Bread For Family

30 0 0
                                    

Ia menatap apa yang ada di dalam genggamannya. Tidak, lebih tepatnya ia meratapinya. Ada lima buah koin perunggu berukuran kecil, masing-masing bernilai satu sickle.

Laki-laki muda itu menghela nafas putus asa. Apa yang bisa dibelinya dengan hanya 5 sickle? Bahkan harga sebuah roti Baguette saja mencapai 25 sickle. Ia mencoba meneruskan langkahnya, di tengah keramaian di pasar ini, merunduk dan menatap cemas koin-koin tersebut, sesekali menghela nafas.

“Aku pulang” katanya lemas sembari membuka pintu dan melangkah masuk ke sebuah rumah usang yang terlihat tersisa setengah kekokohannya.

“Selamat datang Jinki” seseorang menyahutnya, memberi sambutan atas kepulangannya.

“Mei” laki-laki bermata sipit dan berkulit putih halus yang di panggil Jinki itu tersenyum lirih pada gadis muda yang menyambutnya, yang tengah duduk di dekat sebuah perapian usang, menghangatkan diri dari sengatan musim dingin yang dahsyat sambil menari-narikan jarinya menjahit pakaian-pakaian usang.

“Kau sudah pulang. Apa yang kau bawa? Kami sangat lapar” terdengar seruan seorang anak laki-laki dari balik kain tirai usang yang adalah sebuah pembatas ruangan.

Jinki, laki-laki itu mencoba menghadapkan wajahnya ke arah suara tersebut berasal.

“Hwan…” katanya sekali lagi lemas, anak laki-laki itu, Hwan, terlihat kurus, dekil dan lemah. Bahkan saat langkah kakinya menghampiri Jinki, ia terlihat bahkan kepayahan berjalan.

“Apa ada makanan untuk kita semua? Aku lapar” katanya sekali lagi menegaskan pada kakak laki-lakinya yang hanya menatapnya lemah dan prihatin.

“Aku…. dipecat dari pekerjaanku” Jinki, laki-laki itu tertunduk, matanya hampir mengeluarkan tetesan kepedihan, kata-kata itu seolah sangat berat. Bahkan terlalu berat untuk diucapkan, dan benar saja seketika Mei dan Hwan melemparkan tatapan tak percaya padanya.

Tatapan mata itu, mungkin terasa terlalu membebani bagi Jinki, pria muda yang berhati lembut ini, terlalu menyakitkan dan menyesakkan.

“Itu tandanya tidak ada makanan apapun hari ini. Begitu maksudmu?” Mei menatap Jinki, menyelidik dan berharap jawaban yang akan diberikan kakak laki-lakinya tidak seperti yang ia duga.

Namun Jinki hanya terdiam dan kembali merundukkan kepalanya, membuat kekecewaan jelas terlukis dari wajah kedua adiknya.

Ekspresi itu sungguh terlalu menusuk bagi Jinki, wajah-wajah kecewa itu terasa mengoyak hatinya. Merasa menyesali diri tidak bisa menjadi kakak yang baik bagi adik-adiknya, itu yang saat ini menggebuk-gebuki perasaannya.

“Maafkan aku…” katanya lirih menahan cairan luapan emosi keluar dari mata indahnya yang bening. Tak ingin terlihat rapuh, karena baginya sebagai seorang kepala keluarga, terlihat lemah bukanlah hal yang pantas.

“Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Kami tidak apa-apa. Kelaparan sehari tidak akan membuat kami mati” Mei, anak kedua dari keluarga yang bijak dan tidak banyak menuntut, ia mencoba menghibur kakak laki-laki yang disayanginya agar tidak terlalu menyalahkan diri sendiri, karena dia tau, saat ini itulah yang sedang terjadi.

“Ya, kami tidak apa-apa. Hanya saja…..” Hwan memotong pembicaraan

“Hanya saja Hanso… Tidak mungkin kita membiarkan si bungsu yang baru berusia tujuh tahun itu kelaparan” sambung Hwan, membuat Jinki dan Mei menghela nafas, mengingat si bungsu yang tidak mungkin mereka telantarkan dan biarkan kelaparan.

“Kau benar” ucap Mei lemah.

“Kalian tenang saja, aku pasti bisa membawa pulang makanan untuk kita semua. Aku berjanji” Jinki berujar, mencoba menghapuskan kekhawatiran mendalam yang dialami kedua adiknya ini.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 05, 2012 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Bread For FamilyWhere stories live. Discover now