19

2.7K 173 4
                                        

Mendengar apa yang dikatakan Leonard, Johanna jadi menatap lukisan itu. Dia menatap seksama dan menemukan kalau tidak ada kemiripannya. Leonard tampaknya mengarang semuanya. Johanna melukis perempuan itu juga karena iseng dulu. Siapa sangka malah Margarita bahkan sangat menyukainya dan memajangnya. Lalu Earl menemukannya dan mengatakan cocok dengan produk yang akan dia keluarkan jika disandingkan dengan lukisan itu.

Johanna tidak memikirkannya panjang, dia hanya memberikan anggukan kemudian pada Earl dan lukisan itu menjadi tanggung jawab Earl. Johanna tidak pernah lagi memikirkannya. Sampai dia menemukannya hari ini.

"Sungguh mirip denganku? Kenapa aku tidak menemukan letak kemiripannya?" Johanna memperhatikan.

Saat matanya fokus ke lukisan, Leonard malah berdiri di depannya. Membawa pandangan Johanna naik hingga bertemu tatap dengan pria itu. Wajah mereka yang bertemu menciptakan efek yang berbeda. Apalagi saat Leonard terus mendekat seolah kedekatan mereka sudah tidak cukup dekat baginya. Dia seolah ingin membunuh semua jarak yang terbentang di antara mereka.

Johanna sendiri yang tidak yakin terus memundurkan wajahnya sampai tangan Johanna ada di dada pria itu. Memberikan pencegahan pada kedekatan yang bisa menjadi lebih tidak meyakinkan kalau sampai dia membiarkan.

"Apa yang kau lakukan?" telunjuk Johanna, dengan kuku tajamnya itu menusuk ke dada Leonard yang hanya terbungkus kemeja hitamnya. "Kau terlalu dekat, Leon."

"Hanya mencari di mana letak ketidakmiripannya," timpal Leonard dengan santai.

Johanna mendengus, sekarang dia benar-benar membentang jarak di antara mereka. Tidak mengizinkan Leonard lagi dekat dengannya karena itu bisa menyakiti jantungnya dengan cara yang buruk. Setelah sekian banyak keputusan dan ketidakberdayaan, pada kenyataannya hatinya masih saja memihak sosok yang sama. Tidak peduli penolakan dan luka yang terus diberikan, selama pria itu masih hidup, Johanna sepertinnya tidak akan pernah berpindah perasaaan.

Suara deheman mengejutkan Johanna dan pandangannya jatuh pada Earl yang tampak salah tingkah melihat pasangan itu. Johanna meninggalkan Leonard dan mendekati Earl.

"Mari bertemu di ruanganku," ucap Earl.

Johanna mengangguk dan mengikuti Earl. Mereka melangkah bersama dengan percakapan membahas soal beberapa hal yang menyebabkan segala ketidakmungkinan pemotretan bisa dilakukan. Tiba di ruangan Earl, pria itu yang sudah akan duduk malam terdiam karena Leonard yang juga ikut dengan mereka. Leonard sibuk memindai ruangan itu seolah dia hendak menemukan kesalahan seseorang.

Earl menatap Johanna meminta bantuan.

Johanna mengibaskan tangannya. Memberikan gerakan untuk tidak memedulikannya. "Abaikan dia. Dia tidak memiliki sesuatu yang penting untuk dilakukan makanya sibuk merecoki di sini. Katakan apa yang hendak kau katakan."

Leonard memandang Johanna dengan tajam tapi gadis itu mengabaikannya.

Earl melakukan yang dikatakan Johanna. Dia mengabaikan Leonard dan segera sibuk menjelaskan apa yang harus mereka lakukan saat ini. Yang pasti mereka tidak akan bisa melakukan penundaannya dan itu yang membuat Johanna bingung juga. Apalagi konsep yang mereka usung adalah gadis yang memiliki kegelapan di dalam dirinya.

"Kau tahu, aku sebenarnya memiliki ide, tapi terlalu takut untuk mengatakannya." Earl meremas tangannya, melirik ragu pada Johanna yang masih sibuk menatap gambar-gambar abstrak di depannya.

"Kalau punya katakan saja, kenapa memendamnya. Katakan. Aku akan mendengarnya dan mempertimbangkannya."

"Kau janji jangan marah?"

Johanna yang mendengar itu tidak lantas segera setuju, dia malah menatap Earl dengan penuh pertimbangan. Tahu kalau sampai Earl mengatakan padanya untuk tidak marah, itu artinya ide apa pun yang akan dia katakan akan membuat setidaknya satu persen dalam hatinya tersinggung.

Tatapan Johanna membawa Earl menelan ludahnya dengan susah payah. Dia bahkan sampai meringis dan menggaruk bagian belakang kepalanya.

"Katakan, aku akan mencoba tidak marah."

"Hm ...."

"Katakan selagi aku memintanya baik-baik. Jangan membuat aku membedah kepalamu untuk tahu apa isi di dalamnya." Wajah Johanna sudah gelap, menunjukkan kekesalan yang jelas tidak disembunyikan.

Leonard yang menatap itu dengan tubuh berdiri dan bersandar di dinding, menemukan senyuman terbit di bibirnya. Melihat bagaimana kegelapan itu menguasai pandangannya, dia menyukainya. Menyukai saat Johanna menunjukkan kediktatorannya. Dia tahu sekarang, Johanna memang berubah. Seolah segala yang dia tunjukkan dua tahun belakangan ini saat menjadi tunangannya, hanya kamuflase belaka. Dan inilah dia yang sebenarnya, gadis egois nan kejam yang bisa melumat dunia hanya karena kesal. Bukannya gadis polos yang bahkan tidak dapat membalas saat tubuhnya ditumpahi wine.

Leonard bisa menjadikan gadis lemah sebagai kekasihnya. Dia bisa melindunginya dan bahkan menjadikannya burung dalam sangkar emasnya. Tapi gadis seperti itu sama sekali tidak menarik baginya. Gadis seperti itu hanya akan membosankan seiring berjalannya waktu.

Leonard lebih suka gadis yang tidak dapat dia kendalikan. Gadis yang memiliki kekuataan yang sama dengannya. Juga gadis yang setara dalam memperlakukannya. Jika dia kejam maka dia butuh kekejaman yang sama.

"Sebenarnya," Earl memulai.

Leonard dibawa kembali ke alam nyata oleh suara dan tatapan itu. Karena saat mengatakannya, Earl menatap padanya.

"Aku mau kau menjadi modelnya. Seluruh dirimu cocok menjadi model itu," Earl bicara sambil memejamkan matanya. Dia sudah siap menerima pukulan di kepalanya. Tapi lama menunggu, hantaman itu tidak kunjung datang.

"Buka matamu. Kenapa kau menutupnya?" tanya Johanna.

Earl melakukannya, menatap Johanna dan gadis itu masih duduk di tempatnya, tidak terlihat akan beranjak sama sekali. Itu membuat Earl mengelus dadanya. "Kau sungguh tidak marah?"

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Sleep With Fiance (✓)Where stories live. Discover now