12. Ary: Hening Menyedihkan

41 7 0
                                    

"Kau hebat, ya. Kau selalu berjuang sendirian. Meski tak ada orang yang memujimu."

Tokyo Revengers - Matsuno Chifuyu

Tokyo Revengers - Matsuno Chifuyu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Makan malam kami selalu sama. Hening. Papa bahkan sudah jarang menanyakan bagaimana sekolahku. Sebab, sekarang Papa sedang fokus pada pertandingan Davi. Kanaya juga menjadi lebih pendiam dari terakhir kali aku berbicara dengannya. Setelah selesai makan, aku dan Kanaya membagi tugas. Kanaya membersihkan meja makan, aku mencuci. Sedangkan saudara pertama kami sudah beberapa hari tidur di asrama untuk memaksimalkan latihannya.

"Kak, Naya ke kamar dulu," kata Kanaya.

"Tidur yang nyenyak, Naya. Jangan begadang." Aku berpesan padanya dan dibalas dengan anggukan singkat.

Seketika aku teringat beberapa waktu lalu saat Kanaya panik mendapatkan haid pertamanya. Ia menangis di kamar selama satu jam lebih. Aku dan Papa sampai heran mengapa Kanaya mengurung diri, tidak seperti biasanya. Namun, ternyata dengan malu-malu, Kanaya mengakui bahwa dirinya mengalami hal yang pasti dialami perempuan saat masuk masa balig. Masa pubernya.

"Terus gimana?" kata Papa kala itu. "Naya bisa doanya nggak? Tau cara mandinya gimana?"

Adikku mengangguk di malam ketika papa menanyakannya. "Bu guru yang ngajarin. Naya bisa, Papa. Jangan khawatir, Naya udah catat dan hafalkan dengan baik." Begitulah katanya.

Sementara aku yang mendengar hanya bisa menghela napas. Bahkan adikku tidak bisa mendapatkan pengetahuan pertamanya tentang haid dari sosok bernama ibu. Kurasa Kanaya bukan anak yang akan malu-malu menanyakan pada wanita dewasa. Untunglah gurunya dengan sabar menghadapi Kanaya.

Aku teringat akan Melodi. Kala itu aku memintanya untuk mengajarkan Kanaya tentang hal tersebut. Namun, sampai saat ini aku belum mempertemukan Kanaya dengan gadis itu. Mungkin Melodi juga akan menolak? Entahlah.

Lamunanku tentang kejadian waktu itu pun buyar begitu saja. Setelah selesai mencuci piring, aku bergegas hendak ke kamar. Namun, atensiku tersita pada air kolam rumah kami yang tenang. Hanya riak kecil yang terlihat di permukaannya yang biru mengkilap diterpa sinar lampu. Aku melangkah di sana dan duduk di tepi kolam renang, menenggelamkan kedua telapak kakiku di sana.

"Apa sekarang Davi juga lagi latihan?" gumamku. Sebenarnya aku agak takut kalau Davi memaksakan diri. Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya?

Aku pernah mengalami cedera. Kusentuh bahuku yang bahkan masih terasa agak sakit. Sekarang setiap melihat air kolam, aku merasa agak takut untuk turun dan berenang. Skandal doping yang menjebakku serasa masih sangat hangat membekas. Aku masih ingat saat orang-orang kolam renang meneriaki dan menghinaku. Bagaimana aku digiring dan dijatuhi hukuman didiskualifikasi dari O2SN.

Belum cukup sampai di sana, cederaku makin parah. Bahkan harus melewati operasi. Di sana pun tidak cukup, sekolah memberhentikanku karena menganggap skandal doping sangat memalukan. Pada hari di mana aku pindah, sepasang mata mengawasiku dengan sorot datar. Seakan-akan tidak ingin sama sekali menaruh simpati. Padahal kami ... dekat. Sangat dekat.

MELODIARY✅Where stories live. Discover now