HARI SEBELUM KEMARIN (SHORT STORY 1)

9 0 0
                                    

Dulu saya bertanya: barangkah perlu benar mencatat kehidupan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dulu saya bertanya: barangkah perlu benar mencatat kehidupan?

Sekarang saya mengerti. Banyak hal yang bisa diabadikan dalam berbagai cara. Mencatat salah satunya, kini tepat satu bulan setelah saya melewati hari berat dalam kungkungan rasa bersalah yang terus menghantui. Senja yang menyengat di hari saat kejadian itu masih membekas dalam lubuk hati.

Kadangkala saya berpikir, seandainya waktu itu bisa diulang lagi. Mimpi buruk dan rasa bersalah tak akan menghantui. Jikapun demikian, saya akan sangat berterimakasih pada Tuhan! Tidak. Bukannya saya merasa Tuhan itu mengabaikan sukma ini.

Ada sesuatu yang membikin saya tetap bertahan hingga tahun terakhir di sini—di tempat yang menyimpan banyak kejadian tanpa batas. Mungkin benar kata orang, tidak ada yang bisa mengatur ini hidup jikalau bukan sang empunya, barang hanya sedetik. Saya masih memandang pohon mapel yang sudah tak berdaun di tempat ini, musim dingin sebentar lagi menghampiri, sebelum liburan kami disepakati.

Hidup di tahun terakhir memanglah masa sulit. Tapi saya merasa ada jiwa lain yang terkurung dalam waktu dan menuntut dibebaskan. Tidak sejalan dengan kelembutan yang tercipta olehnya, sakitnya menghadap Sang Pencipta malah dihempas lara.

Kadang jiwa ini bertanya-tanya, bagaimana bisa orang pengasih yang sedang jatuh cinta tidak mendapat dama sepadan. Haruskah ia mengadorasikan atma dalam belenggu sendu?

Apa ini hidup benar-benar punya hukum tersendiri bagi mereka yang begitu berarti, apa benar mereka yang baik selalu mati muda tanpa melihat duka?

Saya masih ingat betul, bagaimana ia bersenandika di depan cermin dengan angan yang amat indah. Sungguh! Seindah parasnya. Saya bahkan iri melihat afsun terpancar dari wajahnya yang amat sempurna! Jangan ragukan hal lain lagi, setiap sore kami selalu berjalan menyusuri taman asrama, setelah kelas seni yang menguras tenaga.

"Bagaimana hari ini? Kelasmu menyenangkan?"

"Tidak. Saya rasa terlalu awal mengulas karya untuk seseorang seperti saya,"

"Tapi kamu selalu memiliki cara tersendiri. Saya iri."

"Saya lebih iri kepadamu,"

Dan begitulan percakapan saya dengan Kylee di setiap sore. Di sini, di padang rumput dengan berbagai tanaman di taman asrama, lebih sering lagi di bawah pohon mapel yang kini saya sandari. Kylee begitu baik. Bukan cuman soal rupa, jiwa malaikat dalam dirinya menyimpan banyak kasih sayang! Jangan lupakan gerakan lemah lembut dan gemulai yang ia tegaskan di setiap langkah kakinya, sungguh sempurna! Tarian dari sang pengasih benar-benar menghipnotis banyak orang seketika.

"Saya sangsi jika kakimu tidak pernah kram," ujar saya sedikit takut bercampur kagum setiap kali ia memperagakan baletnya.

"Kadang iya, tapi saya sudah terbiasa dengannya. Para orang-orang di kelas balet punya teknik tersendiri."

Tapi, sayang, saya tidak lagi memiliki kesempatan untuk melihatnya. Sang Maha Suci lebih dulu menjemputnya. Meski begitu, saya tahu sepenuhnya, dia masih hidup di seluruh penjuru Chaotic. Asrama ini! Bayangannya dan semua kenangannya benar-benar menggantung bersama benda-benda kuno yang kalis.

Kala itu, di atas taman rumput yang luas, berlatar dersik menyambut swastamita, kami melihatnya! Tubuh indah tergeletak lengkap dengan pakaian putih ternoda darah. Entan sejak kapan ia sudah di sana, terkubur dengan daun-daun mapel yang kecoklatan.

Saya yakin, nabastala pun tidak merestui kepergiannya! Tapi apa boleh buat, tidak ada seorang pun yang bisa menjelaskan hari bahagia yang dinanti-nanti , terganti dengan kejutan penuh kampana. Jauh dari keindahan-keindahan yang selalu keluar dari bibir ranum molek itu, saya tidak tahu apa saja asras yang tersembunyi dalam dirinya. Saya sedikit sekali bicara sejak kejadian yang menimpanya. Baik saya ataupun sahabat yang lain—Archie, Natalie, Victor, termasuk saya. Begitu terpukul akan kepergiannya.

Rasa sedih tak bisa dihindari. Namun, berdiam diri juga tak akan membalikkannya pada duniawi. Saya merasa hancur—begitu hancur dalam kilas balik masa lalu. Sekarang, bersandar di pohon mapel ini setidaknya bisa mengobati rindu yang begitu menusuk ini hati.

Memejamkan mata, saya seolah melihat bayangan seorang perempuan berkulit pucat dalam balutan gaun putih saat kelas seni kami. Saya kenal betul itu Kylee. Rambut pirangnya tergerai indah dalam tiupan angin yang juga membelai tubuh saya yang mulai dingin. Belum sampai sesaat, saya seolah terempas ke masa lalu. Saat pertama kali kami bertemu dalam kamar yang begitu baru.

"Kamu pernah berpikir bahwa suatu saat kita bisa selalu seperti ini?" tanya saya dengan penuh harap.

"Tentu, saya selalu berharap mampu mempertahanlkan banyak orang. Meski harus mengorbankan diri sendiri untuk mereka."

"Kamu lebih berhak bahagia, tidak ada pengorbanan. Kita berjuang bersama."

"Tapi saya tak sempurna untuk bahagia, saya tak pantas."


"Ketidak sempurnaan adalah mahakarya paling indah yang diciptakan Tuhan," balas saya, "mari, kita berkenalan dengan Archie dan teman lainnya."

Saya terkejut begitu tepukan di pundak menyadarkan saya, Victor Wilox melihat saya menangis dalam banjiran air mata yang begitu kentara.

"Belajarlah untuk mengikhlaskan, Sherina."

Saya hanya bisa menyeka air mata. Menghapusnya kasar dengan sapu tangan yang Victor berikan, kemudian berucap, "saya tidak bisa, Victor."

"Tidak ada yang tidak bisa. Kasus ini masih berjalan, saya yakin Kylee akan mendapatkan keadilan," balasnya begitu yakin. "Yakinlah pada Tuhan. Mereka yang berlaku baik tidak akan sia-sia."

Kylee.

Saya masih ingat saat-saat yang memisahkan aroma kehidupan dari kesadarannya. Menyisakan duka mendalam, yang menjadi awal mimpi buruk bagi sukma yang ditinggalkan olehnya.

Saya pun juga yakin. Tahun ini begitu berat untuk dilewati tanpanya, tanpa Sang Pengasih—julukan yang begitu lekat dengannya.

Entah bagaimana tahun terakhir yang tersisa bisa membawa cerita lagi. Sudah cukup bagi saya kesedihan dan penyesalan yang ditinggalkan saat ini. Saya hanya ingin keadilan untuk Kylee dan kebahagiaan bagi kami—bagi seluruh penjuru asrama ini. Babak baru dalam untaian benang kehidupan akan dimulai setelah ini.


***


END OF SHORT STORY 1

Short Story ini sebelumnya telah diterbitkan dengan judul yang sama di buku antologi Rasa 2022 dalam event menulis bersama Salisma Project. Sayangnya, tidak ada kabar buku tersebut masih bisa dipesan atau tidak dan tidak ada tanda-tanda akan cetak ulang. Oleh karena itu, agar karya ini bisa tetap dinikmati, saya memutuskan memublikasikan di sini.

Karya ini merupakan 'jembatan utama' untuk mengenal salah satu tokoh paling berpengaruh dalam versi yang lebih panjang (novel) dengan judul Crepusculum 

CREPUSCULUM (SHORT STORY) | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang