4

123 21 2
                                    

Sepoi angin berhembus lembut menenangkan sanubari, langit terlihat bersih tampilkan bintang-bintang nan berseri, sungguh malam ini begitu indah meski sunyi melipir. Wendy duduk di bangku taman istana sembari melihat langit, ditemani buah rasberi yang disantap usai jamuan makan malam membuat ia betah berlama-lama duduk di sana.

Asyik menikmati suasana, mendadak pundak Wendy dijatuhi kain berat hingga tubuhnya berjengit kaget. Saat kepalanya menoleh, ia menemukan wajah Shaw yang tersenyum usai menaruh syal di pundak sang putri.

"Rupanya kamu."

"Iya, Putri. Aku melihatmu duduk sendirian di sini, angin malam bisa membuatmu demam."

Wendy tersenyum kecil lantas menepuk tempat kosong di sebelahnya, beri isyarat agar Shaw duduk di sana.

Lelaki jangkung itu menuruti permintaannya, Shaw dan Wendy kini duduk berdua di taman istana yang sunyi. Entah apa tujuan Wendy di sana, Shaw tak tahu, namun datangnya ia ke sana adalah untuk mendekati sang putri dan mencari berbagai info mengenai sekumpulan vampir jahat yang tinggal di dalam istana.

"Apa kamu suka duduk di bawah hamparan bintang seperti ini, Putri?"

"Iya. Kegiatan yang paling aku sukai jika malam hari tiba. Rasanya menyenangkan bisa berdiam diri melihat langit setelah hari panjang dilalui." Wendy menerangkan. "Apa kamu sudah selesai dengan urusanmu di istana?"

"Sudah, apa kamu punya pekerjaan untukku?"

Wendy terkikik. "Tidak. Aku ingin kamu menemaniku di sini."

"Tentu." Shaw tersenyum kecil, buat pandangannya kian teduh menatap pada sang putri. Di bawah temaram sederhana, Wendy dapat melihat wajah Shaw berseri dan buat degup jantungnya bekerja dua kali lipat. "Dengan senang hati aku akan menemanimu."

Wendy tersenyum senang. Diam-diam bersorak dalam hati lantaran setelah berbagai kesempatan ia cari untuk bisa berbicara dengan Shaw di luar kelas piano, malam ini ia mendapatkan itu. Mungkin sungguh gila rasanya bila Wendy tiba-tiba memperhatikan orang asing yang belum lama datang ke kediamannya, tetapi itu benar adanya sebab Shaw sungguh memikat hatinya.

"Apa dua orang yang datang bersamamu dan bekerja di dapur itu saudaramu?" Wendy bertanya.

"Bukan, mereka adalah teman-temanku, kami tinggal di desa yang sama. Saat prajuritmu mengumumkan bahwa raja Altaric membutuhkan guru piano dan juru masak, kami segera menunjukkan ketertarikan kami."

"Dan kalian lolos sampai tahap akhir kualifikasi dan datang ke sini," sambung Wendy.

"Benar," jawab Shaw setengah tertawa. "Sepertinya ini memang takdir kami karena Dewa mengizinkan kami datang ke sini dengan sebuah tujuan ..."

Wendy spontan memberengut, bingung dengan ucapan Shaw.

"Maksudku, kami sangat membutuhkan uang untuk bisa bertahan hidup, maka dari itu Dewa menunjukkan kemurahan hatinya dan membawa kami ke sini." Shaw melanjutkan potongan kalimatnya.

Sang putri membulatkan bibinya seraya mengangguk-angguk. "Benar. Mungkin memang sudah takdir kalian. Tapi kami juga senang dengan jasa yang kalian berikan, terutama kamu."

"Putri, aku hanya melakukan tugasku untuk bisa membuatmu mahir bermain piano sebelum kompetisi musik." Shaw berhenti sejenak. "Raja dan ratu pasti bangga bisa melihatmu berkompetisi di ajang megah seperti itu."

Wendy tertawa miris sembari menggeleng. "Ibuku sudah tiada setelah aku lahir."

"Kata ayah, ada pendarahan hebat saat ibuku melahirkan aku dan tabib tidak bisa menyelamatkannya," lanjutnya menundukkan kepala. "Aku bahkan tidak tau bagaimana wajah ibuku karena ayah tidak pernah menunjukkan lukisannya."

Shaw mengernyit. "Apa raja tidak pernah membuat lukisan sang ratu?"

