Sejak ayahku meninggal dunia

1.7K 15 2
                                    

Ketika usiaku 10 tahun, Ayahku meninggal dunia. Kepergiannya meninggalkan kepedihan yang sangat mendalam bagi Ibuku, sebagai istrinya. Sementara aku, tidak terlalu sedih dengan kepergian Ayah, karena mungkin usiaku masih terlalu muda untuk mengerti sebuah hubungan, atau mungkin juga karena hubunganku dengan Ayah yang tidak terlalu akrab. Ayahku memiliki beberapa perusahaan. Sehari-hari ia jarang ada di rumah, bahkan pada hari Minggu. Ia selalu pulang malam dan datang pada saat aku telah tertidur.

Meskipun Ibuku seorang istri pengusaha kaya, tetapi dalam kesehariannya ia hanyalah seorang Ibu rumah tangga, makanya di ruamh kami yang besar, tidak ada seorangpun pembantu, selain Pak Basuki, Sopir yang selalu menemani Ayah jika ingin pergi kemana-mana. Sekarang, tugas sopir Ayah itu sudah tidak ada lagi. Tetapi karena lamanya Pak Basuki mengambdi pada keluarga kami, maka Ibu tetap mempekerjakannya sebagai sopir pribadi. Bahkan Ibu menaikkan gaji Pak Bas 2x lipat, karena Ibu memerlukan bantuan Pak Bas dalam mengelola dan mengawasi kegiatan pada beberapa peusahaan yang Ayahku miliki.

Kesedihan Ibu pasca meninggalnya Ayah memang tidak terlalu tampak pada siang hari, karena Ibu berusaha menyibukkan diri dengan kegiatan luar rumah, menggantikan posisi mendiang Ayah. Namun pada malam hari, ku rasakan kesedihan itu masih mengendap di hati Ibu. Mungkin karena sekian lama berumah tangga, kamar mereka tersebut menjadi saksi romantika kehidupan rumah tangga mereka.

Suatu malam, saat aku sedang tertidur, Ibu masuk ke kamarku dan membangunkan aku. Ia hanya menatapku dengan senyuman kecil di bibirnya. Aku tak tahu apa maksud dari tatapannya itu.

Aku: “Ibu!? Ibu baru pulang? Ibu ada apa!?”

Ibu: “Ibu hanya teringat Ayahmu, Sayang! Melihat wajahmu, bagai melihat Ayahmu…”

Aku: “Ibu! Aku tahu Ibu masih sedih… Andai aku bisa membantu menghilangkan kesedihan Ibu…

Ibu: “Tentu kamu bisa, Sayang!”

Aku: “Apa yang bisa ku lakukan, Bu?”

Ibu: “Temani Ibu tidur di kamar Ibu…”

Aku: “Baiklah, Bu!”

Dengan perlahan aku bangkit dari tempat tidurku, mengikuti langkah Ibu yang lebih dulu keluar dari kamarku menuju ke kamarnya.

Di dalam kamarnya, Ibu menanggalkan seluruh pakaiannya dan masuk ke kamar mandi. Terdengar ia mengguyur seluruh tubuhnya tak perduli suasana tengah malam yang begitu sunyi. Beberapa saat kemudian, Ibu keluar hanya dengan handuk membalut tubuhnya. Ia menatap ke arahku yang telah berbaring di tempat tidurnya sambil terus melanjutkan langkahnya menuju meja rias.

“Ibu: “Sayang! kemari sebentar Ibu kasih tahu…” begitulah bahasa Ibu memanggilku sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk yang ia lepaskan dari tubuhnya. Ibu duduk menghadap cermin di meja riasnya tanpa busana, dan tanpa merasa canggung terhadapku. Sebaliknya aku yang merasa risih di dekatnya. Karena jujur saja, di usiaku saat itu yang baru beranjak 10 tahun, aku memang belum begitu mengerti tentang seks, Apalagi melihat bagian tubuh pada wanita yang langka ku lihat, yaitu daerah berbulu lebat di selangkangan Ibu yang terpantul dari cermin meja riasnya.

Ibu:”Sayang! Ibu dan Ayahmu tidak pernah mengenakan pakaian saat mau tidur. Ibu pingin kamu juga melakukan yang biasa Ayahmu lakukan.”

Aku: “Baiklah, Bu!”

Ku lepaskan pakaianku dan Ibu menatap burungku yang mati tergantung. Ibu memegang burungku dengan telapak tangannya, lalu bertanya?

Ibu: “Kenapa burungmu mati, Sayang? Burung Ayahmu tidak pernah mati, kecuali Ibu yang menbunuhnya…”

Aku: “Membunuh? Maksud Ibu?”

Ibu: “Oh.. atau mungkin burungmu hanya tertidur, ya? Sini Ibu bangunin dulu…”

Hai finito le parti pubblicate.

⏰ Ultimo aggiornamento: Apr 05 ⏰

Aggiungi questa storia alla tua Biblioteca per ricevere una notifica quando verrà pubblicata la prossima parte!

Sejak Ayahku Meninggal Dunia Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora