Bagian 1

1 0 0
                                    

Setiap turun dari apapun yang membawanya, lalu injakkan kaki tepat di depan pagar, ia panggil sebuah memori yang ingin ia kenang sampai akhir hayatnya. Yang ingin ia rawat dengan melakukan semacam ritual khusus di setiap harinya. Yakni dengan berdiri agak lama di depan pintu pagar, memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, membuangnya perlahan. 

Sekali lagi, menarik napas dalam-dalam, memunculkan bayangan dedaunan berguguran, angin yang saling berkejaran, wangi hijau rerumputan, bunga-bunga bermekaran, dan peristiwa utama setelahnya. Ketika sang ibu membuka pintu rumah, melebarkannya, meluruskan sandal, memakainya, berjalan bergegas, tersenyum istimewa, dan menyambut dengan sebaris kalimat hikmat.

"Oh, sayangku. Sudah pulang, nak?"

Memeluknya dengan perasaan rindu mendendam yang hanya Tuhan tahu kadarnya. Erat, tularkan hangat, merayu angin untuk menebar semerbak harum perasaan tulus. Seketika menghanyutkan mereka pada perasaan bahagia sepanjang waktu. Bagi siapapun yang tak tahu, pasti menganggap keduanya lama tak bertemu. Tapi bagi siapapun yang sekujur tubuh dan hatinya dipenuhi kasih sayang tanpa jemu, pasti akan tersenyum.

Topi yang miring, kemeja putih yang lusuh, bagian tengah sabuk yang sudah mentok di paling kiri, celana merah pendek yang kusut, sepatu kumal, kaos kaki tinggi sebelah. Membuat sang ibu jongkok, senyum, mengusap lembut di setiap jengkal pipi kekasihnya. Tanpa terasa, menetes sebutir rasa di sudut matanya. Intisari dari berbagai rasa syukur yang membuncah.

"Allahumma shalli alaa muhammad, wa ala ali Muhammad."

Hari pertama sekolah yang mengharukan.

Ritual diakhiri dengan melihat tubuhnya dari kaki, telapak tangan, dan sejumput doa.

Dorong ujung pintu pagar. Decit engsel setengah berkarat menusuk prasangka atas segala ketidakberesan hidupnya dalam beberapa tahun belakang. Melewati jalan susunan bata yang diselingi ilalang tua, menebarkan kesan ketidakpedulian yang begitu kentara. Untung angin tak terlalu kikir untuk meniup kesegarannya. Untung pohon-pohon tinggi terlalu dermawan untuk meminjamkan rindangnya.

Pintu rumah terbuka. Sekejap berhenti langkahnya. Kurang lebih ia paham yang akan dikatakan lelaki di sana.

"Sudah bapak bilang berkali-kali. Kalau masuk, tutup itu pintu! Biar anjing tetangga tidak masuk!"

Menoleh, kenangan itu kembali. Perihal sang ibu yang akan tersenyum, berdiri, lalu melenggang ke pintu pagar, tutup, tautkan gerendelnya, dan melukis senyumnya lagi. Rangkul bahunya, ajak ke dalam rumah sambil membisikkan kata-kata bahagia. Apapun, yang sekiranya membuat sang anak nyaman dan tak menyisakan segurat pun lelah di dada.

Masuk rumah, pintu tertutup halus. Baru dua langkah:

"Habis ganti baju, cuci itu piring! Kotor semua."

Hempaskan tas di atas meja kamar. Melepas semua kancing, tambatkan seragam di gantungan baju belakang pintu. Merebahkan tubuh dengan rencana beberapa menit saja di atas kasur. Ingin sejenak merehatkan beban di kepala dan badan, usai diserang 10 soal ulangan aljabar, berlari maraton 10 Km dalam pelajaran olahraga, dan disuruh guru membersihkan lab komputer sampai tak tersisa satupun debunya.

Pintu terbuka, sang bapak menatap matanya.

"Tidak dengar apa yang bapak bilang?"

Memakai singlet, bercelana pramuka, lekas ke dapur dan menemui tumpukan piring kotor seperti habis ada pesta. Di atas lantai, di atas wastafel, di depan kamar mandi, dikumpulkan di atas wajan yang penuh minyak, dan berujung pada satu rujukan atas peristiwa-peristiwa semacam ini dalam beberapa hari terakhir. Bahwa ia tak tahu acara apa yang diadakan sang bapak dan teman-temannya setiap ia di sekolah. Sampai yang kotor menumpuk sebanyak itu. Berapa banyak orang yang datang meramaikan, sehingga tidak ada satupun dari mereka berinisiatif membereskan apapun yang mereka mulai. Atau bisa saja, sang bapak menyuruh mereka untuk meletakkan saja di "sana", dengan pungkasan "biar anakku yang mencucinya".

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 21, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

UrugWhere stories live. Discover now