N!TW---25: Luka Berlapis

17 5 0
                                    

Sementara itu Bu Fitri yang sudah memeriksa keadaan Angel sedang berbincang dengan Bu Kenanga perihal tersebut. Bu Kenanga menghela napas ketika beliau tahu Angel telah depresi tanpa dia sadari. Mimisan itu bertanda dia cukup lelah dengan beban yang ia pikirkan selama ini, ibaratnya fisiknya sudah berontak meminta untuk diringankan.

Bu Kenanga, usai mendapat penjelasan lengkap dari Bu Fitri. Segera saja dia menghubungi Demian Suryatama, dokter psikiater kenalannya supaya menangani Angel biar tidak terlambat. Sekarang ini, beliau bertekat untuk men-support Angel agar dia tidak semakin nge-drop.

Saat Bu Fitri selesai memberi obat untuk Angel lewat infus, beliau pamit terlebih dahulu ke rumah sakit, sedangkan UKS untuk sementara waktu dijaga oleh Bu Kenanga.

Ketika Bu Kenanga masih sibuk membuat burung kertas, Angel pun siuman. Mengetahui hal tersebut, Bu Kenanga dengan membawa burung kertas tersebut menghampiri Angel dan duduk di samping brankar.

“Hai, Angel. Bagaimana keadaanmu?” tanya Bu Kenanga dengan lembut sembari mengenggam tangan kanan Angel.

Mendapat perlakuan manis dari sang guru, Angel tersenyum. Entah mengapa, saat Angel melihat kedua bola mata Bu Kenanga yang menyorot kepadanya ada ketulusan di sana.

“Angel baik-baik saja, Bu. Saya tidak apa dan nggak perlu diinfus begini,” jawab Angel.

Mendengar perkataan Angel, Bu Kenanga menggeleng.

“Nggak, Angel. Kamu lagi lelah, kamu tidak baik-baik saja. Cukup jangan berpura-pura. Saya tahu itu. Silakan berbagi dengan saya. Kamu mau?” tawar Bu Kenanga. “Kamu anak cerdas, Ngel. Kamu harus menyelamatkan dirimu sendiri.”

Pernyataan Bu Kenanga membuat Angel tersenyum sarkas, kemudian menatap Bu Kenanga sendu.

“Dapatkah Bu Kenanga saya percaya, sedangkan, orang tua saya saja sudah  menghilangkan kepercayaan itu?” sanggah Angel.

Deg!

Sanggahan Angel membuat Bu Kenanga terkejut, bagaimana mungkin orang tua yang seharusnya seorang anak percaya. Malah muridnya ini sudah hilang kepercayaan terhadap mereka?

“Kamu bisa percaya dengan saya, apapun bisa kamu ceritakan dengan saya. Jangan takut mempercayai, sebab tidak semua orang seperti itu, Ngel. Yuk! Berbagi dengan saya, nanti kalau saya bisa bantu, saya bantu, ya?” bujuk Bu Kenanga. Emosi Angel yang dipendam harus bisa pelan-pelan keluar sebelum dia bertemu dengan psikiater.

Angel pun menghela napas mendengar perkataan Bu Kenanga lalu dia semakin erat mengenggam tangan kanan beliau. Merasakan hal itu, Bu Kenanga tersenyum.

“Keluarkan saja, Ngel. Jangan ditahan, saya tahu kamu orang yang kuat. Namun, orang kuat bukan orang yang selalu memedam. Menangis saja, menangis di sini sepuasmu setelah itu baru cerita, ya?” pinta Bu Kenanga, entah mengapa dia paham betul dengan Angel padahal dirinya baru mengenal beberapa hari.

Akhirnya, Angel menangis di hadapan Bu Kenanga. Menangisnya Angel kali, ini, menangis lepas bukan menangis yang sesekali ia tahan untuk terlihat baik-baik saja dan selalu menjadi manusia kuat. Usai dirasa cukup lega, Angel berhenti menangis lalu dia menatap Bu Kenanga kembali meskipun air mata tersebut masih tersisa.

“Terima kasih, Bu Kenanga, walau Angel sudah lelah menangis,” ucap Angel.

“Menangis itu nggak ada kata lelah, Ngel. Menangis itu wajar, pasti semua manusia punya. Menangis, menandakan kita masih memiliki perasaan. Baik, sedih, lelah ataupun yang lainnya. Menangis suatu keadaan untuk mengontrol perasaan kita. Jika dipendam, kasihan fisik kita, mereka akan protes. Apalagi jika ditahan tidak dilepaskan secara bebas itu bisa menimbulkan kesakitan. Kamu paham ‘kan, Ngel, maksud saya?” tanya Bu Kenanga.

Bukan Yang SalahWhere stories live. Discover now