Prolog

1.1K 98 20
                                    


.

.

Cahaya bergerak semakin jauh.

Tidak bisa menghentikan meskipun aku ingin.

Tangan terentang tidak mampu menggapai, bahkan tidak juga suara ku. Hanya buih-buih tak terhitung disekelilingku yang mampu ke atas mencapai kebebasan.

Dan aku tenggelam...

Semakin tenggelam ...

Jauh ke dalam dasar laut yang menakutkan gelap.

.

.

.

Dingin. Sesak.

Aku masih hidup disini. Tapi seperti tidak bisa bernapas.

Bukan,

Bukan udara yang aku butuhkan. Bukan juga hangat api yang tubuh ini inginkan.

Tapi jiwaku ...

Menginginkannya.

.

.

''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''

 Lonely Soul © Kurousama

''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''

.

.

Di ujung rantai yang panjang terpasang bola besi pemberat – jelas pembatas gerakan. Pada unjung rantai yang lain menyatu pada gelang besi yang membelenggu pegelangan kaki kecilnya.

Lantai, dinding dan langit-langitnya terbuat dari batu. Ruangan luas, terdapat satu tempat tidur. Di sudut lain berdiri rak buku besar yang sudah dipenuhi buku tebal dan masih disekitarnya terdapat banyak tumpukan tinggi buku-buku yang dibiarkan di lantai.

Mata biru tampak berkilau jernih indah terkena seberkas cahaya emas yang masuk memalui satu jendela jeruji.

Yang dilihat bukan langit biru berawan. Tapi seekor burung kecil yang tersesat.

Anak kecil menatap kagum pada kehidupan kecil nyata yang pertama kali ia lihat. Yah gambar burung di buku tidak terhitung kan?

"Ah .." bibir mungil terbuka terkejut ketika melihat burung kecil terbang dan akhirnya mendarat di atas tumpukan buku berdebu.

Sepasang mata kecil burung ini sejenak menatap mata biru kemudian beralih pada sisa roti di piring yang masih di atas pangkuan anak berambut hitam.

Anak mencodongkan tubuh sambil merentangkan tangannya jauh ke depan untuk meletakan piring di lantai.

Suaranya lembut hampir berbisik. "Ini tidak banyak, tapi aku rasa kau membutuhkannya. Jadi ambilah," Hijikata tersenyum kecil. "Jangan takut. Aku tidak akan melukaimu."

Setelah mendengar anak – seolah burung kecil mengerti, itu segera mengepakkan sayap dan terbang mencapai sepotong kecil roti.

Hijikata muda duduk kembali bersadar punggungnya pada dinding batu. Hanya menatap dalam diam. Sangat merasa kagum dan penasaran untuk menyentuh burung kecil.

Namun ada rasa takut untuk merusak kehidupan kecil rapuh ini. Seperti apa yang mereka bilang.

Ia adalah kutukan. Anak yang seharusnya tidak lahir ke dunia. Hanya membawa malapetaka.

Keberadaannya begitu tercemar. Karena itu saudaranya mengurungnya disini. Jauh dari cahaya. Jauh dari dunia.

Hijikata memejamkan matanya.

Burung kecil berhenti makannya dan mulai berkicau panjang. Menarik perhatian anak yang tampak murung.

Kelopak mata terbuka setengah, mata biru mengintip malu diantara bulu mata panjang tebal. "Suaramu sangat indah." Hijikata memuji. "Tapi, tidak perlu terima kasih. Karena, ini tidak seberapa dibandingkan membersihkan debu dari buku." Ucap anak dengan nada yang terdengar datar.

Setelah mendengar suara anak, burung kecil kembali pada makannya.

Dan setelah itu burung kecil tidak pergi kembali terbang ke langit yang indah.

Sebaliknya ia terbang dan berani mendarat di pangkuan anak berambut hitam. Tanpa sama sekali menyadari bahwa tindakan hewan kecil ini sudah sangat mengejutkan anak – atau hampir membuatnya panik.

Untuk sejenak tangan Hijikata begetar tanpa kendalinya. Perlahan tremor hilang, anak kembali santai ketika terus mendengar kicauan merdu dan memperhatikan tingkah lucu burung menggemaskan kecil di pangkuannya. Lalu di dorong rasa penasaran yang begitu kuat, perlahan tangannya bergerak.

Ujung jari telunjuknya menyentuh bulu-bulu lembut di sayap lalu perlahan pindah ke paruh kecil. Paruh burung kecil kembali menyondol lalu mengepakkan kedua sayapnya sambil berkicau riang. Bulunya menggelelitik jari pucat dan membuat anak tertawa geli.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Hijikata merasa memiliki teman. Teman kecil pertamanya.

Dan ini adalah hari dimana akhirnya ia bisa tersenyum dengan sendirinya.

Senyum yang mencapai matanya.

Memang benar kebahagiaan itu sederhana, asal kau bisa menghargainya sekecil apapun itu.

Bagi sang pangeran – ruangan ini sudah seperti dunianya. Entah sejak kapan namun yang pasti ia selalu sendirian. Terkurung. Hanya buku-buku tebal yang menemaninya.

Tentu ia merindukan kebebasan, ia ingin melihat langit yang luas. Ia ingin melihat dan menyentuh tumbuhan – baik itu daun atau bunganya. Ia ingin berlari bebas di lapangan rumput yang luas. Atau melihat laut dan bermain ombak di tepian. Tapi ia sudah cukup puas melihat semua itu dari gambar dan tulisan di buku.

Karena ia tahu. Hanya ini yang bisa ia dapatkan, tidak lebih.

Ayahnya mengutuk keberadaannya. Mereka bilang ini adalah hukumannya untuk terlahir di dunia.

Dan Sang pangeran menerimanya. Meskipun kesepian dan dibenci. Toshirou Hijikata akan tersenyum di depan semua orang. Ia tidak marah diperlakukan seperti ini. Baginya hidup di dunia begitu sia-sia jika hanya diisi dengan kemarahan.

Tidak ada waktu untuk menyesal atau dendam. Karena ia tahu. Kehidupan itu begitu singkat dan akan semakin sulit jika hanya melihat pada sisi buruknya. Dan, Ia telah belajar lama... untuk memaafkan yang lain.

Meskipun tidak ada yang membutuhkan maafnya.

.

.

.

Bersambung

A/N : Bagiku Hijikata menggemaskan meskipun begitu manly. Jadi ini Gihiji.

Beri Vote / comment jika ingin tahu kelanjutannya kay.

Dan Terima kasih (^_^) untuk menyukainya.

Lonely Soul [GinHiji]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang