split.

"Juni! Ayo!" Juni yang mendengar lelaki berotot maju mengajaknya itu refleks melempar sepatunya dan mengenai punggung lelaki itu. Juni dengan wajah galak mendekati untuk mengambil balik sepatunya.

"Ingat! Ryan ... kamu mengejekku lagi ... bisa-bisa masa depanmu hilang tak tersisa," ucap Juni pura-pura ingin melayangkan. Ryan menggaruk lehernya yang tidak kapan. Sejak kapan dirinya mengejek gadis karateka itu.

****

Hampir dua jam semua murid melakukan senam. Siapa yang menyukainya? Tidak ada. Kenapa para guru buncit ini terobsesi dengan senam? Padahal kalori tidak ada yang keluar.

"Satu!"

"Dua!"

"Tiga!"

"Tiga!" Suara yang telat membuat semua murid berhenti seketika. Puluhan pasang mata menatap Julio yang terciduk terlambat melakukan kesalahan. Saat kepala sekolah ingin meniup peluit. Ryan yang berdiri di podium depan mengangkat tangannya.

Semuanya tersenyum termasuk Julio. Tetapi senyum Julio seketika pudar. "Semuanya balik ke ruangan masing-masing. Kecuali ... Julio. Kamu harus mengulang senamnya. Bagaimana bapak? Apakah deal?"

"Deal, nak. Silakan kembali ke kelasmu."

Julio menatap kepala sekolah dan Ryan yang menepuk bahunya memberikan semangat. "Kamu pasti bisa!"

"Bisa mati? Iya!"

Kepala sekolah berdehem dan mulai membunyikan peluitnya. Julio mau tidak mau menyelesaikan senamnya hingga menghabiskan waktu 45 menit. Lelaki yang sudah cukup kurus menjadi tambah kurus. Dengan badan yang letih, Julio nyaris tertidur di lapangan dengan panas terik.

****

"Hello, everybody!"

Aurora yang sedang mengoleskan sunscreen terkejut dengan kehadiran Juni yang mendadak seperti Jelangkung. Kaliya membawa tiga buah ubi manis yang masih hangat. Uapnya kelihatan mengepul.

"Wah, keren sekali. Apakah sekolah yang menyiapkan?" tanya Juni membuat Kaliya mengangguk. Gadis itu mengambil sendok plastik karena ubi masih panas. Berbeda dengan Juni yang langsung melahapnya.

"Ya, Juni! Masih panas ... bisakah kamu bersabar?" Juni hanya tertawa melihat Aurora makan dengan anggun, sesekali mulutnya meniup ubi. Ubi yang mereka makan adalah ubi oren yang teksturnya begitu manis.

Belum selesai melahap ubi, suara keramaian terdengar di luar. Banyak murid yang berlari masuk ke lorong kelas. Hujan mengguyur kota dengan cepat. Bahkan begitu deras membuat para guru tidak bisa menyelamatkan podium.

***

Banyak murid yang begitu santai. Hampir semuanya sangat senang mendengar kalau kegiatan olahraga akan ditiadakan. "Ingat! Besok kita ada permainan seru mengasah motorik kalian! Pastikan tidak ada yang ketinggalan pakaian seragam olahraga! Silakan beristirahat, sampai jumpa di malam hari."

"Tim lain sudah berlatih, bahkan mereka berlatih lagi."

"Lagu apa yang kamu bawakan?" tanya Leo.

"Sambala sambalado. Mulut bergetar. Lidah bergoyang." Leo yang mendengar nyanyian Nathan langsung minggat dari ruangannya membuat Kaliya dan Juni yang lewat penasaran dengan ekspresi Leo.

Keduanya mengintip dan tertawa pelan.

"Goyang terus!" teriak Juni melewati ruangan Nathan seolah tidak mengetahui apa-apa. Kaliya melihat kelakuan Juni jadi ikutan pura-pura juga.

 Kaliya melihat kelakuan Juni jadi ikutan pura-pura juga

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.
Stupid Cupid [Terbit✓]Onde histórias criam vida. Descubra agora