01. Luka; Tak berduka

719 170 83
                                    

-ˋˏ ༻✿༺ ˎˊ-

    Untaian kata kias bermakna telah menghanyutkan jiwa dan raga diiringi alunan musik modern menggambarkan perihal keadaan. Begitupun lukisan indah bernuansa alam yang tengah diberi detail kecil-kecilan agar terlihat lebih elok dipandang seluruh mata.

Palet cat putih itu kini dinodai berbagai warna, Cakra suka sekali mencampur antar dua cat hingga mempunyai warna sedikit berbeda. Kendati demikian, ia tak terlalu suka warna mencoreng yang membuat kedua jelaganya menyipit akibat terlalu mengganggu penglihatan.

"Cakra!" lagi-lagi, panggilan yang menumpahkan trauma pada salah satu titik kehidupan membuat seluruh tubuh Cakra bergetar ketakutan. "Melukis lagi? Lihat nilai yang tercetak di kertas hasil ujian akhir semester milikmu! Betapa menjijikan kehadiran angka 80 itu."

Haris—pria setengah baya, lengkap dengan balutan jas hitam serta tata letak dasi yang masih terlihat rapi itu menampakkan wajah amarah yang kian membara. Apalagi disaat Cakra memilih mengabaikan lalu diam.

"Sudahi hal tidak berguna yang kau tanam dari dulu! Kamu pikir melukis bisa membantumu untuk belajar lebih giat dan mendapatkan rangking satu? Contoh kakakmu! Tak pernah sekalipun Ayah lihat dia bermain dengan cat, sebab hal itu dia bisa mendapat ranking satu. Kamu? Apa yang harus Ayah banggakan dari dirimu?"

Geram—Cakra tak mampu membalas. Dirinya sudah terlanjur lelah akan makian. Semestinya Haris menganggap nilai yang tercetak 80 itu masih ditingkat wajar, pasalnya rata-rata nilai kkm itu berada di angka 70. Selebihnya buruk.

"Saya sudah berusa–"

"Usaha apa dengan melukis tidak jelas?" sembur Haris memotong bicara. "Kamu memang pintar dalam bidang seni, tapi jangan sampai lupa memprioritaskan pelajaran lain."

Cakra menghela nafas pasrah, terdiam seribu bahasa. Pun, untuk apa berdebat jika itu hanya bisa membuat lisan lelah? Bagi Cakra, hidup bukan untuk mempermasalahkan satu soal. Ribuan bahkan jutaan nestapa akan datang suatu saat, dan kamu fokus hanya di satu soalan saja?

Semburat jingga kekuningan dari luar jendela menggambarkan betapa jauh perbedaan antara rumah tanpa tembok penyangga yang tak sempurna. Tersimpul; bahwasannya setiap kesempurnaan, selalu memiliki kekurangan. Tidak ada yang benar-benar sempurna di dunia fana.

"Kamu tidak mendengarkan setiap kata yang saya lontarkan, Cakra?" kala kedua sorot mata milik Cakra menatap datar wajah Haris, amarah pria itu kembali meronta. Tidak suka bila Cakra hanya diam tak bersuara. "Apa yang kau lakukan? Sebegitu pentingnya lukisan daripada Ayahmu yang sekarang sedang berbicara?"

Tanpa dijelaskan pun seharusnya Haris sudah tau, bahwa Cakra masih tak bisa mencerna kehidupan yang berubah 90° sejak tahun 2020.

"Ayah pikir aku tidak muak? Setiap kali hidupku sedikit tentram, Ayah pasti muncul bersama amarah. Membahas soal nilai, nilai dan nilai. Selepas itu membandingkan kemampuanku dengan Kak Heno, jelas itu sungguh berbeda!" manik caramel itu kini mulai berkaca.

"Tidak bisakah sekali saja Ayah membiarkanku tenang? Pikiranku masih berantakan. Dan aku butuh melukis untuk menuangkan segala rasa gundah yang tertahan."

Hening melanda, membiarkan deru nafas mereka saling bersahutan. Tatkala sore berganti malam—cengkraman yang begitu dingin dihujani oleh keringat kembali menyiksa Cakra untuk sekedar bernafas. Begitu kuat hingga saluran nafas seperti tak lagi terbuka lebar.

𝐓emaram | ✓Where stories live. Discover now