1-Habis

6.6K 611 136
                                    

"Tidurlah, Sayang," ujarnya sembari memeluk erat wanita yang sedang berbaring pada satu ranjang yang sama dengannya.

Riana mulai memejamkan matanya saat merasakan belaian lembut di puncak kepalanya.

Melihatnya, Ken hanya tersenyum tipis. Bibirnya bergerak mengecup dahi Riana dengan lembut. "Jangan tinggalkan aku."

Satu kalimat yang terus ia ulang tanpa lelah di tiap kesempatan. Ketakutan Ken terlalu besar untuk hidup sendirian tanpa Riana. Pernikahannya baru saja dimulai. Dan ia benar-benar ingin hidup bahagia. Berdua dengan Riana.

Riana terlelap dalam dekapannya. Rupanya dinginnya malam benar-benar menyerap kesadarannya secara perlahan. Lagi-lagi Ken tersenyum saat menyadari bahwa istrinya akan mudah terlelap jika diselimuti oleh hawa dingin seperti ini.

"Riana ...," panggil Ken lirih. Riana tak menjawab, Ken tahu itu.

"Aku mencintaimu," bisik Ken sembari mengecup puncak kepala Riana secara berulang.

Ken tahu, cintanya terlalu besar untuk Riana. Dan ia juga yakin, wanita yang sedang berada dalam hangat dekapannya ini, juga merasakan hal yang sama.

*****

Merasakan kehangatan yang mulai menusuk punggungnya, Ken perlahan membuka mata. Di hadapannya, bidadarinya masih terlelap dengan wajah yang terlihat tenang. Ken hanya tersenyum tipis. Jadi seperti ini rasanya saat kau bisa melihat dia yang kau cintai di kali pertama kau membuka mata pada pagi hari .... Menyenangkan.

Dengan kebahagiaan yang membuncah, bibir Ken mengecup sebelah pipi Rania secara perlahan.

"Pagi, Sweetheart."

Sedetik kemudian, Riana membuka matanya. Memandang Ken dengan senyuman lebar yang sama. Di balik bulu mata lentik itu, Riana mengerjap pelan. Menyesuaikan cahaya mentari yang menelusup di balik punggung Ken.

"Selamat pagi juga, Ken."

Baiklah, Ken benar-benar merasa kehidupannya sudah cukup. Hidup berdua dengan Riana, menghabiskan waktu dengannya, semua terasa sempurna. Seolah kepingan hidupnya tak butuh pelengkap lagi. Puzzle nya tak lagi kosong. Dengan Riana, semua terasa utuh.

*****

Adalah pemandangan yang begitu menakjubkan saat melihat Riana bermandikan sinar senja di hadapannya. Sore ini, Riana duduk di atas kursi roda, memandangi jeruji jendela kamar mereka. Melihatnya, Ken mendekati Riana dengan langkah pasti. Ia berjongkok di samping Riana. Memandangi wajah Riana yang datar tanpa ekspresi. Sepertinya Riana sedang melamun.

"Sedang apa?"

Riana hanya diam. Ia masih memandang jauh ke luar.

Menyadarinya, Ken hanya tersenyum maklum. Riana sangat menyukai senja. Semburat warnanya, ketenangan yang Riana rasakan, Ken mengerti semuanya.

Perlahan, Ken mengenggam punggung tangan Riana. Di jari manis Ken, melingkar sebuah cincin penanda ikatan hubungan mereka.

"Kau masih menyukai senja?" Riana masih diam.

"Aku juga, Riana. Aku menyukai senja. Apa yang kau suka, aku pasti suka," gumam Ken lagi. "Karena kala itu, senja yang pertemukan kita. Iya kan? Kau ingat?"

Di hadapannya, Ken melihat Riana tersenyum. Menyadari Riana yang tersenyum, kedua sudut bibir Ken otomatis tertarik membentuk senyuman pula. Ah, Ken tahu. Senyum dan tawa Riana selalu menular padanya.

"Tapi aku harap, senja takkan memisahkan kita. Iya kan, Riana?"

Kali ini, Riana kembali diam. Ia masih memandang jauh ke luar. Seolah tak berminat untuk menjawab pertanyaan Ken.

"Riana ...." Dahi Ken berkerut datar saat tak mendapat respon dari Riana.

"Kau takkan meninggalkanku kan?" Ken mengulangi pertanyaannya. Dan lagi, Riana masih membisu.

"Sayang ...." Kali ini Ken mengusap sebelah pipi Riana dengan lembut.

Masih tak mendapat respon, Ken mulai menangis. Ada ketakutan yang mulai menyergapnya perlahan.

"Kau berjanji untuk tak meninggalkanku," racaunya. "Kau sudah berjanji, Riana."

Di sudut kamar bermandikan cahaya senja yang menelusup, ada tangisan pilu dari seorang pria yang berlutut di sebelah kursi roda istrinya. Sedang istrinya hanya diam, tak balas memandang sang suami.

"Riana ...," panggil Ken. Berharap Riana memberi respon atas pertanyaannya. Tapi Riana masih saja terpaku pada senja yang mulai pulang di hadapannya.

"Riana!" Ken mulai berteriak. Terus memanggil nama istrinya dengan nada putus asa.

"Kenapa kau tak mengiyakan perjanjian kita, hah? Kenapa kau diam saja?" Ken mulai meracau di tengah tangisannya. Nada frustasinya terdengar jelas, mengisi kekosongan ruangan.

Di luar kamarnya, seorang wanita paruh baya didampingi oleh wanita yang terlihat seumuran dengan Ken, berlari tergopoh-gopoh mendekat menuju kamar Ken. Tanpa ijin, mereka memasuki kamar Ken.

Di hadapan kedua wanita itu, Ken terlihat mendekap Riana dengan erat. Ken menangis.

"Ken ...." Wanita paruh baya itu mendekat. Menyentuh bahu Ken dengan perlahan. "Sudah, Ken. Nanti Riana bisa sulit bernapas jika kau peluk seperti itu."

Ken tak merespon bujukan tersebut. Ia masih saja menangis.

Di balik punggung Ken, ada wanita paruh baya yang sedang meringis sedih. Dengan lesu, wanita itu melambaikan tangannya pada seorang gadis yang menunggu di depan pintu-memintanya mendekat.

"Ken butuh tenang. Berikan dia dosis yang lebih," ujarnya saat gadis itu mendekat.

Si gadis mengangguk pasti. Perlahan, ia menyuntikkan cairan bening melalui sebelah tangan Ken. Tak lama, Ken berhenti menangis. tubuhnya melemas. Tanpa perlawanan ia digiring menuju ranjang, dipisahkan dengan sebuah boneka beruang coklat berukuran besar yang ia dudukkan di atas kursi roda.

Riana ... Riana ....

Kau pergi meninggalkan dunia. Meninggalkan ia yang mulai terganggu jiwanya.

END

RianaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora