Sastra Cyber, Tai Yang Dikemas, Tong Sampah atau Anak Tiri?

656 16 9
                                    

Sejak kemunculannya pada tahun 2001, Sastra Cyber mulai menunjukkan eksitensinya. Berbagai komunitas sastra dalam bentuk group sastra di dunia maya bermunculan. Bahkan tak jarang setiap komunitas itu menelurkan karya berupa buku-buku antologi yang berisi kumpulan karya anggotanya. Kemajuan sastra cyber ternyata mendatangkan gelombang pasang yang menerjang dengan keras. Banyak komentar miring menyembul ke permukaan. Tidak main-main, bukan dari penulis ecek-ecek komentar itu muncul. Beberapa penulis beken pun seolah gatal lidahnya sampai-sampai melontarkan pendapat yang super pedas. Berikut ini saya kemukanan dua pendapat yang membuat cenut-cenut batok kepala.

Dikatakan oleh Ahmadun Yosi Herfanda (redaktur koran Republika) dalam salah artikel yang dimuat dalam Republika dengan judul "Puisi Cyber, Genre atau Tong Sampah". Dalam artikel tersebut Ahmadun mengatakan bahwa sastra yang dituangkan melalui media cyber cenderung hanyalah sebagai "tong sampah." Dikatakan demikian, karena menurutnya sastra cyber merupakan karya-karya yang tidak tertampung atau ditolak oleh media sastra cetak (2001). Lebih lanjut dikatakan bahwa media cyber membuka ruang yang luas bagi tumbuhnya sastra alternatif yang "memberontak" terhadap kemapanan - terhadap estetika yang lazim-dan bukan hanya menjadi media duplikasi dari tradisi sastra cetak. Sebab di sanalah tempat bagi semangat dan kebebasan kreatif, yang seliar-liarnya sekalipun, yang selama ini tidak mendapat tempat selayaknya di media sastra cetak, baik di rubrik sastra koran, majalah sastra, maupun antalogi sastra.

Selanjutnya Sutarji Coulsoum Bachri (dalam Efendi, 2004:90) yang dikenal sebagai presiden "Penyair Indonesia" mengatakan dengan cukup pedas bahwa 'tai yang dikemas secara menarik akan lebih laku dibandingkan dengan puisi yang dikemas secara asal-asalan'. Pernyataan ini dilontarkan berkaitan dengan cover yang tampak pada buku antalogi sastra cyber yaitu Graffiti Gratitude yang dipandang kurang baik sehingga buku itu tidak layak untuk dijual.

Sebelum saya lanjutkan, saya sadar betul siapa saya ini. Seorang bocah ingusan yang baru saja berkenalan dengan karya sastra. Tak ada prestasi yang bisa dibanggakan. Tak ada karya yang dipublikasikan melalui media cetak, hanya beberapa antologi hasil sastra cyber saja yang pernah bisa ditembus. Jadi, akan sangat bisa diterima jika apa yang saya tuliskan ini hanya akan menjadi angin lalu bagi para senior yang sudah melalang buana di media cetak dan juga tembus penerbit mayor. Meskipun demikian, tak ada salahnya menuliskan opini, bukan? Siapapun berhak menulis, setidaknya itulah yang masih saya yakini.

Pada awal tahun 2012, banyak group sastra yang saya ikuti. Dari situ pulalah awal mula mulai belajar tentang sastra. Berawal dari diskusi dalam group, juga tukar pikiran dengan anggota lain. Tentu juga ditambah dengan referensi membaca buku-buku sastra. Jadi, point pertama adalah bahwa ternyata sastra cyberlah yang berperan penting dalam keinginan saya mempelajari sastra.

Terkait dengan dua pendapat dari sesepuh sastra di atas, kadang saya berpikir, sebegitu hinakah sastra cyber itu? Tentu bukan menjadi kapasitas bocah ingusan ini untuk mendebat sastrawan tersebut.

Dari segi seleksi, memang tidak dipungkiri bahwa sastra koran ataupun majalah lebih diseleksi secara ketat lewat kurator yang berkompeten. Barangkali itu pula yang mendasari komentar pedas terhadap sastra cyber. Bahwa sastra cyber hanyalah sastra sampah tanpa melalui penyeleksian yang ketat. Pada poin ini saya juga mengamini. Kenapa? Sebab memang di beberapa group sastra banyak yang "tukang menyeleksi" naskahnya tidak mumpuni. Namun, kadang menyembul pertanyaan: Kenapa para tokoh sastrawan tidak terjun ke sastra cyber untuk mencari bakat-bakat terpendam? Kenapa sebagian besar mereka seperti "jijik" untuk menyeleksi sastra cyber? Seandainya hal ini tidak terjadi, tidak menutup kemungkinan bisa menelurkan sastrawan baru yang mampu menjaga kesusatraan indonesia, bukan?

Selanjutnya dari segi kualitas. Tak bisa dipungkiri juga bahwa menang kualitas sastra cyber perlu dipertanyakan. Sebab, begitu mudahnya membuat group sastra di dunia maya, begitu mudahnya mempublish karya di dunia maya. Terlebih lagi dunia maya terdiri dari berbagai kalangan di luar kalangan sastra. Yang tidak mengerti sastra pun bisa memberikan like. Parahnya, jumlah like seringkali menjadi tolok ukur kualitas karya di media sosial. Itulah sebab karya sastra cyber sering dikatakan sebagai karya sampah dan kacangan. Point ini memang benar adanya, namun tidak perlu terlalu risau. Sebab, saya meyakini dalam sastra cyber ada namanya seleksi alam. Toh nyatanya, semakin banyak group sastra bertumbangan. Hal ini bisa jadi karena tidak adanya visi misi yang jelas serta pengampu group yang mumpuni. Lagi-lagi memang sastra cyber masih di bawah kelas sastra koran dan media cetak lain.

Dari berbagai kekurangan sastra cyber itu, rasanya jika ingin memajukan sastra bukan dengan mematikan sastra cyber itu sendiri. Bagaimanapun juga, sastra cyber mempunyai peran dalam memperkenalkan sastra ke masyarakat luas tanpa dibatasi suku, ras, bangsa dan bahasa. Toh nyatanya, sastra cyber juga yang secara tidak disadari sempat membuat dunia sastra perlahan mulai kembali bercahaya. Bukankah akan lebih bijak jika perkembangan tekhnologi disikapi dengan perkembangan berpikir untuk memanfaatnkannya? Betapa indahnya jika sastra cyber dijadikan alat bagi para sesepuh sastra untuk mencari bakat-bakat terpendam. Dengan begitu, bukan hal mustahil akan muncul penulis-penulis berbakat yang akan membawa harum kesusastraan Indonesia. Semoga saja. Aamiin.

#BeriPeluangBagiPegiatSastraCyber

1001 Celoteh Tentang PuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang