Prolog

73 31 30
                                    

Happy Reading
__________________

Harapanku terlalu tinggi, hingga aku lupa bahwa memilikimu hanyalah sebuah mimpi yang ku bungkus dalam-dalam

_Rania Putri Anaya_


Di pagi hari Rania segera bergegas untuk membersihkan diri karena sekarang jam sudah menunjukkan pukul 08. Sebelum itu ia membereskan tempat tidurnya dan juga membuka jendela, sesekali ia menghirup udara itu dan menarik tanganya ke atas tak lupa dengan menghembuskan nafas pelan.

"Good morning diriku," gumamnya seraya tersenyum. Ia melihat kicauan burung yang bertera di atas pohon dekat rumahnya itu, "Semoga hari ini adalah hari yang menyenangkan untukku." ia segera membersihkan diri terlebih dahulu sebelum menemui kedua orang tuanya.

Rania, hanyalah anak sederhana, yang tidak memiliki rumah mewah bahkan sama sekali tak mempunyai kendaraan hanya saja sepeda tua yang ia miliki. Tapi tak sangka Rania, sangat bersyukur walaupun keadaanya seperti ini ia juga berterima kasih dengan kesederhanaan yang dimilikinya. Menurutnya kalau menjadi orang kaya pasti bawaanya pada sombong, itulah yang membuatnya ia tidak suka hidup kaya karena kebiasaan orang kaya hanya menghabiskan uang tanpa memikirkan uang itu harus di gunakan dengan sebaik mungkin.

Ya semisal, mengasih rezeki kepada pemulung jalanan juga anak-anak yatim atau anak panti asuhan. Iya bukan? Rania bukanlah iri melainkan dia hanyalah risih. Rania berfikir uang-uang yang mereka gunakan hanya untuk keperluan gak penting itulah tandanya mereka hanya membuang-buang saja.

Dirinya mengetahui ini karena teman sekolahnya yang hanya memilih-milih teman mereka tidak ingin berteman dengan Rania. Padahal kalau bisa di bilang Rania itu sangat pintar, juga sering mendapatkan beasiswa dari sekolah. Saskia hanya Saskia lah yang menjadi sahabatnya, sahabat yang selalu support dirinya dalam keadaan apapun itu.

Rania menghampiri kedua orang tuanya yang berada di ruang tamu. Ia duduk di dekat sang Ibu yang sedang menonton Tv. Mereka tak mempunya Handphone hanya ada telepon Zaman dulu yang mereka gunakan.

"Em Ibu," Rania ragu memanggil ibunya, sang ibu menoleh dan melontarkan pertanyaan dengan mengangkat kening sebelah.

"Anu itu.."

"Apa kak? Ceritanya yang jelas biar ibu tau." ujar Ibu seraya tersenyum manis kepadanya. Rania takut menceritakan soal perkuliahan kepada ibunya.

"Ibu, aku boleh nggak kuliah?" ia berusaha mengucapkan kata-kata agar tidak membuat ibunya marah.

Tapi ibunya tidak pernah marah kepadanya, hanya saja memberikan nasihat juga karena ibunya sangat menyayangi anak-anaknya ia tak pernah memilih kasih kepada anaknya ia menyamaratakan keduanya.

Terdengar Ibu membuang nafas pelan, membuat Rania meramas ujung tangan bajunya. "Nia, ibu sudah bilang, kan sama kamu kalau ibu belum bisa menguliahkan kamu. Ibu minta tolong sama kamu tolong ngertiin Ibu, ngertiin Ayah juga, ngertiin kondisi kita gimana?" ujarnya lembut kepada anaknya.

Rania menunduk. "Alasan kamu pengen kuliah apa?" suara berat milik Ayah membuat Rania mengangkat wajahnya.

"Sama seperti mereka yang lain diluar sana yang sudah sukses." jawabnya antusias. Ia harap akan ada kesempatan lagi. Namun terlihat sang ibu menggeleng membuat senyumanya luntur kembali.

"Gak bisa, Kak. Ibu tau kamu sangat pengen kuliah, tapi kembali lagi sama ucapan awal, bahwa ekonomi kita itu susah jadi tolong ngertiin. Adikmu juga baru saja kelas 12 sudah membuat, Ibu pusing mencari uang nya dimana lagi." tanpa sadar Rania meneteskan air matanya dirinya menunduk.

