Penantian

356 29 17
                                    

Suara pantulan bola basket ke aspal mengiringi langkahku yang melewati koridor saat aku hendak pulang kerumah. Aku terlalu serius memperhatikan sepatuku yang menginjak lantai tanpa menyadari bola basket yang hendak mencium kepalaku. Hingga ada yang berteriak.

"AWAS!"

Aku menoleh dan tak sempat menghindar.

Bugh.

Aku terjatuh dan kepalaku terasa pusing.

Sebuah tangan terulur didepanku. "Kamu gak apa-apa? Maaf gak sengaja."

Aku melihat ke arah suara bariton tersebut berasal dan membuatku terpaku. Ganteng, bantinku.

"Ya ampun, kamu mimisan!" ucapnya sedikit teriak karna kaget. "Ayo, aku anter ke UKS." sambil membantuku berdiri.

Aku tersadar dan memegang hidungku. Darah.

Aku pun dibawa dan di dudukan di ranjang UKS. Dia mengambil tisu dan membersihkan darah disekitar hidungku.

"Hadap atas deh." ujarnya.

Aku menurutinya. "Nih disumpal aja hidungnya biar darahnya berhenti." dan memberiku sebuah tisu baru yang sudah dilipat kecil. Aku mengambilnya dan menyumpal hidungku seperti yang diucapkannya.

"Sekali lagi maaf ya." katanya menyesal. "Kamu udah gak apa-apa kan?" Aku mengangguk. "Aku pergi dulu ya." ucapnya lagi lalu meninggalkanku sendiri di UKS.

Aku kembali tersenyum mengingat kejadian 2 bulan yang lalu tersebut. Saat aku sedang berjalan di koridor dan bola basketmu tak sengaja mampir ke wajahku. Bisa dibilang, itu awal pertemuan kami. Dan sejak kejadian itu pula, aku menyukainya.

Memandangmu dari jauh menjadi kebiasaan baruku. Contohnya saat ini, saat jam istirahat. Sebelum ke kantin, aku diam-diam berdiri di balik pohon dekat lapangan hanya untuk menontonmu bermain basket bersama teman-temanmu. Kamu sesekali tertawa atas tingkah konyol temanmu. Tawa itu, tawa yang selalu membuat hatiku menghangat hanya dengan melihatnya. Bahagia, sesederhana itu.

****

Melihatmu merupakan kebutuhanku

Karena bagiku, senyummu adalah candu

Dan saat itu aku selalu membisu

Aku pun bertanya, bisakah kamu menjadi milikku?


Jika sedang istirahat atau tidak ada guru, aku mampir ke perpustakaan hanya untuk menulis puisi di kursi bagian pojok. Sejak menyukaimu, menulis puisi juga termasuk kebiasaan baruku.

Kriek.

Pintu perpustakaan terbuka dan munculah sosok yang memenuhi pikiranku selama beberapa bulan ini. Aku memperhatikanmu yang sedang mencari buku dan membuatku tersenyum. Melihatmu dari jauh pun sudah lebih dari cukup.

"Maaf bu, mau tanya, buku Astronominya sedang dipinjam ya?" samar-samar ku dengar suara bariton tersebut.

"Mungkin sedang dibaca murid disini, Nak. Tidak ada catatan yang membawa pulang buku tersebut." jawab Ibu penjaga perpustakaan.

"Oh, begitu. Makasih ya bu." ucapmu seraya tersenyum.

Eh tunggu. Buku Astronomi?

Aku melihat sampul depan buku yang kupinjam sebagai kamuflase agar aku disangka membaca bukan menulis puisi. Buku Astronomi.

Anggap ini keberuntungan. Aku pun merapikan barang-barangku dan berdiri lalu berjalan menuju pintu perpustakaan menghampirimu yang sedang bersender di dinding dan memainkan ponselmu.

Penantian [1/1]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora