1

36.9K 1.5K 87
                                    

Segera setelah aku membuka mataku, aku menemukan diriku di tengah padang pasir. Apa yang membuatku segera menyadari bahwa itu bukan padang pasir adalah ketika ragaku yang masih tertidur diterpa oleh gelombang air asin. Ah. Aku ada di pantai!

Gatal di sekujur tubuh karena pasir yang menempel segera aku lupakan, dan aku langsung berusaha untuk bangun. Kepalaku begitu pusing, dan aku rasa bukan hanya karena aku terlalu cepat bangun dan berdiri.

Aku melihat sekitarku, walau mataku masih buram karena pusing. Yang pertama kali aku sadari adalah: di sekitarku tidak terlalu hijau karena kelebatan hutan.

Segera aku sadar bahwa aku berhasil menyeberangi samudera. Akhirnya! Sudah muak aku dengan kebiruan tanpa ujung; inilah daratan yang aku cari!

Aku masih terlalu pusing untuk berjalan, dan akhirnya aku memutuskan untuk duduk sementara. Penglihatanku semakin jelas seraya aku duduk dengan perlahan, dan mulai pula aku memandang sekitarku.

Ada hal aneh yang segera aku sadari. Pertama-tama, memang sekarang aku melihat beton di mana-mana. Tetapi, beton-beton ini pun dilingkupi oleh berbagai macam kehijauan—seakan-akan beton-beton ini tidak ada yang merawat.

Tidak hanya itu, aku rasa seharusnya ada orang yang menyadari aku yang tengah tertidur di pantai dan pakaianku yang sudah tidak berbentuk. Apakah tidak ada manusia yang sudi membangunkan orang yang hanyut ini?

Bahkan sisa rakit kecil buatanku saja masih utuh di sampingku, tidak digubris maupun dianggap mengganggu pemandangan pantai.

Ada apa ini sebenarnya? Apa aku berada di sisi pantai yang salah? Apakah memang sisi pantai ini dilantarkan? Tentunya harus aku pastikan, tetapi aku masih mengumpulkan kesadaranku.

Aku baru bangun karena paksaan lapar. Setelah entah berapa menit aku duduk-duduk menikmati waktu di tepi pantai, baru aku sadari bahwa pantai ini memang dipisahkan dari kota dengan beton tinggi di sekelilingnya. Jadi, aku berjalan mengelilingi beton tinggi ini untuk menemukan tangga atau semacamnya.

Benar-benar, beton ini tidak dirawat. Tumbuhan menjalar tumbuh di mana-mana. Lucunya, pantai ini bersih dari sampah. Mungkin manusia yang mendiami tempat ini lebih memikirkan kotor yang disebabkan oleh mereka sendiri daripada kotor yang disebabkan oleh alam.

Omong-omong tentang manusia, aku pun semakin merasa aneh karena belum melihat manusia selain diriku. Apa tidak ada yang ke pantai sepi ini setidaknya untuk memancing? Malah, pantai ini cukup sepi untuk pemuda-pemudi nakal yang mencari kesempatan.

Aku menemukan tangga beton, dan segera aku naiki. Sebenarnya aku agak menyesal menaiki tangga beton yang licin dan penuh lumut ini, tetapi sejauh ini tangga inilah yang bisa menjawab semua pertanyaanku. Setelah ini pastinya ada orang yang melihatku, dan aku pun akhirnya bisa menceritakan kondisiku—asalkan orang itu bisa bahasa Inggris.

Tapi anehnya, ketika tangga beton ini aku selesaikan, aku malah disajikan sebuah pemandangan yang membuat diriku sedikit takut: tidak hanya wilayah pantai saja yang terbengkalai, tetapi juga wilayah di atas pantai. Apa aku berada di kota mati?

Benar-benar. Aspal di atas tembok beton telah begitu memudar dan retak di mana-mana. Di sela-sela retakan itu ada rumput liar yang tumbuh—malah, di mana ada retak, di situ pasti ada tumbuhan kecil. Mobil-mobil yang terparkir di sekitar sini pun sudah tidak karuan bentuknya karena dikikis oleh karat. Aku bahkan bisa dengan jelas melihat sarang burung di lampu-lampu jalan yang karatnya tidak kalah hebat dengan mo­bil. Gedung-gedung di kejauhan dan kios-kios kecil di sekitar pesisir pun sudah dilumat sarang burung dan tumbuhan menjalar. Berteriak memanggil siapa pun di sekitar sini pun aku ragu, karena aku sudah terlewat ya­kin ini kota mati. Apakah aku justru melabuh di pulau yang antah berantah lagi? Sungguh, aku berharap aku bisa melihat manusia lain saat ini juga.

Bumi AsingWhere stories live. Discover now