Prolog

4 1 0
                                    

⚠️Peringatan⚠️
Chapter ini mengandung kekerasan
berupa darah dan ucapan yang tidak pantas ditiru

Panas terik matahari bersemayam diatas kepala, hingga kulit langsatku memerah. Bukan, itu bukan karena panasnya matahari. Itu bukan karena kulitku, melainkan darah merah yang mengering seketika di punggung tangan.

"Kenapa kamu selalu meniruku!? Belum puas atas kematian kakak aku karena mulut kotormu? Lalu sekarang kamu ingin menghancurkanku seperti kamu membuat kakakku lompat dari lantai 10?"

Sebenarnya dendam apa yang kamu miliki hingga kamu melakukan ini semua tanpa berpikir panjang atas dirimu sendiri. Kakak yang selalu aku sayangi selama bertahun-tahun, dia tidak pernah marah sekalipun meski aku sering berbuat kesalahan.

"Bunuh saja dia bukankah itu keinginanmu juga? Kamu tidak perlu bersalah atas kematiannya, bukankah dia yang membunuh orang kesayanganmu? Anggap saja itu dosa yang pantas dia terima atas kematian kakakmu."

Aku terlalu fokus padanya hingga aku tak sempat melihat siapa yang membisikan perkataan seperti itu di telingaku. Tanganku terus bergetar walaupun aku telah memukulnya berkali-kali tadi sampai darah keningnya bercucuran. Haruskah aku membunuhnya atas nama kakakku yang telah dia lenyapkan. Jika aku melakukan hal itu, apa bedanya dia denganku. Tapi, aku sudah tak tahan lagi melihat dia dengan santainya menjalani hidup dengan bebas dan tak pernah merasa bersalah atas kematian kakak.

"Meniru? Dengan semua yang aku lakukan untukmu, kamu bilang aku menirumu? Dimana rasa terima kasihmu!?" Kenapa aku memiliki seseorang yang tidak tahu malu seperti dia. Memangnya apa yang dia lakukan selama ini untukku. Bahkan membantuku sedikit saja dia tidak pernah. Dia hanya berpura-pura menjadi perempuan yang baik di depan kakak.

"Kematian kakakmu itu atas kehendaknya sendiri, bukan karena aku!" Dia berbohong. Aku bahkan melihatnya sendiri dia mendorong kakak dari lantai 10. Bahkan setelah dia melakukan hal keji itu, dia tertawa terbahak-bahak seakan dia memenangkan pertarungan. Dia tidak akan mau kalah dengan lawan bicaranya, karena dia harus benar dan lawannya yang salah.

"Kakakku bukan korban pertama yang kamu bunuh, kamu bahkan mendorong ayahmu sendiri ke jurang saat mendaki, bukan? Kamu pikir aku tidak tahu," Aku harus membuat dia merasa bersalah atas perbuatannya sendiri. Dia harus mengakui kesalahannya, itu yang aku inginkan.

Dia berjalan cepat ke arahku lalu mencekik leherku sekuat tenaga, aku berusaha memberontak. Jika dia membunuhku sekarang, aku tidak rela. Setidaknya aku mati jika dia telah mengakui kesalahannya. Ugh, leherku sangat sakit hingga aku tidak bisa berbicara lagi.

"Bagaimana kamu bisa tahu aku pernah mendorong ayahku? Kamu menguntitku!?" Nada kerasnya sungguh memekikkan telinga. Aku menendang tulang keringnya, dia pikir aku akan mati jika dia mencekikku. Itu pemikiran yang salah. Jika dia tidak bisa mengakui kesalahannya, lebih baik aku membunuhnya dengan tanganku sendiri. Lagipula kami sedang berada di atap bangunan terbengkalai di pinggir kota, dimana tidak ada siapapun yang akan datang karena jalan menuju bangunan ini sudah ditutup setelah insiden kebakaran.