"Entah. Setiap aku bertanya, beliau hanya bilang lukisannya ada tapi tidak akan dipajang di sisi istana manapun."

Aneh sekali, batin Shaw.

Sejauh yang ia tahu, para raja pasti akan dengan bangga memajang lukisannya dengan sang ratu sekalipun ratunya telah meninggal dunia, tetapi yang dilakukan Altaric sungguh berbeda. Benaknya berpikir keras. Apa ada yang disembunyikan dari Wendy oleh Altaric perihal ibunya.

"Jadi, raja yang memimpin istana selama dua puluh tahun ini?"

"Benar. Tentunya dibantu perdana menteri dan penasihat istana, mereka menjalankan konsitusi dengan baik hingga sekarang."

"Hanya mereka bertiga?"

Wendy mengangguk. "Tidak ada yang berani mencampuri urusan istana selain daripada mereka bertiga. Bahkan ayah melarangku untuk ikut campur, padahal aku ingin belajar memimpin istana karena aku satu-satunya keturunan istana ini."

"Hanya kamu? Bagaimana dengan paman dan sanak saudara lainnya?"

"Hanya aku. Ayah bilang semua saudaranya mati dalam peperangan dan hanya beliau yang selamat, jadi ayah berusaha keras agar istana ini tetap berdiri sampai sekarang sebagai generasi yang tersisa."

Shaw hanya bisa mengangguk-angguk seraya benaknya mencerna hal janggal yang baru saja diceritakan Wendy. "Lalu di mana perdana menteri itu sendiri? Aku belum melihatnya sejak aku datang ke sini."

"Perdana menteri sedang ada tugas di luar wilayah, ia akan kembali besok pagi."

Perbincangan itu terjeda beberapa detik sebab keduanya terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Shaw kembali menoleh pada Wendy, cekatan menariknya berdiri dan menebas belatinya.

Wendy terkejut setengah mati, rasanya seluruh organ tubuhnya mendadak berhenti oleh tindakan Shaw yang tiba-tiba. Masih dalam keadaan mata yang tertutup sebab terkejut, Wendy merasa tubuhnya kian hangat melebihi syal di lehernya. Lengan Shaw melingkar sempurna pada pinggang Wendy yang berada di dekapannya, jarak mereka teramat dekat hingga Shaw sendiri dapat merasakan embus napas si putri di lehernya.

Membuka mata, Wendy membelalak dengan posisinya yang kini dipeluk Shaw.

Cepat-cepat Shaw menjauhkan diri lalu menunduk dengan perasaan bersalah. "Maaf atas sikapku, Putri. Tapi tadi ada ular di dekatmu, dia bisa saja mematukmu."

Wendy menoleh ke kursi, melihat bangkai ular yang kini telah berdarah hebat akibat dibunuh Shaw dengan belatinya. Wendy meringis melihatnya.

"Terima kasih, Shaw. Kamu sudah menyelamatkanku."

"Tidak masalah, Putri. Selama aku mampu, aku tidak akan membiarkanmu dalam bahaya."

Hening. Wendy hanya dapat mematung mendengar jawabannya. Degup jantungnya masih belum bekerja normal akibat pergerakan mendadak beberapa saat lalu. Katakan itu hal kurang ajar sebab ia adalah putri raja, tetapi Wendy tak keberatan sama sekali. Wendy tak merasa terusik. Ia aman, ia damai, dan ia tentram berada di sisi Shaw. Mungkin Wendy menyukai, atau bahkan mencintai Shaw.

"Mari, kita masuk ke dalam saja. Lagipula ini sudah larut," usul Shaw yang segera disetujui oleh Wendy.

Keduanya kemudian berjalan masuk ke istana dan meninggalkan angin malam yang kian menusuk kulit. Tak ada yang bicara setelahnya, Wendy sibuk pada pikirannya dan Shaw sibuk mengendalikan diri. Ular tadi berdarah dan ia begitu mengidamkan darah segar itu, tetapi mati-matian ia menahan hasrat tersebut agar Wendy tak menyadari perubahannya.

Untuk kedua kali, identitasnya hampir terbongkar. Shaw harus lebih hati-hati, begitu ia telah mengantar Wendy ke kamar maka ia akan mengatakan informasi yang didapat dari sang putri mengenai kejanggalan Altaric pada Jay dan Jack.



- to be continued.

Sacrifice | Jangkku ✓Where stories live. Discover now