***

1.1K 47 1
                                    

Tidak ada yang bisa menolak hadirnya perasaan cinta. Seorang musisi Malaysia pernah menulis dalam lagunya, cinta itu serupa bayang-bayang. Bila terang cahaya dia akan hadir meski diusir. Bila gelap menghampiri dia akan hilang meski kita undang.

Aku pun tak pernah bisa menampik pesona ragawi Shania Junianatha. Perempuan yang akrab kusapa Bu Shania ini, adalah dosen baru di kampusku. Wajahnya manis, make up sewajarnya, rambut panjangnya selalu rapi dan yang jelas, dia tak pernah memakai rok mini. Setelan berupa celana panjang dan jas atau blouse longgar selalu melekat di tubuhnya yang tinggi semampai.

Tidak hanya cantik menarik, Bu Shania juga memiliki cara mengajar yang menyenangkan. Baginya tidak tabu jika mahasiswa bertanya di luar materi selama masih dalam lingkup mata kuliah. Dia juga tidak segan mengakui jika belum tahu jawaban pasti atas pertanyaan mahasiswanya. Biasanya dia akan menangguhkan menjawab sampai dia dapatkan jawabannya dari membaca atau bertanya pada dosen senior lain.

Bukan itu saja. Bu Shania juga sangat supel dan pandai bergaul. Canda yang hangat namun tetap dalam batas kesopanan membuatnya mudah diterima oleh dosen lain di sini. Termasuk aku, Boby Chaesar Anadille.

Ah, rasanya tidak ada habisnya membicarakan dia. Dan pada akhirnya rasaku pun berubah. Dari sekedar kagum, kemudian suka lalu sepertinya aku mulai jatuh cinta. Ya, jatuh cinta. Rasanya itu kalimat yang tepat untuk mewakili perasaanku.

Betapa tidak? Kalau nggak ketemu aku kangen. Tapi kalau ketemu deg-degan setengah mampus. Jangankan menyapa, sekedar tersenyum saja sulit rasanya. Grogi. Aku tidak tahu, apa semua orang jatuh cinta mengalami ini. Kalau iya, berarti aku tak sendiri.

"Udah Pak, tembak aja! Keburu diambil orang," kata Pak Keynal mencoba meniupkan hawa panas.

"Tembak, tembak. Emang saya sniper? Lagi pula mencintai itu Pak, kalau nggak mengungkapkan ya mengikhlaskan kalau keduluan,"

"Emang Pak Boby mau dapat peran yang mengikhlaskan? Gak enak lho. Berat!"

Aku diam saja mendengar penuturan Pak Keynal. Ikhlas itu cuma mudah diucap tapi sulit dilakukan. Apa aku bisa melihat dia bersanding dengan pria lain? Apa aku rela? Rasanya kok tidak. Ilmu ikhlasku belum setinggi itu.

Pak Keynal juga Pak Farish keduanya benar. Musti diungkapkan kalau nggak ingin mengikhlaskan. Meski jika sudah diungkapkan pun masih ada kemungkinan lain. Ditolak! Tapi setidaknya, itu lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa.

Akhirnya, setelah membuat janji dengannya, kuputuskan untuk mengunjungi kediaman Bu Shania. Rumah berarsitektur Jawa nan asri itu, seolah mampu menghadirkan aura semangat dalam hatiku. Sehingga sedemikian lancar lidahku bertutur tentang keinginanku. Keinginan untuk menjadikannya kekasih dunia akhirat.

"Pak Boby, saya sangat tersanjung dan berterima kasih dengan niat baik Pak Boby. Apalagi, sebetulnya saya juga menyukai Pak Boby." Bu Shania tersenyum sangat manis. Aku jadi gugup dibuatnya. Apalagi saat kutahu dia juga menyukaiku. Oh, Thank's God!

"Tapi maaf, Pak. Saya tidak bisa." Bu Shania lantas menunduk. Aku pun mendadak cemas.

Namun belum lagi sempat kutanyakan mengapa, seorang wanita paruh baya muncul dan mengatakan sesuatu yang seperti petir di siang bolong.

"Shania, Mama tunggu di mobil ya! Kita ditunggu Pendeta Albert di gereja." Wanita itu kemudian berlalu setelah mengangguk dan tersenyum padaku.

Kubalas senyumnya namun mendadak ada yang lenyap dari jiwaku. Kata pendeta dan gereja membuat aku paham mengapa Bu Shania mengatakan bahwa dia tak bisa menerimaku.

Sejenak aku pun merasa bodoh. Mengapa tidak sedari tadi memperhatikan bahwa begitu banyak ornamen dan gambar di dinding yang seharusnya membuatku paham bahwa meski Tuhan itu satu, tapi aku dan Bu Shania tak sama? Mengapa aku hanya memperhatikan loro blonyo dan wayang saja? Bodoh!

Ini bukan sekedar persoalan didahului atau ditolak tapi lebih dari itu. Ada Dia yang tak pernah bersedia dikhianati oleh sesiapapun ciptaanNya. Aku tidak mungkin memaksakan keyakinanku pada Bu Shania demikian pula sebaliknya. Tak akan sudi aku berpaling dari Tuhanku. Lalu bagaimana dengan perasaan ini?

Ah, andai saja manusia boleh memberi hidayah pada manusia lain.

hatur nuhun tos kersa maca epribadeeehhh...

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 04, 2015 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Dia, Tak Sudi DikhianatiWhere stories live. Discover now