"Tidak semua orang berpihak padamu, tentu saja ada seseorang yang sangat membencimu hingga dia mencari-cari titik kelemahanmu. Kamu tidak akan pernah bisa menutupi kesalahanmu selamanya,"

"Kamu salah! Satu orang pun tidak akan tega membenciku, kecuali kamu."

Aku tertawa setelah mendengar ucapannya. Lucu sekali.

"Jika semua orang tahu kalau kamu memanipulasi media bahwa kamu sebenarnya adalah pelakunya, bagaimana reaksi mereka? Apa mereka tetap akan mendukungmu?"

"Ppfftt, mereka tidak akan pernah tahu hal itu karena mereka semua berada dalam kendaliku!"

"Kamu yakin? Lihatlah ponselmu, aku ramal sekarang semua orang sedang melontarkan kata-kata kasar untukmu,"

Dia mendecih. Matanya terbelalak setelah melihat pesan di notifikasi ponselnya. Dia segera memeriksa sekitarnya untuk mencari kamera yang aku pasang.

"Kamu cari ini?" Aku arahkan sorot kamera ke mukanya. Jika dilihat, jumlah penonton pada siaran ini makin bertambah.

"Beraninya dia menipu kita!"

"Sejak awal sudah aku duga kalau dia adalah pelakunya!"

"Dasar pembunuh!"

"Pergi dari kota ini!"

"Bunuh saja dia agar tahu rasanya!"

"Kenapa ada perempuan sejahat ini di muka bumi yang indah ini!?"

"Anak durhaka!"

"Lebih baik dia di hukum mati, jangan mengotori tangan indahmu untuk membunuh iblis itu."

"Aku heran kenapa kakakmu bisa menerima perempuan gila ini,"

"Bunuh saja dia sekarang, cepat! Melihat mukanya saja aku ingin muntah."

Dia berlari ke arahku dan membanting ponsel ini. Amarahnya sangat terpancar di wajahnya. Dia menamparku dua kali.

"Kamu dan kakakmu memang tidak ada bedanya, sama-sama ingin menghancurkanku." Seringainya penuh kebencian terhadapku. Aku tak menduga dia memukulku dengan batu yang ada di samping kakinya. Aku lupa, dia hobi membunuh orang. Saat aku tersungkur, dia menarik kerahku lalu menamparnya lagi. Kepalaku sangat sakit hingga aku lupa bagaimana cara melawannya.

"Kamu tidak akan pernah menang melawanku meskipun kamu membunuhku, mulai sekarang hidupmu akan dipenuhi rasa penyesalan dan bayang-bayang korbanmu!" Hanya ini yang bisa aku katakan untuk melawannya. Aku berusaha melepaskan kedua tangannya dari kerah kemejaku. Entah kenapa tenaganya lebih besar dariku.

Dia akhirnya mendorongku dari lantai 6 bangunan terbengkalai ini. Jadi seperti ini rasanya terjatuh dari gedung tinggi, aliran darahku seperti hilang seketika. Meskipun dulu aku pernah mencoba membunuh diriku sendiri dengan memotong pergelangan tanganku setelah sepeninggal kakak. Namun aku urungkan, kakak pasti akan kecewa jika aku melakukan hal bodoh ini. Semua memori bersama kakak dan ibu saat berlibur ke kota Watts tiba-tiba muncul. Aku bisa melihat tawa kakak dan ibu, setidaknya ini kali terakhir aku melihat mereka bahagia.

Seandainya aku bisa hidup kembali, aku akan membuat kakak tidak akan bertemu dengan perempuan itu dan hidup bahagia sebagaimana semestinya. Namun, aku masih belum tahu kenapa dia mendorong kakak. Seandainya aku tahu.

Brak!

Darahku mengalir deras dan rasa sakitnya sungguh menyiksa. Sebelum nyawa ini terangkat sempurna, aku melihat seorang laki-laki terbaring di sebelahku dengan pisau yang tertutup di dada kanannya. Mungkin, dia sudah mati. Tuhan, maafkan aku.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 27 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Crescent MoonWhere stories live. Discover now