N!TW---18: Keputusan

42 18 126
                                    

Di dalam kamar, Hans telah mendudukkan Angel di kasurnya. Dia menyandarkkan tubuhnya ke tembok dan menutupi kaki dengan selimut, begitu pula Hans. Dia duduk di samping Angel.

Angel masih menangis, sesekali menutupi wajah. Omnya tersebut hanya mendiamkan saja sebelum beliau berbicara kembali. Akhirnya, usai Angel tenang. Hans menatap Angel seraya tersenyum.

“Kamu baru sekali menangis seperti tadi. Kenapa? Danu, menyakitimu?” tanya Hans.

“Dia tidak menyakitiku, Kak. Aku menangis, karena nggak tahu lagi mau apa, walau menangis juga tidak menyelesaikan masalah. Namun, apakah ini hal baik, Kak? Kalau pun Papa dan Mama pisah, apa yang bisa aku lakukan? Aku nanti akan ikut Mama, jujur aku sudah nggak kuat, Kak. Di sisi lain lagi, aku mau Papa berubah sedikit saja, tapi aku sadar kalau watak memang nggak bisa diubah,” kata Angel memulai bercerita. “Dari kecil aku ingin disayang Papa, dilatih berdiri, jalan, dan diobatkan dengan ikhlas. Namun, apa, Kak? Semuanya sia-sia karena berawal dari keterpaksaan. Hanya Mama yang bisa melakukan itu, Kak. Namun, beliau nggak dapat berbuat lebih untukku karena tekanan dari Papa lalu aku juga yang disalahkan. Angel pun mungkin harus makin usaha, tetapi dalam usaha tersebut, aku butuh mereka mendukungku, Kak. Bukan menuntutku.”  

Cerita Angel membuat Hans menghela napas. Dia masih tersenyum menatap keponakannya tersebut.

“Papamu nggak sejahat itu, kok. Dia sayang denganmu, Ngel,” sanggah Hans, tidak mau memupuk rasa kebencian semakin dalam di hati Angel. “Katamu, manusia paling sabar itu adalah cowok. Papamu sabar, lho, Ngel.”

Sanggahan Hans membuat Angel tertawa kecil, lantas dia menghela napas juga.

“Memang, Kak. Namun, yang aku dapat malah dari Kak Hans. Aku tahu, Papa sabar, kok, denganku. Sabar menghancurkanku perlahan, aku juga tahu Papa baik. Papa merawatku, tetapi tega menyakitiku. Nggak ada, kok, anak perempuan yang menjelekan papanya. Karena satu, Kak--cintanya lebih besar daripada itu. Bodoh, ya?” ucap Angel.

Perkataan Angel membuat Hans tidak bisa menjawab lagi. Dia terlalu kesakitan untuk hal ini. Hans pun hanya bisa mendekap tubuh Angel dalam pelukannya.

“Sudah, ya, ikuti saja alurnya. Kamu harus menghormati keputusan Mama apa pun itu,” ucap Hans. “Kamu istirahat, ya. Tidur! Kak Hans temanin, aku dekap dari belakang.”

Perintah Hans hanya direspons anggukan oleh Angel, lantas setelah melepas pelukannya, dia menurunkan tubuh lalu mengubah posisi tidurnya menyamping membelakangi Hans. Melihat hal tersebut, Hans segera saja mengubah posisi juga dan mendekap tubuh Angel dari belakang dengan sesekali mengelus rambut Angel lembut.

“Ngel, kamu harus bisa, ya, lewatin ini semua,” ucap Hans, tetapi tak direspons oleh Angel. Mengetahui hal tersebut, Hans tersenyum hingga pada akhirnya dia bangkit dari kasur Angel kemudian menyelimutinya. Angel nampak begitu tenang dalam tidurnya, Hans pun mencium kening Angel dengan tulus.

Usai keluar dari kamar Angel, Hans langsung ke ruang tamu. Melihat Salsa dan Wanti ada di sana, Hans duduk saja di samping Salsa.

“Bagaimana keadaan Angel, Mas?” tanya Salsa memulai obrolan.

Pertanyaan Salsa membuat Hans menekan pelipisnya. Jujur, dia tidak habis pikir mengapa keponakannya jadi seperti itu. Meski pun Hans tahu, dia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan Angel dari situasi yang menakutkan ini. Namun, dia akui. Hans sangat gagal karena terpisah jarak. Cukup lama dia menekan pelipis dan menghela napas, Hans menatap Wanti lekat.

“Apa yang Mbak Wanti lakukan pada Angel?” ucap Hans. “Sehingga dia menjadi seperti ini?”

Respons Wanti mendengar pertanyaan itu hanya tersenyum getir lalu dia membalas tatapan adiknya. 

*****

Bukan Yang SalahWhere stories live. Discover now