N!TW---30: Sama Tetapi Berbeda

42 14 57
                                    

Akhirnya, setelah menunggu tiga hari lamanya, Angel pagi ini telah diterima di SMA Nawang Langit dan dia berangkat bersama Vivia dari rumah kakek neneknya. Angel pun senang bisa bersekolah offline lagi meski harus online juga untuk SMA Rimbun Jaya sebab Angel tidak pindah. Namun, Wanti hanya ingin anaknya bisa merasakan suasana baru. Untung, SMA Nawang Langit memiliki jiwa toleransi yang baik. Mereka menerima Angel bukan karena cacat atau ada orang dalam, tetapi karena prestasi, memasukkan otak emas seperti Angel setahun ke depan sampai kelas sebelas. Kesempatan besar, prestasi gemilang akan didapatkan oleh SMA Nawang Langit.

Sesampai di depan halaman, Angel tersenyum senang. Dia berdiri dengan wolkernya menunggui Vivia yang sedang di toilet. Namun, tanpa disadari Angel jadi pusat perhatian murid-murid SMA Nawang Langit di ujung sana. Angel yang sudah sadar akan hal itu, dia menghela napas berat.

“Selalu, deh, begitu. Nggak di sini, nggak di sana. Sama saja, jadi pusat perhatian. Capek Tuhan,” keluh Angel.

“Kenapa, capek? Kamu pantas, kok, jadi pusat perhatian,” sahut seseorang.

Menyadari perkataannya disahut oleh seseorang membuat Angel menoleh. Namun, dia terperanjat ketika seseorang itu adalah cowok yang mukanya sangat mirip dengan Brama, hanya saja dia memakai kaca mata.

“Brama?” kaget Angel.

Orang itu mengulurkan tangan kanannya untuk berjabat.

“Maaf. Membuatmu terkejut, perkenalkan namaku Immanuel Fahmi. Panggil saja Fahmi,” kata Fahmi masih dengan posisi yang sama.

Meski canggung, Angel menerima uluran tangan tersebut dengan tangan kanannya, sedangkan yang kiri berpegang wolker.

“Angelika Mentari. Panggil saja Angel,” ucap Angel ketika sudah menjabat tangan Fahmi.

Mendengar nama Angel, Fahmi tersenyum.

“Aku sudah tahu. Via, banyak cerita tentangmu, Kak,” jawab Fahmi melepas jabatan tangannya.

“Oh, ya. Via cerita apa?” tanya Angel penasaran.

“Dia yang kepo, Kak,” sahut Via yang baru datang dari toilet. “Kukira udah kamu antar ke kelas tadi, Fahmi”

Sahutan Via membuat Fahmi tertawa lalu dia memandang Angel.

“Boleh aku mengantarkanmu, Kak Angel?” tawar Fahmi tersenyum.

“Memang kamu nggak malu jalan berdampingan sama cewek cacat?” tanya Angel.

Respons Fahmi pun menggeleng, dia tersenyum lagi. Namun, sisi lain senyuman itu persis milik Brama, tetapi dia sadar Brama tetap Brama. Fahmi tetap Fahmi walau pun wajah mereka sama.

“Nggak. Kamu itu tidak malu-maluin, Kak Angel. Kamu punya banyak yang menjadi keistimewaan, terutama berkaki enam ini. Dua kaki asli, empat dibantu wolker,” sanggah Fahmi.

Perkataan Fahmi tidak membuat Angel merasa diejek. Namun, dia malah tertawa disusul pula Via yang berdiri di samping kanan Angel. Respons mereka yang tertawa, Fahmi pun ikut tertawa juga.

“Bisa saja kamu, Fahmi,” ucap Angel setelah tawanya mereda.

“Bisa, dong, ‘kan itu bentuk syukur. Menampilkan diri apa adanya biar Tuhan bangga dengan kita. Aku kagum denganmu, Kak, meski baru bertemu. Beruntung Via punya kakak sepertimu,” ucap Fahmi. “Ayo masuk kelas! Lima belas menit lagi bel, aku ketua kelas, lho.”

Akhirnya, mereka bertiga pun berjalan masuk kelas. Tiba di kelas XIPSA, Angel takjub karena kelasnya benar-benar keren. Di bagian samping papan tulis ada rak buku khusus buku paket pelajaran, di samping kanan belakang ada rak buku khusus novel.

“Fahmi, semua ada di kelas. Perpustakaannya juga ada?” tanya Angel. Dia masih berdiri di antara Via dan Fahmi. Suasana kelas pun ramai. Ada yang membaca buku dan mendengarkan musik dengan earphone lantas sesekali mereka melempar senyum manis kepada Angel.

