N!TW---21: Perihal Menyakiti

17 6 0
                                    

Angel pun masih menatap Hans dengan intens, lantas dia meraih kedua tangan Angel untuk Hans genggam. Sang empunya sudah berganti posisi duduk menyamping menghadap Hans.

“Kenapa? Apa yang salah dari perkataanku?” tanya Hans masih dengan posisi yang sama.

Pertanyaan Hans sungguh membuat hati Angel sangat terluka, cowok yang ada dihadapannya sekarang ini apa sedang tidak peka atau memang dia tidak mengerti? Akhirnya, Angel menghela napas dan menundukkan kepala.

“Aku benci sama diriku sendiri, Kak. Bisakah dia tulus kepadaku, sedangkan aku menerimanya saja belum mampu. Jangan bawa-bawa Tuhan, Kak. Nasihat itu masih aku ingat. Kita di sini bicara tentang menyakiti, Kak,” sanggah Angel lalu menatapnya kembali.

Sanggahan Angel benar-benar membuat hati dan pikiran berkecamuk. Dia memang cerdas. Penggunaan logikanya sangat panjang meskipun hati juga mengikuti. Memandang Hans masih terdiam Angel mendesah.

“Kok, diam, Kak? Kak Hans nggak ada jawaban? Kak, Angel dari kecil sudah diajarkan Mama begini; jika kamu disakitin orang, mungkin kamu telah menyakiti juga tanpa kamu sadari. Jadi jangan pernah merasa kamu orang yang satu-satunya tersakiti sedunia. Namun, apakah nasihat itu masih berlaku? Atau aku yang terlalu lemah, Kak?” kata Angel.

Setelah terdiam cukup lama untuk menyerapi kalimat Angel, Hans tersenyum,  sesekali mengelus kedua punggung tangan Angel dengan lembut.

“Meskipun kamu membencinya, Ngel, nyawa kamu tetap di sini dalam ragamu dan dirimu sendiri ada di sana walau juga jauh,” jawab Hans, meski dia tahu keponakannya ini telah kehilangan dirinya sendiri karena obsesi ingin menjadi seperti orang lain. “Dia tulus, Ngel. Meskipun kamu nggak mengakuinya sekarang, kamu rindu ‘kan dengan dia? Untuk nasihat Mama, benar, kok. Masih berlaku dan itu semua tidak menunjukkan orang yang lemah ataupun bodoh.”

Hans pun berusaha menjelaskan. Berhadapan dengan sanggahan Angel memang butuh analisa yang tepat agar rasa penasaran dan memberontaknya tidak semakin menjadi-jadi.

Mendengar hal tersebut Angel tersenyum. Namun, senyum itu bukan senyuman biasa. Senyuman meminta diyakinkan supaya hatinya tidak semakin bertanya-tanya.

“Aku rindu, Kak. Lantas jika itu bukan hal bodoh, mengapa aku selalu disakiti?” tanya Angel.

Hans menghela napas dengan pertanyaan Angel dia lalu tersenyum.

“Angelika Mentari, orang yang sering menyakiti itu justru mempunyai rasa iri. Iri karena dia yang disakiti selalu bisa kuat menahan rasa sakit itu, sedangkan mereka? Yang sering menyakiti belum tentu sekuat itu. Sudah, ya. Keponakanku orang yang kuat. Sana, gih! Beres-beres, belajar dan besok sekolah. Jangan lupa salat isya, ya. Nanti kalau kesusahan mau wudu panggil Salsa, oke?” perintah Hans lalu mencium kening Angel.

Namun, baru saja Hans berbalik badan tangan kanannya dicekal oleh Angel.

“Ada apa lagi?” tanya Hans menoleh.

“Tenangin Mama, ya, Kak. Angel masih butuh sendiri dulu,” pinta Angel lalu melepaskan tangannya dan menatap Hans.

Permintaan Angel hanya direspons anggukkan oleh Hans, kemudian dia keluar kamar.

*****

Setelah salat isya hingga Hans dan Salsa pulang. Angel tinggal merapikan meja belajarnya sesudah beres merapikan baju-bajunya sampai barang yang lain. Dia ingin menata buku pelajaran besok. Namun, ketika dia mengambil bukunya dari dalam plastik hitam tiba-tiba Angel menemukan kotak berwarna biru lalu dia membukanya.

“Jam tangan?” tanya Angel sendiri lalu tersenyum. “Oh, iya. Buat Mas Ray satu.”

Angel pun kemudian meletakkan kotak tersebut di atas meja dan mengambil jam tangan yang berwarna hitam. Angel memandanginya dengan sesekali tersenyum.

“Melihat jam ini aku teringat, Mas Ray pernah marah besar karena temannya menyakitiku dengan mengejek. Iya, mungkin aku bisa diam. Namun, tidak dengan Mas Ray. Hal itu sudah cukup membuat aku tahu jika dia menyayangiku lebih dari dirinya sendiri lewat perlakuannya tanpa dia berkata padaku. Benar kata Kak Hans, orang yang menyakiti itu iri. Sebab, orang yang sering dia sakiti tidak tumbang. Jadi mengapa harus nangis? Namun, apakah Papa iri padaku sehingga dia terus menyakitiku?” kata Angel tak terasa air matanya menetes kembali. Ya, dia menangis karena luka tersebut belum terkontrol sepenuhnya. “Apakah … aku pernah menyakiti Papa?”

Bukan Yang SalahDonde viven las historias. Descúbrelo ahora