I'm Sorry To Forget You :: 1

440 40 17
                                    

Hasil sambung kalimat 25 September 2015

Collaborate : Wiwid, Zabilla, Efaa, Anisa, dan Marinka.

Aku berlari menerobos hujan yang begitu deras. Tidak ku sangka malam ini begitu dingin dan hujan semakin lebat. Ini semua karena Dio yang tidak menjemputku. Menyebalkan sekali, aku sudah memberitahunya untuk menjemputku, tetapi dia malah tidak bisa karena lebih memilih untuk bermain games.

Sebenarnya dia sedang apa, sih, bermain games atau jangan-jangan... selingkuh? Atau memang dia sudah tidak peduli denganku? Aku pun menggeleng cepat, mencoba mengenyahkan pemikiranku barusan, kulihat ada cafe yang lumayan sepi, aku pun segera menepi di emperan cafe tersebut.

Kucoba untuk mengeringkan rambutku seadanya. Kuhela nafasku sembari mengelap beberapa bagian di pakaianku yang terkena air hujan, ini benar-benar merepotkan.

Kurasa, ini adalah hari tersial di dalam hidupku. Aku pun melirik ke dalam cafe, ada beberapa pelanggan yang menghangatkan diri dengan segelas cokelat atau kopi hangat di dalamnya, sepertinya menarik, aku pun melangkahkan kakiku memasuki cafe.

Begitu masuk, langsung kulangkahkan kakiku menuju meja paling pojok di cafe ini. Pelayan datang, dan karena aku tidak begitu mengetahui minuman enak yang mana saja, maka aku memesan caramel macchiato.

Tiba-tiba, terdengar suara lonceng cafe, tanda ada pengunjung lain yang masuk. Kutolehkan kepalaku ke arah pintu, mataku melotot seketika, itu dia.. Dio dan.. seorang perempuan yang terlihat sangat seksi.

Aku shock.. menatap dirinya bersama orang lain, ternyata dia tidak bisa menjemputku karena hal ini. Saat dia duduk di salah satu tempat duduk, aku langsung membawa caramel macchiato ku yang masih panas dan menyiramkannya ke wajahnya.

"Jadi karena ini kau tidak bisa menjemputku? Jadi karena wanita sialan ini," aku menunjuk wanita berbaju seksi itu yang malah menyunggingkan seringai kecilnya, "aku harus rela menerobos hujan hingga aku kedinginan seperti ini? Tak bisa kupercaya, ck," sarkasku dengan kesal, mereka benar-benar keterlaluan.

Aku pun langsung meninggalkan cafe dengan hati teriris, ini benar-benar menyakitkan, aku tidak tahu harus pergi ke mana, hujan masih saja deras, dan hanya ada club di sekitar ini untuk berteduh, jadi daripada menunggu di depan club dengan pandangan nelangsa, aku memilih untuk memasuki club.

Sesampainya di sana, aku langsung duduk di kursi depan meja bar dan memesan vodka.

Di sebelahku, ada pria yang sepertinya kesepian, aku tahu, lelaki yang memasuki club malam lumayan berbahaya, tapi aku malah mendekati lelaki tadi tanpa takut sedikit pun, seolah-olah aku pernah bertemu dengannya dan dia adalah lelaki baik-baik.

"Hei, apa kau sedang sendirian? Kau terlihat.. kesepian," sapaku pada lelaki itu, lelaki itu menoleh, dan tubuhku mematung seketika, wajahnya.. lebih tampan dari Dio, dan.. tidak terlihat asing di mataku, seperti, aku pernah bertemu dengannya, tapi aku tidak tahu di mana. Mengingat tentang Dio, aku berpikir untuk membuang semua kenanganku dengannya, sebenarnya, untuk apa aku membuang-buang waktu memikirkan cowok brengsek itu?

Lelaki itu tersenyum lembut padaku, membuat hatiku menghangat seketika, "Aku memang sedang kesepian, tapi dari dalam matamu, aku tahu, kamulah yang sedang kesepian." ucapan lelaki itu membuatku tertohok.

Lelaki itu menyodorkan kursi yang terletak di sampingnya, menyuruhku untuk duduk di dekatnya, aku pun duduk di kursi itu dan terus menatap wajahnya, tanpa takut ketahuan.

Aku baru menyadari, bola matanya yang tajam namun begitu indah, tapi tiba-tiba saja dia mengangetkanku. "Hei, kenapa bengong? Sedang memikirkan apa?" tanyanya.

Aku mengerjap dengan wajah bodoh, "E-eh? Aku, aku, aku.. hanya memikirkan, tentang kekasihku.." jawabku sembari menunduk, lesu, aku benar-benar tidak bersemangat semenjak mengetahui bahwa Dio memiliki selingkuhan, lelaki memang benar-benar menyebalkan.

Memangnya Dio seperti apa, sih? Sampai dulu aku sempat menganguminya, padahal dia hanyalah lelaki pencinta games dan suka memainkan hati perempuan, kataku dalam hati.

"Lalu, kenapa mesti dipikirkan? Toh, dia telah berbuat seperti itu dan membuatmu sakit bukan?" ucapnya.

Aku melongo di tempat, "Kau tahu aku sedang patah hati?" tanyaku kaget.

Lagi-lagi dia tersenyum lembut, membuat hatiku menghangat untuk kedua kalinya, "Cahaya matamu dan kamu terlihat seperti orang yang putus asa, oleh karena itu aku tahu," jawabannya membuatku tercengang, ternyata dia memperhatikanku sedetail itu.

Dia menyesap vodkanya secara perlahan dan melirikku. "Mau ku hibur?"

Aku mengernyit bingung, club malam sangat rawan dan aku takut di-apa-apakan, mungkin dia sadar dengan perubahan wajahku secara tiba-tiba, dan dia tersenyum tengil. "Bukan menghibur dengan cara 'itu', aku lelaki baik-baik asal kau tahu," ucapnya cemberut, membuatku lega seketika.

"Kamu mau dihibur dengan cara apa? Jalan-jalan? Atau makan es krim?" tanyanya.

Aku tersenyum kecil, namaku Connie, mirip seperti kata 'cone' untuk es krim, tapi nyatanya, aku tidak tahan terhadap dingin, jadi aku memilih, "Jalan-jalan mungkin lebih baik, hujan sepertinya sudah reda," jawabku.

"Mau jalan ke mana?" tanyanya sembari beranjak dan mengambil jaket miliknya.

Aku pun berpikir sebentar dan menjawab, "Lebih baik jalan di sekitar sini, aku ingin menghirup udara segar."

Aku ikut beranjak, setelah itu, aku dan lelaki yang tidak kuketahui siapa namanya itu keluar dari club. Kami pun berjalan bersama menelusuri komplek, merasakan terpaan angin yang menerbangkan helai demi helai rambut kami.

"Kalau boleh tahu, nama kamu siapa? Sepertinya kamu familiar di ingatan aku." aku coba membuka percakapan kembali.

Dia menoleh padaku, lalu tersenyum kecil, "Kupikir kau ingat namaku," ucapannya membuatku mengernyit bingung, aku memang merasa tidak asing dengannya, tapi aku tidak tahu siapa dia.

Dia menatap awan malam, menghembuskan nafasnya dengan tenang, dari samping aku melihatnya tersenyum kecil, "Awannya indah." ucapannya membuatku mendongak ke atas, melihat awan malam.

Aku akui, malam ini awan memang terlihat indah, dengan lengkungannya yang terlihat lembut dan halus, membuatku teringat dengan teman lelaki masa taman kanak-kanakku, Cloud si awan, tunggu, Cloud?!

Aku menoleh kembali kepada lelaki tadi yang sekarang sedang terkekeh geli, sepertinya dia tahu bahwa aku sudah menyadarinya, dia, Cloud si awan.

"Kau sudah menyadarinya, ya?" tanyanya seraya terkekeh dan kemudian tersenyum.

Aku menggerutu sebal, lalu mencubit pinggangnya, "Kau tidak bilang kalau kau akan kembali ke Indonesia, sialan, kupikir kau akan menetap di Sydney," gerutuku sebal, Cloud tertawa sembari menghentikan tanganku yang terus saja mencubit pinggangnya, dan hal berikutnya yang ia lakukan membuatku mematung, Cloud si awan, memelukku.

"I miss you." bisiknya hangat.

Pipiku memanas dalam peluknya, kedatangannya membuatku lupa bahwa aku sedang ada masalah dengan Dio, dia, Cloud si awan, masih sama seperti dulu, lembut dan halus seperti awan di langit, walau aku tahu, terkadang awan akan berubah kelam dan menyambarkan petir-petirnya, dia, Cloud si awan, satu orang yang membuatku merasakan beribu-ribu perasaan aneh.

Satu nama yang selalu ku ingat dan memporak-porakdakan hatiku, apalah aku ini, hanya perempuan yang lemah terhadap perlakuan manis kaum lelaki.

Aku mengerjap, dan tersenyum kecil, "I miss u too, Cloud."

GamesWhere stories live. Discover now