“Ada, dong, Kak. Di sana tambah lengkap,” jawab Fahmi.

“Wah. Nanti kita ke perpustakaan, ya, Via,” ajak Angel.

Via hanya merespons mengangguk dan tersenyum senang. Dia lega melihat kakaknya seceria itu lagi.

“Nanti aku temani juga, Kak. Namun, aku ke perpustakaan dahulu, ya, mengambil buku-buku keperluanmu,” pamit Fahmi lalu dia keluar kelas.

Sembari menunggu Fahmi. Angel duduk di bangku kosong dekat jendela dan pintu. Sengaja Angel di tempatkan di situ agar dia mudah keluar- masuk kelas dengan wolkernya. Bangku-bangku mereka pun sebangku-sebangku, jadi tidak berpasangan dan dia bersebelahan dengan bangkunya Via.

Beberapa menit kemudian Fahmi datang membawa setumpuk buku untuk Angel. Angel pun heran melihat buku-buku tersebut.

“Ini buku paket nggak dibawa semua ‘kan, Fahmi?” tanya Angel.

“Nggak, Kak. Lima saja yang dibawa dan ini buku penunjangmu; dua puluh buku selama setahun. Terus, ini juga kuintansi pembayaran bukunya atas nama Hans Hardika.” Fahmi pun memberi beberapa lembar kuintasi itu kepada Angel setelah meletakkan buku-buku di atas meja Angel.

Menerima kuintansi itu, Angel heran. Dia benar-benar tidak tahu jika Kak Hans-lah yang membiayai sekolahnya selama di sini.

Melihat kakaknya tertegun memandang kuintansi tersebut, Via sudah bisa menebak jika Angel memikirkan biaya yang telah dikeluarkan Kak Hans untuknya.

“Sudah, Kak. Nikmatin saja selama setahun di sini. Kak Hans, beri ini untuk Kak Angel agar Kakak merasa tak sendiri. Ukir prestasi di sini, ya, Kak. Via biar dapat menyontohmu,” ucap Via dia menepuk pundak kanan Angel dengan tersenyum, sedangkan Fahmi dia sudah sibuk menatakan bukunya Angel di rak yang telah disediakan.

Deg!

Ucapan Via membuat dada Angel berdegub. Pasalnya, permintaan Via itu sungguh berat. Memang sejatinya, seorang kakak memberi contoh baik untuk adik-adiknya. Namun, apakah Angel bisa mengemban itu dengan benar?

Setelah Angel membalas ucapan Via dengan tersenyum dan mengangguk. Akhirnya, pelajaran pertama pun dimulai oleh Bu Molek—guru pengampu matematika lalu meminta kepada Angel untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu.

Saat berkenalanan berdiri menggunakan wolker di depan kelas, Angel pun tak menyangka dia disambut hangat oleh teman-teman barunya. Namun, yang lebih tidak menyangka lagi, Angel bertemu Immanuel Fahmi, kembaran Brama Ar- Bara tanpa ikatan darah bahkan beda tempat.

“Cerita apa lagi yang Engkau berikan di sini kepadaku Tuhan?” batin Angel dia pun masih memandang Fahmi yang duduk di bangku depannya tanpa sang empunya sadari karena sedang menulis di bukunya.

******

Sementara itu, Brama yang sedang memperhatikan Bu Kenanga di kelasnya merasa resah, sebab Angel tidak menghubunginya dari tiga hari setelah kepergiannya. Padahal, dia khawatir dengan Angel. Alhasil, Brama meng-Whatsapp lebih dahulu secara diam-diam dia mengeluarkan handphone  dari laci dan mengetik pesan dengan menutupinya bersama buku paket bahasa Indonesia yang sedang dipakai menyimak pelajaran.

Brama

( Ngel, kamu nggak apa? Mengapa tidak menghubungiku tiga hari? )

Akhirnya, setelah mengirim pesan Brama menghela napas karena tidak ketahuan. Namun, di sisi lain dia juga heran. Mengapa dia khawatir jika Angel tidak menghubunginya? Padahal dia dahulu tidak seperti itu dengan Angel. Nama Angel saja dia tidak kenal, kemudian Brama menatap layar handphone-nya sejenak yang terdapat centang dua di pesannya kepada Angel.

“Ada apa denganku, Tuhan?” lirih Brama lalu memasukkan kembali handphone itu secara diam-diam ke dalam tas usai keluar dari aplikasi Whatsapp dan mematikannya.

*****

Bukan Yang SalahWhere stories live. Discover now