Segenggam Cinta Untuk Fadil

5.5K 242 26
                                    

Genting.....

Itu yang tengah aku rasakan saat ini. Aku tengah belajar arti kesetiaan. Aku tengah memahami arti kesabaran dan aku tengah menerapkan tentang makna keikhlasan. Mungkin ini terlihat seperti sinetron nantinya tapi memang seperti inilah jalan nya.

Aku memandang lagi arloji yang terpasang indah di tanganku. Namun lagi-lagi aku kalah lantas terdiam seketika, arloji itu membuat ingatan ini kembali, dan sempurna seperti halnya potongan-potongan film yang sengaja ditampilkan mengelilingi kepalaku. Arloji ini kado yang diberikan olehnya tepat pada ulang tahun ku yang ke-17. Saat itu wajahnya masih masih merona, tak pernah ada gurat kesedihan terpahat disana. Senyumnya selalu melengkung mengalahkan keindahan bulan sabit. Namun itu dulu sebelum semua ini terjadi. Perlahan perasaan sesak itu hadir lagi membuat mataku perih namun segera ku buang jauh-jauh fikiran itu. Fokus.

Sudah 43 menit 12 detik dokter masuk ke ruangan itu, ruangan bercat putih dengan jendela besar disamping kanan dan kiri pintu dihiasi oleh gorden berwarna senada dengan dinding. Dibagian depan tepat di bawah jendela besar itu ada dua bunga tertata rapi memberikan sedikit warna diantara warna putih dan lampu itu, lampu yang seharusnya menjadi penerang disaat gelap dan menghilangkan rasa takut justru beralih fungsi menjadi menakutkan bagi siapa saja yang melihatatnya karena tulisan yang ada di dalamnya. ICU.

Aku kembali menunduk memandang keramik yang terpasang indah di lantai. Telapak kakiku naik turun mendendangkan bunyi yang senada. berkali-kali hembusan nafas tertahan ini keluar dengan begitu berat berharap mampu membawa beban yang terus bergelayut. Sia-sia! Sial.

Perlahan indera pendegaranku menangkap suara pintu yang tebuka. Refleks tubuh ini berdiri dan melihat ke arah pintu. sejenak, ada rasa lega melihat laki-laki paruh baya itu keluar dari ruangan yang sedikit mengerikan namun gurat kekhawatiran lebih tergambar jelas di wajah ini.

"Bagaimana keadaanya dok?" belum sempat dokter itu melangkah aku sudah menghampirinya dan menghujamnya dengan pertanyaan.

"Tidak terlalu baik. Kondisinya terus menurun. Berdoa saja agar ia mendapat yang terbaik dan bersiap untuk kemungkinan terburuk." penjelasan dokter yang singkat tadi sudah cukup membuat seluruh persendianku seperti tak mampu menopang diriku sendiri, gigiku bergemeletuk menahan sesak. Linu.

"Boleh saya masuk?" itu kalimat terakhir ku yang mungkin lebih pantas disebut bisikan.

Dokter hanya mengangguk.

Aku mempersiapkan segalanya. Bagiku ini lebih sulit dari pada menunggu pengumuman kelulusan sekalipun. Satu langkah, dua langkah, tanganku telah mendorong pintu ruangan itu dan perlahan masuk.

Angin berhembus ketika aku mulai melangkah menuju ke arahnya membuat aku semakin meradang. sakit. Sosok itu tengah terbaring dengan bibir yang amat sangat pucat, lingkaran hitam nampak jelas dibawah kedua matanya. Tubuhnya semakin terlihat kurus. Gurat wajahnya menjelaskan bahwa ia terlampau letih menghadapi semuanya.

Mataku memburam, sepertinya ada yang menggenang disana. Aku segera mengangkat kepala berharap genangan itu tak menetes, tapi sia-sia.

Sekarang aku kalah. Tubuh ini berguncang, mulutku hanya mampu mengeluarkan sedan yang mungkin mampu mengiris hati siapa saja yang melihat dan mendengarnya. Aku menggenggam tangan kanannya, tangan yang teramat dingin. Aku tak mampu lagi berkata-kata. Biasanya aku selalu membisikan kalimat dengan harapan ia mendengar dan membuatnya semangat tapi kali ini aku hanya mampu tersedu. 

Namun di luar dugaan, aku mendapatkan respon yang luar biasa. Respon yang mebuatku semakin meradang. Ia meneteskan air mata. Ia memahami keadaan di sekitarnya. Ia memahami kesedihanku.

Wahai jiwa....

Walaupun sekarang aku tak tau engkau dimana...

Namun aku selalu menganggap kau tetap bersarang di jasad ini...

Segenggam Cinta Untuk FadilWhere stories live. Discover now