Chapter 1

25 2 0
                                    

"I'm going to do what i want to do. I'm going to be who i really am. And i'm going to figure out what that is."

----

"Elizabeth!" Suara ibuku terdengar sampai kelantai atas.

"Ya bu, sebentar lagi." Aku masih memasukkan barang-barangku kedalam koper.

"Kau tahu lalu lintas disini bisa sangat padat. Kau harus lebih pintar mengatur waktu. Ditambah lagi kau akan tinggal sendiri di apartemenmu nanti. Bisa-bisa setiap hari kau akan terlambat datang ke tempat kuliahmu." Ucap ibuku saat aku menuruni tangga dengan membawa dua koper berukuran sedang.

"Ya bu, aku tahu." Aku menghela napas. Lalu memasukkan koper-koperku ke dalam bagasi mobil.

"Apakah pihak apartemennya sudah menghubungi ibu?" Tanyaku sambil membuka sebungkus keripik kentang.

"Ya, mereka berkata kita tinggal hanya mentandatangani sesuatu dan mereka akan memberikan kuncinya."

"Ayah belum membalas pesanku saat aku bilang aku akan pindah ke Sydney."

"Ayahmu mungkin akan mengunjungimu beberapa minggu kedepan. Ia masih sibuk mempersiapkan pernikahannya yang tinggal beberapa bulan lagi." Ibuku membenarkan posisi kacamatanya yang turun ke batang hidungnya.

"Ibu, maafkan aku." Aku menggapai tangan ibuku yang berada diatas parseneling.

"Tidak, Elizabeth. Perceraian kami tidak ada hubungannya denganmu. Ayahmu telah memilih jalannya dan memilih pendamping hidupnya yang menurutnya lebih baik. Dia sudah bahagia menjalani hidupnya yang baru. Begitupun dengan ibu. Ibu bahagia dapat mengurusmu sampai kamu tumbuh menjadi wanita yang cantik dan tangguh. Lihat, kau sudah berada di universitas. Ibu bahkan masih ingat saat kamu memetik bunga kesayangan ibu yang sudah ibu tanam selama bertahun-tahun sama kamu masih berusia empat tahun. Tapi apapun kejadiannya, ibu tidak bisa marah dan memarahimu karena kamu menggengam bunga itu ditangan kecilmu dan memberikannya kepada ibu dengan seringaian yang menunjukkan gigi-gigi kecilmu."

Aku tersenyum mendengar cerita ibuku tentang betapa menyebalkan dan menggemaskannya aku saat masih kecil.

"Aku pasti sangat menyebalkan saat aku masih kecil."

"Ya, Elizabeth kecil sangat menyebalkan. Pipimu yang merah membuat ibu ingin mengigit pipimu." Ibuku terkekeh.

Aku melihat kearah luar jendela mengingat-ingat masa kecilku yang masih segar di memoriku. Elizabeth kecil dengan rambut panjangnya yang diberi pita diatasnya memakai gaun berwarna biru muda sambil duduk diatas mainan kuda-kudaannya menyanyikan lagu twinkle-twinkle little stars dengan suara nyaringnya yang menganggu.

Dua jam perjalanan membuat ibuku mengantuk dan ia mengajakku untuk pergi menuju kedai kopi terdekat. Aku memesan espresso dan ibuku memesan kopi hitam.

-

Dinding apartemenku bernuansa coklat coffee, dengan kitchen set berwarna putih, rak televisi berwarna putih, dan masih banyak furniture yang harus dibeli karena isi apartemenku masih sangat kosong. Ibuku memberiku beberapa uang untuk keperluanku. Setelah beberapa jam membantuku menyusun barang-barang di apartemen ku, ibuku pulang kembali ke rumah kami, Canberra.

Aku menyusun ulang barang-barang di apartemen ku untuk mengusir rasa kesepian. Aku mulai berpikir mungkin tinggal di asrama lebih menyenangkan karena aku mempunyai teman sekamar. Tapi di waktu yang bersamaan aku membutuhkan privasi. Aku membutuhkan waktu dimana aku ingin sendirian.

Mengambil pizza beku didalam kulkas, aku memasukannya kedalam microwave. Bukan makan malam terbaik dihari pertama aku tinggal di apartemen, pikirku.

Aku memutuskan untuk pergi ke sebuah restoran cepat saji yang hanya berjarak seratus meter dari apartemenku.

Menduduki kursi di dekat jendela, aku melahap burger dan kentang goreng milikku. Menikmati makan malam sederhanaku yang tidak terlalu sehat.

I've Got The OneDove le storie prendono vita. Scoprilo ora