(1)

85 7 2
                                    

"Jangan, Ia berduri!"

"Terus genggam saja. Aku tak ingin kau terluka."

"Kalau kamu sakit, siapa yang tanggung jawab? Aku tak ingin hal itu terjadi."

"Tak apa. Aku menikmati setiap rasa sakit yang mendera tiap inci tubuhku."

"Aku tak ingin benda kecil menusuk itu melukaimu terlalu dalam."

"Aku kuat, aku nggak akan terluka."

Orang bodoh, tolol! Sudah lepaskan saja! Apa yang kau dapat? Cintanya? Apakah kepastian dapat kamu beli dengan rasa sakit yang kau terima? Tolong, jangan merampas kebahagiaanmu sendiri hanya demi dia, yang belum tentu bahagia karenamu.

"Terima kasih ya, kamu telah membuatku merasa aman dan baik-baik saja. Bagaimana dengan tanganmu? Apakah ada luka? Mari aku obati."

"Oh, tidak. Tak apa. Sama-sama, hanya luka kecil saja. Aku bisa mengatasinya kok."

"Oh, baik. Terima kasih ya!"

Oh, sayang. Apa kamu tidak sadar? Bagiku, kau adalah candu dalam tiap rinduku. Kau adalah bahagia dalam tiap anganku. Hadirmu bagaikan setitik sinar yang menuntunku kembali pada indahnya dunia, dan meninggalkan kelamnya kesedihan. Senyummu adalah pembangkit semangatku. Dan kamu, bagaikan secercah harapan dalam hidupku. Aku mencintaimu. Walau harus sesakit ini.

Dua hal paradoks yang menerjang otak dan kalbu. Pengorbanan hati yang mengatasnamakan cinta membuat otak selalu menuntut diri agar lebih berfikir logis. Dengan argumen-argumennya, seolah tak mau diri ini terbodohi oleh pedihnya mencintai.

Dia bukan orang biasa. Dia sempurna. Banyak yang mendambanya. Sedangkan aku hanya apa? Seseorang yang bukan siapa-siapa, hanya selalu setia berkorban, membiarkan hati ini teriris setiap melihatnya dengan yang lain. Merelakan hati tiap kali melihat jemari-jemari indahnya digenggam oleh orang lain yang ia cinta. Memandanginya dari kejauhan kala ia sedang sibuk memainkan alat musiknya. Terkagum dalam diam akan kecerdasannya. Dan mencintainya, tanpa syarat, tanpa alasan.

"Selamat pagi! Sudah mengerjakan tugas?"

"Oh, sudah. Tugas kimia, kan?"

"Iya. Aku kesusahan. Kamu bisa tolong jelaskan aku bagian ini?"

"Oke, sebentar."

Kebahagiaan sederhana itu muncul, kala sapaan-sapaan kecilku terbalaskan. Kala pertanyaan-pertanyaan sepele itu kamu jawab dengan penuh antusiasmu.

"Terima kasih ya, maaf mengganggu waktumu sebentar.."

"Iya, tidak apa-apa.. lain kali kalau kamu kesusahan, tanya saja, jangan sungkan.."

"Baik, terima kasih."

Mencintaimu itu tulus, tanpa alasan. Meski dalam lubuk hati ini bertanya, adakah sedikit saja terbesit namaku dalam hatimu, walau hanya kecil saja? Apakah setiap malam kamu mengingatku, orang yang selalu menanyakan tugas padamu. Orang yang selalu setia mendengar cerita-cerita lelahmu. Apa ada?

Keesokan harinya saat masuk kelas..

"Hai, selamat pagi!"

Tidak seperti biasanya. Oh, ya. Perempuan itu, oh.. aku kenal. Yang sering diajaknya makan siang di kantin setiap pulang sekolah! Oh, apa yang terjadi?

Ia mengusap rambut perempuan itu, dan mengatakan, "Aku sayang kamu."

Tidak.

Duniaku hancur. Runtuh. Air mukaku seketika berubah. Sesuatu menetes dan jatuh sampai ke tanganku. Oh, inikah air mata? Air mata yang kau beri? Sedemikiankah saja yang dapat kau balas atas semua pengorbananku? Atas semua rasa cintaku yang tanpa syarat padamu? Atas semua luka-luka hatiku?

Aku turut bahagia atas kebahagiaannya. Aku bahagia atas pilihannya. Esok lagi, takkan ada pertanyaan tugas tiap pagi yang kulontarkan padanya. Esok lagi, takkan ada sapaan-sapaan hangatku untuknya. Aku memutuskan untuk berhenti. Aku memutuskan untuk menyerah.

Tenang, kamu tak perlu pergi. Cukup aku saja yang perlahan berjalan mundur, dan mulai membiasakan diri tanpa hadirmu disisiku lagi. Terima kasih semuanya, terima kasih lukanya. Aku sayang kamu, tanpa alasan. Tanpa syarat, tanpa perlu balasan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 23, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Tanpa SyaratWhere stories live. Discover now