Vanilla

160 9 2
                                    

.
.
.
.
.

Membuka pintu, aroma khas kedai es krim langsung menyeruak di hidung Wang Yibo. Dia menunduk untuk masuk lebih dalam. Aroma tempat ini mengingatkan dirinya akan seseorang dengan bau tubuh yang sama, vanilla.

Udara kosong mengajaknya berbincang nostalgia, membawanya ke masa ketika mereka pertama kali bertemu, dengan degup jantung menderu seakan-akan mau meledak.

"Yibo?" Seseorang memanggil pelan, dan dia menoleh. "Haikuan."

"Dua mangkuk?" Pria jangkung dengan senyum ramah itu menawarkan menu kepadanya seperti biasa, seperti yang sudah-sudah. Wajah tampannya terlihat sedikit samar.

Wang Yibo mengangguk pelan. Sudah tiga hari ini dia memesan dua mangkuk es krim vanilla untuk dia habiskan seorang diri. Akhir-akhir ini dua mangkuk es krim menjadi terlalu banyak untuknya.

Dia duduk di kursi dekat jendela, menunggu Haikuan kembali membawa pesanannya. Suasana hari ini tidak sekacau biasanya. Matanya berpendar menelusuri setiap sudut kedai es krim yang hening, dan berhenti pada lukisan monyet yang tergantung di dinding. Mulut monyet itu manyun dan tampak sedih, akhir-akhir ini si monyet juga murung.

Haikuan datang menyurungkan dua mangkuk es krim kepadanya.

"Kalau tidak habis, aku yang akan memakannya." Katanya menarik kursi dan duduk di hadapan Wang Yibo. Pemuda tampan itu menjawab, "Biarkan saja." Di matanya yang cekung, semua tampak abu-abu. Dia ingin menolak dan menukar takdir, menghentikan waktu walaupun hanya satu hari saja.

Haikuan mencondongkan tubuhnya sebelum bertanya, "Kau merindukannya?"

Pandangan itu jatuh ke mangkuk es krim yang sedikit meleleh, diam-diam berharap seseorang memakannya dengan antusias seperti terakhir kali.

Beberapa waktu lalu segalanya begitu hidup ketika pintu kedai terbuka. Seulas senyum selegit vanilla muncul dengan suara melengking membuat telinga pekak. Ketika senyum itu terbit, maka seluruh beban di pundak Wang Yibo jatuh berguguran akibat dari penatnya bekerja. Mereka menikmati rasa manis ini berdua diiringi gelak tawa, bahkan monyet di dinding juga ikut tertawa.

Hari ini berbeda. Wang Yibo sudah berakhir. Pipinya tirus dan matanya seperti ikan teri mati. Bibirnya kering dan rambutnya sedikit berantakan. Melihat itu, Haikuan memandanginya lekat-lekat.

Sesaat, Wang Yibo tidak sanggup mengangkat kepala. Dia hanya akan menemukan pria manisnya di seluruh sudut kedai es krim ini, dengan senyum lebar dan gigi kelinci yang kentara.

"Aku merindukannya." Bibirnya terkatup rapat, dan ketika kepalanya terangkat, Xiao Zhan dengan senyum hangatnya yang khas menyapu wajah pucatnya.

Pria dengan mata burung api itu menyentil ujung hidung Wang Yibo dan membuatnya mengaduh sakit.

"Kau benar-benar merindukanku, 'kan? Sekarang kau merasakannya! Dulu kau tidak pernah percaya kalau aku bisa membuatmu merindukanku seperti ini."

Ejekan itu bahkan terdengar bisa menambal sesuatu yang kosong di hati Wang Yibo. Menghangatkannya setelah badai di akhir pekan lalu. Sekadar tersenyum Wang Yibo tidak bisa, apalagi marah. Dia hanya bisa berkata lirih, "Bagaimana bisa?"

Wajahnya pias dan letih. Dingin berkabut menyelimuti keduanya. Xiao Zhan terkekeh manis seperti biasa, terasa benar-benar hidup. "Baru saja aku merasa terpanggil karena kerinduanmu."

Wang Yibo gelap gulita.

"Sudah kubilang, kau pasti akan merindukanku, Yibo. Kau kurus sekali. Apa kau tidak makan dengan baik?"

Wang Yibo tidak bisa menangis setulus dan sekeras Xiao Zhan. Air matanya tidak mau keluar. Bahkan ketika hari Xiao Zhan pergi, di hari itu juga dia sudah mati.

[One Shoot - YiZhan]Where stories live. Discover now