Pupus

87 5 1
                                    


Aku selalu berpikir bahwa mencintai orang lain yang jelas-jelas tidak mencintaimu adalah pekerjaan bodoh dan sia-sia. Membuang-buang waktu dan tenaga untuk orang yang bahkan tidak menghargai perasanmu sama sekali. Kenapa manusia bisa begitu bodohnya?

Tapi, saat mengamati wajah pria di hadapanku ini, aku menyadari satu hal. Bahwa mencintai bukan pekerjaan yang diperintahkan kepala, yang berarti tidak bisa aku kendalikan. Mencintai berada di bawah wewenang hati dan aku tak punya kuasa sama sekali untuk mengendalikannya.

Aku bertanya-tanya, kapan tepatnya perasaan itu muncul? Apakah waktu itu saat dia membiarkanku menangis semalaman di pundaknya yang kokoh? Atau saat dia mengajariku bagaimana melampiaskan rasa kesal pada rokok dan alkohol? Atau malah dulu sekali, saat kami masih kanak-kanak, waktu ia tak sengaja menabrakku dan membuatku menangis karena permen yang jatuh. Aku tidak tahu kapan semua ini dimulai. Rasanya sudah sangat nyaman berada dalam jarak jangkau dan jarak pandangnya selama ini, dan aku harap ini bisa bertahan sedikit lebih lama.

"Ra." Waktu itu kami tengah duduk-duduk di beranda apartemennya. Sudah begitu larut sejak kembang api terakhir tahun baru ditembakkan ke angkasa, dan kami sedang menikmati hening dini hari yang diselimuti angin malam. Dia tiba-tiba memecah sunyi dengan memanggil suku terakhir namaku, yang aku jawab dengan gumam halus.

"Lo percaya ga sama cinta karena terbiasa?" Ia bertanya gamblang, membuatku menoleh ke arahnya sepenuhnya. Matanya menerawang jauh lurus ke depan, dari mulutnya berhembus kepulan asap putih hasil pembuangan asap rokok yang tadi dihirupnya dalam-dalam. Aku pikir ini saatnya, mungkin semua pengharapanku selama ini akan segera mendapatkan jawaban.

"Percaya." Satu kata itu terlontar lirih dari bibirku. Tentu saja percaya, bagaimana aku bisa tidak percaya kalau orang yang berada di sampingku ini adalah bukti nyata dari itu? Dari perasaanku yang timbul karena terbiasa bersamanya dalam waktu melebihi separuh umurku.

"Gue juga." Dia berujar sebelum hisapan terakhirnya pada linting yang terselip di jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya. Setelah melontarkan kata itu, ia menghembus nafas dengan kasar, membuat asap bergelung-gelung di sekitarnya. Aku tersenyum, entah karena apa.

"Rasanya....nyaman dan hangat. Kayak kue buatan nyokap lo yang baru keluar dari oven." Dia menoleh, senyum tulusnya mampu menghipnotisku.

"Gue ga tau kalau cinta bisa kayak gitu." Senyumnya melebar, puntung yang sudah habis dan mati di tangannya dilemparnya ke dalam asbak yang diletakkan di antara kami.

"Lo lagi jatuh cinta, ya?" Aku memberanikan diri bertanya.

"Lebih tepatnya, gue baru sadar kalau gue cinta sama orang." Jantungku sudah tidak karu-karuan. Berdentam keras hingga rasanya seperti akan keluar dari dada.

"Hampir separuh hidup gue, gue habisan sama ini perempuan. Gue pikir, setelah selama itu, kok gue ga bosen sih sama dia? Kok gue jadi tambah pengen ngehabisin wakktu bareng dia, bahkan kalau gue cuman duduk-duduk sambil diam-diaman bareng lo kayak sekarang kayaknya gue ga bakal bosan deh." Senyumnya melebar dan harapanku melambung. Katakan saja aku terlalu percaya diri kalau dia sedang membicarakanku, sesekali aku boleh berharap kan?

---

"Ra." Seminggu setelah percakapan bersamanya pada subuh itu, Asa –kembaranku- menghampiri kamarku pada sore hari. Ia menutup pintu kamar dengan hati-hati dan pelan-pelan setelah aku mengizinkannya masuk.

"Dia nembak gue, Ra." Tanpa tedeng aling-aling, setelah mengambil tempat untuk duduk di hadapanku, ia melontarkan satu kalimat yang minim penjelasan itu.

"Dia siapa?" Fokusku pada novel yang kubaca sepenuhnya teralih ke arah perempuan yang secara fisik sama denganku.

"Dia, Rudi. Dia nembak gue, setelah selama ini." Asa tersenyum, manis. Rasanya jantungku melesak ke perut, menimbulkan sensasi mual. Rontok sudah. Rontok semua harap yang kupupuk dalam dada, dalam setiap doa yang kulafal lamat-lamat pada malam-malam tanpa tidur. Apa Tuhan salah alamat? Lupa kalau yang memohonkan nama Rudi dalam setiap doa khusyuk-nya adalah Ara dan bukan Asa? Rasanya tidak mungkin dan konyol. Dan rasanya aku mau mati.

---

"Ra, dia nerima!" Teriakan senang di ujung telefon itu memperparah luka. Seperti panah yang sudah tertancap di tubuhku dihantamkan lagi dalam-dalam dan melukai lebih parah. Aku diam, dan barangkali dia menyadari diamku, karena setelahnya dia bertanya.

"Kok diam, Ra?" Aku menelan bulat-bulat gumpalan tak kasat mata yang mengganjal di tenggorokan.

"Asa udah cerita. Selamat ya." Iya. Selamat pada harapan sia-siaku. Selamat pada hatiku yang hancur berserak.

"Gila, gue seneng banget, Ra." Dia tertawa di ujung sana, sementara aku di sini susah payah menekan bulir bening yang siap keluar kapan saja dari pelupuk mata. Dia menghabiskan waktu beberapa menit menceritakan semuanya, yang terasa bagiku berjam-jam. Di ujung panggilan, sebelum sambungan itu sempat terputus, dengan keberanian entah darimana aku menanyakan hal yang seharusnya tidak usah saja kutanyakan.

"Rudi, gue mau tanya, boleh?" Dia mempersilahkan.

"Gue sama Asa bedanya apa?" Berharap menemukan jawaban yang setidaknya bisa menenangkan perasaanku yang bergejolak tidak karuan.

"Asa lebih tipe ideal gue Ra dibanding elo." Dia mengatakannya dengan ringan, mungkin baginya ini seperti tanya bercanda. Setelah pamit dan menutup telefon, tangisku pecah.

PupusWhere stories live. Discover now