all story

14 0 0
                                    

Dia cantik sekali.

Itu kalimat pertama yang muncul dalam benakku, saat melihatnya. Berjalan sambil menggandeng lengan laki-laki itu. berbagi payung berwarna hijau. Melintasi trotoar.

Mereka juga berbagi senyum satu sama lain.

Aku juga tersenyum.

Aku tahu, laki-laki itu sudah bahagia.

*

Aku suka hujan. Segala macam tentang hujan. Aku suka warna mendungnya, suara petir yang menghantarnya, suka bunyi tetesannya yang membentur jalanan, aku suka aromanya, aku suka suasana yang diciptakannya, aku suka lembab yang diciptakannya.

Seperti malam ini.

Hujan sudah terlambat datang tahun ini. Membuat jalanan semakin pekat dengan polusi yang dihasilkan pengendara motor itu. menciptakan warna daun yang terlihat kusam penuh debu yang diterbangkan angin.

Sudah jam delapan lewat. Waktunya menutup perpustakaan dan pulang. Beberapa teman bahkan sudah lebih dulu pulang dengan jutaan alasan yang mereka berikan.

Tidak apa. Aku menyukainya. Terkurung diantara deretan rak berisi penuh buku. Sembari memutar Kiss the Rain dikepalaku, aku mengemasi barang-barangku. Kadang aku mendapati diriku menyenandungkannya. Seorang pengunjung ramah menyapaku, sebelum membuka pintu dan menghilang.

Sebentar lagi aku akan menyusulnya dan membiarkan pak Arno—satpam jaga—mematikan lampu dan mengunci pintu.

Kusempatkan menyapanya, "Pulang dulu, Pak."

"Monggo, Mbak." Balasnya, tak lupa memberika senyum ramahnya.

Masih ada sepuluh menit untukku menaiki bus terakhir malam ini. halte bus itu juga tidak terlalu jauh dari gedung perpustakaan, tetapi aku tidak suka berjalan pelan. Dalam waktu lima menit aku sudah mencapai halte.

Lalu aku melihatnya.

*

Tidak terduga, hujan turun. Orang-orang berlarian menuju halte tempatku menunggu bus. Beberapa menggerutu, tentang cuaca yang beberapa tahun belakangan ini tidak menentu.

Lalu dua sosok itu.

Aku mengenali salah satunya. Yang belakangan kemudian aku merasakan, dadaku seperti dipukul. Dia menggenggam pegangan payung, tersenyum kepada orang disampingnya. Senyum yang menyenangkan. Senyum yang menyiratkan bahwa ia mencintai orang itu.

Orang disampingnya, tertawa. Kemudian meraih lengannya, memeluknya. Mereka terus berjalan melewati halte tempatku berdiri.

*

Saat itu, aku sudah tahu kalau aku sudah kalah.

Aku mengamati diriku sendiri dan tersenyum getir. Aku benar-benar tidak ada apa-apanya dibanding orang itu.

Hujan semakin deras. Aroma yang diciptakannya semakin pekat. Sedikit banyak telah membantuku meringankan sakit di dadaku yang rasanya seolah bisa menjatuhkanku saat itu juga.

Bus yang kutunggu datang lebih cepat dari yang kuperkirakan. Tanpa menunggu aku melompat menaikinya. Ada bangku tersisa di belakang. Dekat dengan jendela.

Kuhempaskan diriku disana. Jendelanya lembab oleh embun yang dibawa hujan.

Aku sudah bahagia... dan seharusnya aku...

*

Melupakannya,

Aku tahu melupakan itu bukanlah pilihan

Night WitnessWhere stories live. Discover now