Kepingan Satu

214 31 2
                                    

1000 VOTE = LANJUT PART 2!!!


Jaringan pada laptop Daffa tiba-tiba saja menghilang, sedangkan tugas makalah mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pengganti uts yang harusnya ia kumpulkan melalui email saat ini juga gagal ter-upload, padahal sudah hampir pukul 00:00 tengah malam. Tugasnya sudah dikirim ke surel guru bersangkutan.

Daffa menatap kosong pada layar laptop, ia hanya duduk membisu di depan meja belajar dalam kamar tanpa melakukan apa-apa. Menunggu jaringan pulih dengan sendirinya. Tak ada rasa khawatir sedikipun dalam dirinya, wajahnya terlihat datar tanpa ada beban.

Sesekali ia menoleh menatap pintu yang sedikit terbuka, mencoba memastikan bayangan hitam yang terpantul oleh cahaya lampu di luar sana masih ada. Daffa menghela napas, setelah itu berdiri keluar dari dalam kamar. Seperti dugaannya, sudah tidak ada siapa-siapa di ruang tengah. Lagi-lagi ia ditinggal sendirian di dalam apartemen. Ia hanya tersenyum kecut di sana.

Daffa merogoh ponselnya, tak ada notifikasi pesan ataupun daftar panggilan tak terjawab pada layar kunci. Ia perhatikan jaringan ponselnya juga aman-aman saja, memang hanya jaringan pada wifi yang bermasalah.

"Apa tagihan wifi belum dibayar?" tanyanya seorang diri.

Untuk kesekian kalinya Daffa merasa bahwa rumah ini tidak pernah terurus dengan baik. Jangankan rumah, hubungannya bersama ibunya pun tidak pernah akur. Lebih tepatnya tidak ada interaksi antara anak tunggal dan juga orang tua tunggal.

Jangankan merasakan, membayangkan kondisi Daffa semenyedihkan ini ibunya enggan, dan Daffa sudah amat terlatih karena terbiasa, karena terlahir dari keluarga patah tanpa sosok ayah.

Tak ingin ambil pusing, ia langsung merebahkan tubuhnya ke atas sofa. Lagi-lagi Daffa mendengkus pasrah. "Seperti biasa, hidup ini selalu tidak adil," gerutunya.

Pada akhirnya, Daffa kembali menyerah dengan keadaan. Karena sudah terbiasa menghadapi kenyataan hidup yang pahit, persoalan sekolah pun ia acuh tak acuh. Hari-harinya menyedihkan, hidup seperti sebatang kara.

Beberapa saat ia merebahkan diri, suara bel pintu apartemen berbunyi. Daffa yang tadinya menutup kepalanya dengan bantal, mendengar suara tersebut ia agak terkejut. Tatapannya tajam menatap jam pada dinding yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam lewat seperempat.

Daffa yakin itu bukan ibunya, melainkan orang lain. Kalau petugas cleaning service tidak mungkin, terlebih Alfa, satu-satunya orang yang menganggapnya manusia dan sosok teman di sekolah. Untuk memastikan, ia langsung menuju pintu dan melihatnya dari lubang intip.

Seorang paruh baya berpakaian hitam pekat tengah berdiri di depan pintu. Wajahnya samar dan Daffa pun tak mengenalnya. "Siapa?" sapanya sebelum membuka pintu.

"Sa-saya ... Pak Seno, temannya Bu Liana," jawabnya terbata-bata.

Mendengar nama ibunya disebut, Daffa langsung membukakan pintu. Sama sekali ia tidak merasa takut, sudah biasa ketika ibunya dicari-cari oleh banyak orang. Di sekolah ibunya selalu dicari oleh wali kelas dan juga guru BK karena ulah Daffa yang jarang masuk kelas, di apartemen pun ibunya selalu dicari karena kerjaan.

"Harus ya anda bertamu di jam seperti ini?" ketus Daffa saat membuka pintu.

"Ka-kamu anaknya, kan?" tanya Bapak itu.

Daffa mengangguk.

"Sampaikan ke ibumu, semuanya sudah selesai. A-aku tidak mau lagi terlibat masalah dengan--"

"Ada apa ini?" Suara sumbang tiba-tiba memotong pembicaraan bapak tua itu.

Semua menoleh ke sumber suara, dan itu Liana dengan rambut kusutnya yang menjuntai panjang. Wajahnya masih saja terlihat sama seperti biasa, datar tanpa ekspresi. Sudah jelas, wajah judes Daffa menurun dari ibunya.

Napas Pak Seno terdengar tak beraturan, ia seperti sulit mengeluarkan suara saat ingin menjelaskan apa yang terjadi di depan Liana yang disaksikan oleh Daffa. Suasana seketika hening saat tatapan dingin Liana kemudian tertuju pada Daffa. Sebuah isyarat yang tanpa dijelaskan Daffa mengerti bahwa ia harus beranjak dari sana.

Tanpa ada rasa peduli atau penasaran, Daffa langsung memutar badan dan pergi dari hadapan Liana, dan dari pak tua yang hampir membocorkan rahasia besar Liana di depan anak semata wayangnya.

"Seperti biasa. Masalah dan masalah." Daffa mendikte keadaan yang baru saja terjadi di depan matanya.

Tiada hari tanpa masalah yang Daffa temui saat dirinya di apartemen. Ada ataupun tiada Liana di sana, ia selalu sulit bernapas lega. Entah ujian atau karma, Daffa mulai muak dengan semuanya.

***

Tap tap love & komen kalau cerita ini mau tetap berlanjut!

1000 VOTE = LANJUT PART 2!!!

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 01 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kepingan yang tak diharapkanWhere stories live. Discover now