Bab 4 : DH || Dejavu

90 29 83
                                    

"Momen itu, apakah tidak bisa
diulang lagi seperti halnya
momen di dalam kaset?"

-Wisnu

•••••

Malam semakin larut, angin pun semakin berhembus kencang. Wira duduk termenung di balkon kamarnya dengan sebatang rokok yang ada di sela jemarinya sesekali ia hisap dan menyemburkan kepulan asap. Pemuda itu sedang bergulat dengan pikirannya sendiri sehingga membuatnya beberapa kali menghela napas.

"Bang..."

"Hm?"

"Kenapa Abang melakukan ini?"

Perkataan tersebut terus menerus memenuhi isi kepalanya saat ini. Wira mengacak-acak rambutnya frustasi dengan sesekali berdecak. Ia kini sedang bingung. Ada apa dengan dirinya kali ini?

"Arghh!"

Wira berteriak pelan tapi kelihatan frustasi. Pemuda itu mematikan rokoknya dan beranjak dari duduknya menuju kamar mandi.

Ceklek

Wira sudah selesai. Ia ke kamar mandi hanya membasuh wajahnya saja agar terlihat lebih segar. Pemuda tersebut jalan menuju pintu kamarnya dan membukanya. Wira keluar dari kamarnya sembari menutup kembali pintu kamar.

Anak tengah itu berjalan gontai ke arah dapur. Ia ingin mencari makanan yang ada di dalam kulkas untuk mengisi perutnya yang keroncongan.

Saat ingin turun melalui tangga, ia memperlambatkan jalannya sambil menatap pintu kamar Wisnu yang sedikit terbuka. Fyi kamar Wisnu nggak jauh dari tangga.

Wira mendekat ke arah pintu itu. Ia sedikit mengintip kedalam melihat adiknya itu yang masih mengerjakan tugas-tugas yang ia berikan sambil sesekali meringis meremas perutnya.

Pemuda berambut cokelat itu memalingkan wajahnya. Ia menggelengkan kepalanya menghempaskan pikiran yang ada di kepalanya mengenai adiknya itu. Tanpa menatap Wisnu lagi, Wira melanjutkan jalannya menuruni tangga menuju dapur.

Disisi lain..

Pemuda ber-netra sendu yang kini sedang menahan rasa sakit yang amat luar biasa di tubuhnya. Ia sesekali mengatur napasnya agar sakitnya sedikit mereda namun cara tersebut tidak berhasil. Dan rasa sakitnya tadi yang ada di perut, kini menjadi naik ke dadanya.

Tes..

Wisnu menghentikan kegiatan menulisnya saat ada satu tetes darah yang keluar dari hidungnya mengenai lengannya. Ia langsung berdiri dan buru-buru menuju kamar mandi dengan langkah sedikit tertatih.

Pemuda itu membersihkan hidungnya sampai bersih. Setelah selesai, ia mengangkat kepalanya menatap wajahnya di cermin wastafel yang terlihat sangat pucat. Kulit putihnya sangat pucat seperti mayat, begitu juga dengan bibirnya yang kering, kantung mata yang membesar, serta rahang yang semakin terlihat karena pipinya yang sangat tirus, dan rambutnya yang acak-acakan.

"Seburuk ini?" lirih Wisnu melihat keadaannya sendiri.

"Apa aku harus ke dokter?" tanyanya pada dirinya sendiri sambil menatap wajahnya di cermin.

Dear Hujan [on going]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora