“Jadi, Mas nggak suka terjemahan saya?”Masih segar dalam ingatan kalimat Nadia saat pertama kali bertemu. Siang itu, aku datang ke kampusnya untuk membahas revisi dokumen yang ia terjemahkan. Begitu datang, Nadia langsung menyentak tiga lembar hasil terjemahan tepat di depanku. Dari wajahnya, ada rasa tak suka melihat beberapa coretan merah di sana. Misuh-misuh, Nadia membuka laptop, lantas matanya bergerak memindai bergantian antara layar dan dokumen.
Berbeda dari biasanya, kala itu ada yang perlu dibahas secara tatap muka. Pasalnya, Nadia seringkali menggunakan bahasa Inggris alih-alih bahasa yang sering dipakai orang lapangan saat menerjemahkan istilah tertentu. Meski sebagian besar terjemahan teknisnya menggunakan bahasa Inggris, tidak menutup kemungkinan pada beberapa kasus, bahasa lapangan justeru lebih aman digunakan. Apalagi kalau bukan agar mudah dipahami, terutama jika ada pekerjaan terkait maintenance.
“Mana saya tahu, Maas, Mas. Lulus juga belum, wajarlah. Heran, demen banget nyiksa anak orang ….”
“Ini nggak banyak. Kamu kerjakan satu per satu dari sekarang juga setengah jam selesai.”
“Haah, apes banget saya dapet bos kayak Om.”
“Sudah saya tulisin kata-katanya, tinggal kamu salin. Apa susahnya?”
“Kalau gitu, kenapa nggak Om kerjain sendiri? Pake ngajak ketemuan segala, buang-buang waktu saya aja!”
Percayalah, kalau tidak mewanti-wanti diri agar lebih bersabar menghadapi anak kuliahan setengah bocah ingusan, habis dia kumaki. Bahkan, menjahit mulutnya saja belum cukup karena gerutuan pasti akan tetap mencari celah keluar dari sana.
Perempuan dan mulut maha benarnya. Kalau sudah begitu, iyakan saja daripada memancing lebih banyak emosi.
Anehnya, hal itulah yang paling ingin kulakukan sekarang demi membuat punggung kesepian di sana berbalik, dan menyambutku dengan kalimat pedasnya. Akan kuberikan coretan merah satu lembar penuh demi mendengar mulutnya misuh-misuh seperti dulu.
“Jadi, ini yang mau Om tunjukin? Tsk, nggak butuh!”
Punggungnya memang berbalik–sedikit. Mulutnya pun tak lupa mengucap kata-kata nyelekit. Namun, matanya meneriakkan kata sakit. Meski terlihat betapa keras Nadia berusaha menutupi dengan menjaga nada bicaranya.
“Sungguh merepotkan. Sungguh … sangat …,” Nadia memberi jeda sebelum melanjutkan, “merepotkan.”
Bahu rapuhnya terkulai lemah, sebelum naik-turun disusul suara sesenggukan yang susah payah ia sembunyikan. Kedua tangan Nadia sontak menjadikan pinggiran kaca sebagai pegangan, tetapi tetap tak mampu menahan tubuhnya meluruh.
“Nad–”
Tanganku segera ditepis. Nadia menggeser duduknya menjauh, lantas membiarkan dirinya merayakan kesendirian dan kesedihan. Dadanya ditepuk-tepuk amat keras. Terus begitu, sampai ia terbatuk-batuk.
“... sekarang?” Sesenggukannya masih belum berhenti. “Kenapa baru sekarang?”
Memuakkan rasanya tak bisa berbuat apa-apa. Kalau pun Nadia mengizinkanku menenangkan, malah akan membuatnya lebih sakit dari ini.
Menenangkan? Aku jadi ingin tertawa. Seperti ia mau menerimaku saja.
“Lebih baik gue pergi, dan lo … menjauh dari hidup gue,” usir si perempuan berambut kuncir kuda sarkas.
Tanpa aba-aba, Nadia melangkah pergi, meninggalkan apa yang seharusnya dibawa bersamanya. Dengan percaya diri, tanpa menoleh sedikit pun.
Beribu andai saling tumpang tindih di kepala, sampai pada hal mustahil: andai waktu bisa diputar kembali, mungkin aku dan Nadia tak perlu dipertemukan. Walau takada jaminan apakah dengan begitu, Nadia bisa merasakan kebahagiaan, alih-alih kesedihan?
Namun, andaikan masih ada harapan sekecil apa pun, akan kuambil kesempatan itu. Meski dibenci seumur hidup menjadi bayarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Longing
General FictionSepeninggal Ibu, hidup Nadia tak lagi sama. Betapa tidak, pusat dunia yang membersamai selama dua puluh tahun pergi untuk selamanya. Saat itu juga Nadia serasa tak utuh. Pikiran, juga perasaannya tak lagi ia butuh. Tak mudah memaksakan diri menjala...