1. LYING BROTHER

64 11 0
                                    

Hanya helaan napas singkat yang bisa dilakukan Aji ketika wali kelas keluar dari ruangan setelah menyampaikan pengumuman, jika besok untuk pengambilan nilai semester harus membawa orang tua masing-masing. Lantas bagaimana dengan Aji yang tidak memiliki keduanya lagi.

Biasanya Aji akan berlari keluar menyusul guru dan bertanya, "Kalau orang tua gak ada dan abang saya gak bisa datang, nilai saya bakal tetap dikasih, kan, Buk?" Akan tetapi, kali ini Aji tidak melakukannya lagi karena dia sudah tahu dengan jawabannya.

"Gak apa-apa, tapi nanti ambil nilainya setelah pengambilan nilai itu, ya? Temui Ibu di ruangan guru."

Semenjak kelas 10 Aji tidak pernah mendapatkan hasil penilaian semesternya di dalam kelas. Sebab guru tidak mengizinkan karena sudah menjadi ketentuan sekolah. Jika di dalam pemberitahuan harus membawa orang tua, ya, harus dibawa, atau setidaknya wali siswa. Tidak ada toleransi, meski siswa tersebut yatim piatu. Toh, mereka masih memiliki keluarga lain.

Iya, Aji memang memiliki dua abang yang kembar. Meski tidak ada miripnya mereka berdua--kembar non identik. Akan tetapi, dari cara mereka melakukan sesuatu tidak diragukan jika dulunya berada di rahim yang sama. Dan untuk kali ini, Aji ingin di abangnya bisa datang ke sekolah.

"Semester kemarin itu rapor dikasih juga, kan?" tanya Dika, dia abang pertama Aji. Lebih tepatnya si kembar yang lebih dulu lahir.

"Iya, lagian besok Abang ngajar." Wira pun ikut menimpali. Dia keluar dari arah dapur sambil membawa sepiring nasi karena kelaparan sepulang bekerja. "Ini lagi ngejar target, Ji."

"Apalagi gue," sambung Dika lagi. "Bengkel mana bisa ditinggal. Apalagi gue yang dipercaya sama si bos."

Pada akhirnya Aji hanya bisa mengangguk dan berjalan ke dapur. Kedua abangnya sudah makan dan sekarang waktunya Aji untuk makan. Padahal dia lapar sejak tadi, tapi harus menunggu kedua abangnya pulang.

Wira atau Dika tidak pernah melarang Aji untuk makan lebih dulu, tapi Aji yang tidak bisa melakukannya. Dia merasa menjadi beban bagi kedua abangnya dan ia berusaha untuk tidak terus menyusahkan mereka. Aji akan memakan makanan yang tersisa.

Nanti Aji bakal cari uang sendiri buat makan.

Kalimat itu selalu dikatakannya sebelum ia menyuap nasi. Apalagi jika Dika membawa pulang dua bungkus nasi padang yang akan mereka makan bertiga. Meski nantinya ditambah dengan nasi dari dapur, tapi Aji selalu menahan dirinya untuk tidak makan terlalu banyak.

Rasa bersalah.

Entah kenapa, Aji selalu merasakannya.

Padahal Wira dan Dika bekerja untuk adiknya. Mereka akan berusaha memenuhi kebutuhan Aji tanpa memikirkan balasan. Mereka memberikan apa saja yang diminta oleh adiknya itu dan selalu mengusahakan. Sebab, hanya Aji keluarga yang tersisa.

Sejak kecil mereka sudah hidup menderita. Kedua orang tuanya meninggal dunia karena kebakaran dan mereka tinggal di panti asuhan. Namun, Dika tidak ingin terus-terusan berada di sana karena takut salah satu dari mereka akan diadopsi dan mereka terpisah. Dika sudah bekerja sejak ia duduk di bangku sekolah dasar. Dika melakukan banyak hal yang ia bisa, bahkan memperbaiki ban yang bocor.

"Ji, ini nasi sama lauk masih ada, mau tambah gak?" tanya Dika.

"Gak, Bang. Udah kenyang."

Terdengar decakan dari arah dapur dan Dika kembali membawa piringnya yang kembali terisi. "Kalau gak mau gue abisin, besok gak enak lagi."

"Makan aja."

"Gimana mau gede badan itu, Ji. Makan lo dikit," timpal Wira dan Aji hanya tersenyum.

Kedua abang Aji memang peduli. Meski cara mereka sedikit berbeda. Jika Wira memperlakukan Aji dengan baik, berbanding terbalik dengan Dika yang selalu dengan suara yang keras dan sesekali memukul Aji. Meski tidak keras.

"Ntar gue mau tidur di bengkel kayaknya. Besok berangkat sekolah sendiri, ya?"

"Biasanya sendiri juga," jawab Aji seadanya dan menyelesaikan suap terakhir sebelum berlalu ke dapur untuk membasuh tangannya.

-LYING BROTHER-

Dika pergi ke bengkel dan Wira sibuk mengoreksi soal anak didiknya. Semenjak lulus kuliah dia bekerja sebagai guru les dibeberapa tempat. Wira juga bekerja sebagai guru pribadi untuk beberapa anak orang kaya. Ya, dia cukup sibuk setelah melepas kesempatannya untuk bekerja ke Jepang.

"Ji, mau les di tempat abang ngajar, gak? Lumayan buat persiapan kamu masuk kuliah. Kalau dilihat nilai kamu dari semester satu ragu bisa masuk jalur undangan."

Aji menggaruk lehernya. Bukannya tidak mau, ia memikirkan berapa pula biaya untuk ia les di luar sana. Memang yang akan mengajarnya adalah abangnya sendiri, tapi tetap saja dia harus membayar di sana.

"Kalau di rumah gak sempat, mana tau Abang telat pulang."

"Liat nanti, deh, Bang."

"Apalagi yang mau diliat? Nanti biar Abang yang urus."

"Uangnya gimana?"

"Jangan dipikirin, Abang kerja di sana, pasti ada diskon dan nanti bisa dipotong dari gaji Abang."

Aji akhirnya mengangguk pelan. Lagi ... dia merasa bersalah kepada abangnya.

Aji menghempaskan tubuhnya di atas kasur yang sudah mulai keras. Sebelumnya Wira sudah menawarkan untuk mengganti dengan yang baru, tapi ditolak oleh Aji. Dia masih nyaman dengan kasur lama itu.

Ma, Aji ngerasa bersalah sama abang. Aji selalu ngerepotin mereka berdua. Kenapa dulu mama gak bawa Aji aja?

Aji menatap kipas yang berada tepat di atasnya. Berandai jika di atas sana juga ada sosok mama yang ia rindukan. Sosok mama yang tak ia ingat parasnya, sebab mereka pergi disaat Aji masih bayi.

Sampai kapan Aji nyusahin abang?

Aji merasa hidupnya adalah beban untuk kedua abangnya. Dia tidak sama dengan Wirra dan Dika yang bisa bekerja saat masih sekolah. Berbeda dengan Aji, dia mau melakukannya, tapi badannya tidak mendukung. Ketika bertemu dengan orang lain di luar sana Aji akan panik sendirinya dan ia lebih memilih berada di dalam ruangan yang hanya ada dirinya.

-LYING BROTHER-

Wira dan Dika sejak tadi saling bertukar pesan. Mereka masih membahas siapa yang akan datang ke sekolahnya Aji. Mengingat wajah memelas sang adik. Namun, setelah didiskusikan keduanya tetap tak bisa.

"Biarin aja, lagian dia gak bikin masalah di sekolahnya. Pasti gurunya juga ngerti. Atau suruh orang tua temennya yang ngambilin," usul Dika melalui pesan suara.

Wira menyetujui apa yang dikatakan kembarannya itu. Namun, baru saja membuka pintu kamar Aji ternyata dia sudah tidur. Wira menatap wajah sendu adiknya beberapa detik dan ia menghela napas singkat sebelum menutup pintu kembali.

"Kuat, ya, Ji. Soalnya keluarga kita gak lengkap kayak orang di luar sana."

Wira menyandarkan punggungnya di kursi, masih ada pekerjaan yang harus ia selesaikan. Namun, dia memilih diam sejenak untuk mengatakan terima kasih kepada dirinya sendiri karena sudah bertahan sejauh ini.

Ma, ternyata jalani hidup itu capek, ya, tapi Wira gak boleh nyerah karena masih ada Aji yang harus Wira bahagiain. Mama yang tenang di sana dan jangan khawatir sama Aji, dia baik-baik aja sama kami di sini.

Tak ada bedanya dengan Aji, setiap malam Wira juga melakukan hal yang sama. Berbicara seakan di dekatnya ada sang mama yang menemani. Mengatakan apa saja yang ada di kepala, termasuk rasa ingin untuk menyerah akan hidup yang ia jalani saat ini. 

-LYING BROTHER-

Lying Brother - ENDМесто, где живут истории. Откройте их для себя