BAB 0 - DICOBA DULU DEH...

333 46 5
                                    

#Bagian 1

Di bagian utara kota, tepatnya di SMA Swasta milik yayasan Livia, kau bisa menemukan sebuah tempat yang bisa membuat bulu kudukmu merinding. Ya, boleh dibilang, angker. Kau tahu? Banyak rumor yang beredar tentang tempat itu. Seperti suara wanita yang tertawa terbahak-bahak di pagi hari, bau bangkai yang menyengat, atau jerit memilukan seorang anak laki-laki..

Saat itu, jarum jam baru menunjukkan pukul 08:30 pagi, meski begitu, suasana begitu gelap karena awan mendung yang menyelimuti. Angin bertiup kencang, membawa udara dingin yang menusuk ke dalam tulang. Daun-daun bergoyang, ranting saling bergesek, menciptakan melodi murung alam, membawa roman buruk ke dalam pikiran.

Sepasang pemuda-pemudi, mungkin berumur 17 tahunan, berjalan menyelinap melalui bagian belakang sekolah yang sepi. Menapaki hamparan daun gugur, berjalan melewati tiap pohon rindang, dua insan itu bergerak menuju sebuah bangunan kayu yang berada di pojok benteng sekolah.

"Hei! Kita kembali saja, yuk! Nanti kena marah guru, lho," bujuk si wanita dengan wajah yang penuh rasa khawatir. Tangannya dengan erat menggenggam ujung seragam laki-laki yang ada di depannya.

"Tak apa, tak apa! Tenang saja."

"Ta-tapi..."

"Kenapa wajahmu pucat begitu? Kau takut? He... kau takut, kan?" menyeringai, laki-laki itu merasa kalau rencananya untuk unjuk keberanian di depan gadis yang dia sukai sukses besar. "Ahahaha! Jangan bilang kalau kau benar-benar percaya soal rumor itu."

Si wanita merasa sebal, namun itu cuma sementara. Untuk suatu alasan, pasangan pemuda-pemudi itu tertegun. Jarak mereka dari bangunan kayu masih 5 meter lagi, meskipun begitu, mereka sudah menemukan keganjilan.

"...?"

"...!"

"HUAAAAH! ARGGGH! HUAAAAAAAAAH! AH! ARGGGGHA!"

Terdengar jeritan seorang manusia.

Merespon terhadap situasi mendadak tersebut, si wanita segera melompat dan memeluk tangan si laki-laki. "A-a-apa itu? Hei! Apa itu?! Bilang kalau kau sedang bercanda. Kau sedang bercanda, bukan?"

Meski berharap seperti itu, si wanita tidak bisa mengabaikan fakta kalau wajah si laki-laki sama pucatnya dengan wajah miliknya.

"..."

"Hei! Jawab aku!"

Kemudian, ketika adrenalin dipacu, si laki-laki kembali menggerakkan tubuhnya untuk melangkah. Apa? Siapa? Dari mana? Kenapa? Semua pertanyaan itu terngiang di kepala si laki-laki dan membuat rasa penasaran mengambil alih tubuhnya.

"Hei... kita kembali saja, yuk! Aku mohon!"

"Tunggu sebentar. Aku harus memastikan dulu. Bagaimana kalau yang berteriak itu adalah orang yang sedang terluka?"

"AAAARGH! AH! AH! AUUUUUUUU! HIHIHIHI! HAHAAHAHA!"

"...?"

"...?"

"A! A! A! AH! AAAAH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! AH! ENAK! AH! UH! YES! IH! UH! UHUHUHU! AAAAAAAAAAAH! BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPATNYA! AH!! COLOK NOMOR 0! SAYA SIAP MELAYANI, BUKAN DILAYANI!"

Kemudian, kerutan pun muncul di kening pemuda-pemudi itu. Bagaimana tidak? Teriakan mengerikan yang tadi mereka dengar, kini berubah menjadi jeritan ngawur dari seorang politikus yang gagal dalam pemilu... atau semacamnya. Yang jelas, situasi semakin aneh.

Seven Deadly Fools (Jilid 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang