Tangisku memecah ruangan tersebut, terlontar dalam bentuk isakan histeris yang menyayat para pendengarnya. Jari gemetar meraih rambutku yang lembab dengan takut, merasakan setiap gerakan yang kubuat hanya menyiksa seluruh fisikku yang meronta-ronta untuk dikubur dalam-dalam di bawah tanah. Bisikan di sekelilingku tak lagi kuhiraukan ketika yang terbayang di mataku hanyalah darahnya. Darah yang mengalir baik dari tubuhku maupun tubuhnya.
Semuanya telah hancur. Kepergian semuanya telah membuktikan kehancuran dari hidupku. Bahkan kini ketenaran tak dapat memberiku cukup kekuatan untuk melemparkan sebuah senyuman palsu yang biasa kulakukan. Mengapa aku bisa seceroboh ini? Begitu jahat ketika aku tahu dengan jelas apa yang diharapkan oleh orang-orang yang kucintai?
Dengan kekuatan terakhirku, aku beranjak bangun..menghentakkan tubuhku dengan keras dalam bentuk sebuah paksaan yang membara. Air hujan yang membasahi tubuhku tak lagi kupedulikan seiring dengan langkahku yang semakin cepat. Dalam beberapa hal, air hujan ini mulai menyakiti tubuhku yang begiru kurus dan rentan, habis baik fisik maupun mental.
Dan dalam lampu terang benderang yang menyinariku bak lampu spotlight di panggung catwalk, serta suara teriakan melengking para penonton aksiku, tubuhku terlempar jauh di udara dengan tak bernyawa. Mungkin inilah akhir hidupku.
Akhir dari kisah tragis seorang Gabriella Clay yang kehilangan seluruh hal terpenting dalam hdupnya.
Cinta.
Keluarga.
Sahabat.
Karir.
Semua itu kurelakan dengan hembusan nafas yang kuyakinj sebagai hembusan nafas terakhirku.
I, Gabriella Clay...failed.