"Apakah nggak ada kesempatan lagi buat aku untuk kuliah? Apakah cita-citaku gak akan pernah terwujud sedikitpun? Tuhan tolong beritahu kepadaku kapan aku akan mendapatkan impianku itu." Rania membatin.

Ibu dan Ayah kini segera masuk ke kamar, tinggalah ia seorang diri di ruang tamu. Ia beranjak keluar seraya menaiki sepeda dan pergi ke suatu tempat untuk menenagkan dirinya.

Ia melamun di atas sepeda tak lupa dengan air matanya yang terus turun seperti hujan, hidungnya memerah. Ia terlalu banyak pikiran sekarang, ia pengen di peluk, ia pengen berteriak sekencang-kencangnya agar bisa mengurangi beban dipikirannya.

Tak lama kemudian ia pun telah sampai di sungai di sana tak ada sesiapa hanya dia seorang diri. Ia berjalan ke tepi sungai seraya menatap sungai itu.

"Aaaa! Hiks... hiks... kenapa? Kenapa aku nggak bisa capai cita-cita aku? Kenapa..." Rania berteriak sekuat mungkin, posisinya yang tadi berdiri kini terduduk di atas tanah. Ia memegang tanah itu erat. Sesekali ia membuang batu-batu kecil ke sungai.

"Kenapa yang lain bisa aku nggak bisa?" ucapnya pelan dengan suara serak.

"Nih," tanpa ia sadari ada seorang pria yang mengasih tisue kepadanya. "Kamu nggak apa-apa?" tanya pria itu, Rania menerimanya tanpa menjawab juga melihat siapa orang itu.

Pria itu membuang nafas, "Kamu nggak usah nangis, sekarang ada aku disini bisa nemanin kamu. Kamu juga boleh cerita ke aku," kata pria itu. Rania menoleh ke arahnya membuat matanya sedikit berkedip dengan pesona dari pria itu.

Pria itu tersenyum, "Yuk kita duduk dulu di situ." ajaknya dengan mengulurkan tangan satu di hadapan Rania, tanpa menolak sedikitpun ia menerima uluran itu.

Mereka pun duduk di tempat duduk dekat sungai itu. "Bentar lagi ada senja kamu pengen, kan ngelihat senja bareng aku?" ujar pria itu.

Rania hanya mengangguk, "Kamu tuh kenapa sebenarnya?," tanyanya penasaran.

Rania tak menjawab ia hanya terisak, "Maaf ya, aku nanyain ini padahal aku bukan siapa-siapa kamu." ucapnya.

"Nggak apa-apa," ia tersenyum. Rania tak mau berbagi cerita ke orang yang tidak di kenalinya sama sekali.

Kini mereka berdua hening Rania yang menatap kosong ke sungai dengan banyak pikiran, lain lagi dengan pria itu yang sedang menulis sesuatu di buku diarynya.

Tes..
Pria itu menjatuhkan cairan bening dari pelupuk matanya dengan cepat ia menghapus air matanya secara kasar.

"Buu, sekarang Aku lagi liatin senja. Aku tau kalau ibu sangat menyukai senja, benar kata ibu senja akan mengajarkan cara bersyukur menikmati apa yang Allah berikan dan berjanji akan ada di hari esok. Semoga ibu tenang di sana." batinnya lalu menatap senja sudah muncul.

"Oh ya nama kamu siapa?" tanya Pria itu. Rania tak berkutik, lagi dan lagi pria di buat bingung dengan sikpa gadis ini.

"Hey kenapa lagi si? Ko nangis?" Pria itu secara paksa ia menakupkan wajah Rania. Terlihat hidung yang merah, wajahnya yang kini sudah lembab.

"A-aku nggak apa-apa. Aku harus pulang dulu." ujarnya seraya berdiri.

Pria itu dengan sigap menahan pergelangan Rania, membuat Rania menoleh dan melihat pergelangan tangannya. Rania menepiskan gengaman itu pelan. "Maaf," hanya kata itu yang bisa pria itu lontarkan dalam mulutnya.

"Maaf Aku harus pergi." ujar Rania.

"Eh anu itu, nama kamu siapa si?" tanyanya gelagapan, walaupun Rania mendenggarnya ia tak sama sekali merspon pertanyaan itu.

Tbc
_______

Fllow ig @mixuectz03
Biar tau kapan up nya...

Kisah Rania (ON GOING)Where stories live. Discover now