Bab 1 : Kehidupan yang Berubah

28 2 1
                                    

Bab 1: Kehidupan yang Berubah

Laras duduk di ruang tamu, menatap foto keluarga yang menghiasi dinding. Mereka tampak begitu bahagia di masa lalu, ketika Raka memiliki jasa travel dan bekerja di kapal. Namun, kebahagiaan itu seakan hilang sejak kecelakaan mobil yang dialami Raka beberapa bulan lalu.

“Mama, apa kabar? Kamu terlihat sedih,” tanya Safira, anak pertama Laras, yang baru saja pulang dari sekolah.

“Oh, tidak apa-apa, sayang. Hanya sedikit lelah, itu saja,” jawab Laras, berusaha tersenyum.

“Mama, aku tahu ada yang salah. Apakah ini tentang Papa?” tanya Zhafira, anak kedua Laras, yang duduk di sebelah ibunya.

Laras menarik nafas dalam-dalam, lalu berkata, “Sebenarnya, sejak kecelakaan itu, banyak hal telah berubah. Biaya rumah sakit dan ganti rugi membuat kita kesulitan finansial. Tapi yang paling membuatku khawatir adalah perubahan sikap Papa.”

Di kamar tidur, Laras menggali laci meja Nakas, mencari bukti yang mungkin terkait dengan perubahan sikap Raka. Tiba-tiba, ia menemukan sebuah surat yang ditulis oleh mantan Raka, Nayla. Isinya mengisyaratkan bahwa mereka telah menjalin hubungan kembali.

Laras merasa pahit. Air mata mengalir deras di pipinya, tetapi ia berusaha tetap tegar demi anak-anaknya. Ia memutuskan untuk menghadapi Raka tentang hubungannya dengan Nayla, meskipun ia takut akan konsekuensinya.

Malam itu, ketika Raka pulang, Laras menatapnya tajam dan berkata, “Raka, kita perlu bicara. Aku menemukan surat ini.” Laras menunjukkan surat dari Nayla.

Raka terlihat gelisah, “Laras, aku bisa menjelaskan...”

“Jelaskan apa, Raka? Apa yang harus kujelaskan kepada anak-anak kita tentang mengapa ayah mereka kembali berselingkuh dengan mantannya?”

Raka menunduk, tidak bisa menjawab pertanyaan Laras. Suasana di rumah menjadi tegang, dan kebahagiaan yang pernah mereka miliki kini terasa semakin jauh.

Laras merasa bingung dan marah dengan penjelasan Raka yang tidak jelas. Dia berdiri tegak, menatap Raka dengan tajam, dan berkata, “Jadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang, Raka? Apakah kamu akan terus menyakiti kami dengan egoismu?”

Raka, yang terpojok oleh pertanyaan Laras, hanya bisa diam. Dia merasa bersalah, tetapi seolah tidak tahu bagaimana cara memperbaiki kesalahannya.

Sejak malam itu, Raka mulai berubah. Dia menjadi lebih egois dan sering marah-marah. Setiap kali Laras mencoba berbicara dengannya, dia hanya menjawab dengan nada ketus dan tidak pernah menunjukkan senyum manis yang pernah membuat Laras jatuh cinta.

Suatu hari, Laras sedang menyiapkan makan malam untuk keluarga. Raka pulang lebih awal dari biasanya, wajahnya tampak muram. Laras mencoba berbicara dengannya dengan lembut, “Raka, bagaimana hari ini? Kamu pulang lebih awal.”

Raka menjawab dengan sinis, “Kenapa? Apa kamu tidak senang aku pulang lebih awal?”

Laras menghela nafas, “Tentu saja aku senang. Aku hanya ingin tahu apakah semuanya baik-baik saja.”

Raka menatap piring makanannya, lalu berkata dengan dingin, “Semuanya baik-baik saja. Aku hanya lelah.”

Mereka makan dalam suasana yang hening. Safira dan Zhafira merasa canggung dengan suasana tersebut, tetapi mereka berusaha untuk tetap makan.

Setelah makan malam, Laras mencoba untuk mendekati Raka yang sedang duduk di ruang tamu. “Raka, kita perlu bicara tentang apa yang terjadi akhir-akhir ini. Kita tidak bisa terus seperti ini,” kata Laras dengan lembut.

Raka menatap Laras dengan marah, “Apa yang ingin kamu bicarakan? Aku sudah cukup stres dengan pekerjaan dan masalah lainnya. Aku tidak butuh drama tambahan!”

Air mata Laras mulai mengalir, tetapi ia berusaha untuk tetap tegar. “Kita perlu menemukan solusi, Raka. Kita harus berusaha untuk keluarga kita.”

Raka bangkit dari kursinya, “Aku sudah berusaha! Tapi apa yang bisa kulakukan jika kamu terus menghakimi aku?!” Dia berlalu meninggalkan Laras yang terpaku di ruang tamu.

Laras menangis pelan, berharap bahwa suatu hari nanti, Raka akan kembali menjadi suami yang penyayang dan perhatian seperti dulu.

Malam itu, Laras duduk sendirian di ruang tamu, menatap foto keluarga mereka di dinding. Dia merindukan hari-hari ketika mereka semua bahagia, sebelum semua masalah ini dimulai.

Zhafira datang menghampiri, duduk di samping Laras dan menggenggam tangannya. “Mama, jangan sedih. Kami selalu ada untuk Mama,” ucap Zhafira dengan lembut.

Laras menatap Zhafira, tersenyum lemah. “Terima kasih, sayang. Mama sangat beruntung memiliki kalian.”

Pagi berikutnya, Larasmemutuskan untuk berbicara dengan Raka lagi. Dia menemui Raka di garasi, yang sedang mengecek motor untuk bekerja.

“Raka, kita perlu bicara,” ucap Laras dengan suara yang mantap.

Raka menatap Laras, tampaknya sedikit terkejut dengan keberanian Laras. “Apa lagi, Laras?”

Laras menarik nafas dalam-dalam, “Kita perlu menyelesaikan masalah ini, Raka. Kita perlu menemukan cara untuk memperbaiki hubungan kita, untuk kebaikan kita dan anak-anak.”

Raka terdiam, tampaknya sedikit terkejut dengan keberanian Laras. Dia menatap Laras, kemudian menunduk, seolah sedang mempertimbangkan kata-kata Laras.

Mengambil napas dalam-dalam, Laras melanjutkan, "Kita perlu berbicara, Raka. Kita perlu berbicara tentang hubungan kita, tentang anak-anak kita, tentang masa depan kita."

Raka menatap Laras, tampaknya terkejut dengan keberanian Laras. Dia menunduk, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku... Aku tidak tahu, Laras. Aku merasa terjebak. Aku merasa seperti aku tidak bisa bernapas."

Laras merasa hatinya hancur mendengar pengakuan Raka. Dia merasa sedih, tetapi dia juga merasa lega bahwa Raka akhirnya membuka diri. "Kita bisa mencari solusi bersama, Raka. Kita bisa mencoba konseling, atau mungkin kita bisa mengambil waktu sejenak untuk memikirkan apa yang sebenarnya kita inginkan."

Raka tampak ragu, tetapi dia tidak langsung menolak ide Laras. "Aku... Aku akan memikirkannya, Laras."

Laras merasa sedikit harapan. "Baik, Raka. Itu sudah cukup untuk saat ini."

Mereka berdua berdiri di garasi dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Mereka berdua merasa kelelahan, tetapi mereka juga merasa sedikit harapan. Mungkin, hanya mungkin, mereka bisa menemukan jalan keluar dari masalah ini. Mungkin mereka bisa memperbaiki hubungan mereka, tidak hanya untuk mereka berdua, tetapi juga untuk anak-anak mereka.

Tetapi untuk saat ini, mereka hanya bisa berharap. Mereka hanya bisa berharap bahwa segalanya akan menjadi lebih baik, bahwa mereka bisa menemukan jalan keluar dari masalah ini, bahwa mereka bisa kembali menjadi keluarga yang bahagia seperti dulu.

Dalam beberapa hari berikutnya, Laras dan Raka mencoba untuk menjalani kehidupan sehari-hari mereka meskipun suasana yang tegang di rumah. Laras mencoba untuk menjaga semangat anak-anaknya, Safira dan Zhafira, sementara Raka tampaknya terus berjuang dengan perasaannya.

Pada suatu sore, Laras memutuskan untuk mengajak anak-anaknya ke taman bermain di dekat rumah. Mereka berjalan bersama, menikmati sinar matahari dan udara segar. Di taman, Laras melihat anak-anaknya tertawa dan bermain, dan dia merasa hatinya hangat.

Sementara itu, Raka pulang lebih awal dari pekerjaannya dan menemukan rumah kosong. Dia merasa kesepian dan mulai merenung tentang kehidupan yang telah ia jalani. Raka menyadari betapa penting keluarganya baginya dan betapa ia merindukan kebahagiaan yang pernah mereka miliki.

Ketika Laras dan anak-anak kembali ke rumah, mereka menemukan Raka duduk di ruang tamu, tampaknya sedang menunggu mereka.

"Laras, Safira, Zhafira, kita perlu bicara," kata Raka dengan suara lembut namun mantap.

Mereka duduk bersama di ruang tamu, dan Raka mulai berbicara, "Aku tahu aku telah membuat kesalahan. Aku tahu aku telah menyakiti kalian semua. Tapi aku ingin memperbaikinya. Aku ingin kita kembali menjadi keluarga yang bahagia seperti dulu."

Air mata mengalir di pipi Laras, dan anak-anaknya tampak terkejut namun lega mendengar pengakuan Raka.

"Bagaimana kita akan melakukannya, Papa?" tanya Safira, penuh harapan.

Raka menatap keluarganya dengan cinta, "Kita akan mencari bantuan. Kita akan mencoba konseling keluarga, dan aku akan berusaha lebih keras untuk menjadi suami dan ayah yang lebih baik."

Laras menggenggam tangan Raka, "Kita akan melalui ini bersama, sebagai keluarga."

Dalam kehangatan cahaya senja, keluarga itu merasa ada harapan baru. Mereka tahu jalan yang akan mereka tempuh tidak akan mudah, tetapi mereka bersedia untuk berjuang demi kebahagiaan mereka bersama.

Bersambung

Selingkuh karena CLBKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang