23-Cinta yang Terkikis

437 104 90
                                    

Rasa rindu pada seorang yang telah tiada, rasanya berkali lipat lebih menyakitkan. Bahkan memandangi fotonya setiap saat saja tak mampu membuat hati merasa baik. Tari mengalami hal itu nyaris setiap hari. Duka karena kehilangan anaknya belum serta merta usai. Ia masih sering menangis sebelum tidur sembari mengingat suara Ghazy yang selalu terngiang.

Hari ini, Tari mengurungkan niatnya untuk berangkat bekerja. Rasa lelahnya menghadapi sikap Ghava, membuat ia tak punya minat untuk sekedar keluar rumah. Wanita itu menyendiri di ruangan yang dikelilingi lemari berisi macam-macam buku. Pandangannya tak lepas dari sebuah pigura di atas meja, di mana memperlihatkan senyuman manis Ghazy.

"Semuanya kacau sejak kamu nggak ada, Zy," gumam Tari dengan tangis yang masih membanjir.

Tari masih belum menerima segalanya. Pembicaraan terakhirnya dengan Ghazy hari itu, pun masih belum usai ia sesali. Tari rasanya tak sanggup menyusun kepingan hidupnya lagi, terlebih harus dihadapkan dengan situasi yang amat melelahkan seperti ini.

"Ibu capek, Zy. Semua orang nyuruh Ibu buat sabar, tabah, ikhlas, tapi nyatanya nggak semudah itu. Bahkan walaupun Ibu udah berusaha nyari kesibukan, Ibu masih belum bisa tenang. Ibu harus gimana?"

Tari tidak tahu harus menyalahkan siapa atas sakit hati yang ia rasa. Bahkan setiap kali ia ingin dimengerti, hanya berakhir dirinya yang dimarahi. Mereka seakan begitu mudah menjalani segalanya, tak peduli pada ia yang masih terluka atas kehilangan putranya.

***

Hari demi hari berlalu, rasanya tidak ada yang bisa dikatakan baik. Bahkan Ghava sangat menyadari jika kehangatan dalam rumahnya sudah benar-benar tiada. Setiap pagi, tak ada lagi sarapan bersama dan obrolan-obrolan ringan sebelum memulai hari. Ghava sudah memaksa diri untuk tegar, tetapi usahanya seperti tak dilihat.

Ghava pikir, dengan ia kembali ke sekolah, bersikap baik, memperbanyak senyum, orang tuanya akan berbaikan. Namun nyatanya tidak. Perang dingin di antara mereka justru semakin menjadi. Semua orang di rumah ini juga menyadari hal itu.

Pagi ini, Ghava pun hanya seorang diri di ruang makan. Orang tuanya sudah pergi ke tempat kerja mereka masing-masing. Ghava ingin kecewa, tapi ia merasa tak punya hak untuk itu. Semua perasaannya hanya berakhir ia pendam dalam-dalam.

"Bi, tolong ambilin obat maag," keluh Ghava yang sedari tadi terus memegangi perutnya. Menu sarapan di atas meja masih ia diamkan sebab rasa perih dan mual sangat menganggu.

Bi Ais mengangguk dan segera mencari barang yang Ghava butuhkan. "Maag-nya kambuh ya, Den? Nggak usah berangkat dulu, ya?" ucap Bi Ais selagi menyerahkan obat pada Ghava.

"Nggak begitu sakit, kok. Ghava berangkat aja." Setelah menelan obat itu, Ghava beranjak dari tempat duduknya. Ia lekas keluar dan menghampiri Pak Riza yang sudah siap mengantarnya ke sekolah.

Sayangnya, sepertinya hari ini tidak berpihak pada Ghava. Rasa perih dan mual masih menyiksanya hingga ia berada di sekolah. Sepanjang pelajaran, Ghava tidak bisa fokus. Wajahnya sudah pucat pasi, tapi tak ada yang menyadarinya karena Ghava duduk sendiri di bangku paling belakang.

Ghava rasanya ingin menyerah untuk tetap kuat. Huruf-huruf yang ada di papan tulis kini tampak berbayang dalam pandangan Ghava. Tangan lelaki itu sesekali menepuk dadanya yang terasa seperti terbakar. Rasa mual semakin menjadi-jadi dan Ghava sudah tak bisa lagi menahannya.

Huekk huekk

Ghava sontak berbalik ke belakang untuk memuntahkan cairan kekuningan dari lambungnya. Ia sesekali terbatuk, matanya lekas merah berair.

Semua perhatian seketika teralih pada Ghava. Seorang guru yang sedang menjelaskan materi pun segera mendekati anak itu.

"Ihh, jorok banget sih! Muntah sembarangan gitu, emangnya nggak bisa keluar dulu apa?" protes salah seorang siswi yang menatap jijik pada Ghava.

How to Say "Goodbye"?✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang