Bab 1 - Indigo

395 43 213
                                    

Rinjani, Agustus 2016

Dear Arya,

Hari ini, aku sedang berada di puncak Rinjani. Memandang awan yang bergulung-gulung. Indah Sekali. Namun, satu detik ini, tiba-tiba aku merasa sedih, Arya. Aku merindukanmu. Akankah kita bertemu untuk menjadi satu? Aku lelah di sini. Detik kemudian, aku sadar bahwa kau tidak pernah meninggalkan aku.

Entah berapa puncak gunung yang telah kutapaki. Hingga kaki ini lelah. Hingga tangan ini tak ingin lagi menggapai. Namun, tetap saja, semua itu tak membuatku ingin berhenti. Ingin kutapaki semua puncak gunung di bumi nusantara ini. Aku ingin menemukanmu. Hanya kamu yang telah membawaku dalam perjalanan panjang nan melelahkan ini, Arya.

Yara menggoreskan tinta di buku diary-nya, ditemani angin di puncak Rinjani, 3.726 mdpl. Kabut mulai turun seiring matahari yang mulai naik. Awan bergulung-gulung di bawah sana. Bagai negeri di atas awan. Yara dan kelompok pendaki gunung lain sedang menikmati sunrise yang begitu indah setelah melakukan upacara bendera di puncak Rinjani. Semua rasa lelah setelah selangkah demi selangkah mendaki terbayar tuntas dengan pemandangan menakjubkan. Yara menutup bukunya, memandang pada kelompok pendaki lain yang sedang mengabadikan momen di puncak Rinjani dengan berfoto, tapi Yara tak ingin bergabung. Dia masih ingin menikmati keindahan ini sendirian.

Embusan angin yang besar menyapu rambut-rambut ikal milik Yara. Ia menghela napas panjang, merasakan segala perasaan di puncak gunung nan indah ini kemudian memejamkan mata. Arya, bisakah aku menemukanmu di puncak Rinjani ini? Tanpa disadari, air matanya mulai mengalir membasahi pipi. Rasa lelah tiba-tiba menyergapnya. Bukan rasa lelah di pundak setelah menggendong tas carrier puluhan kilo, bukan juga rasa lelah di kaki setelah melangkah ribuan meter, tapi rasa lelah di hati. Ada satu lubang kosong di sana. Satu lubang yang begitu menyesakkan. Lima tahun, Arya. Lima tahun sudah aku mencarimu seperti orang gila. Kumohon jangan matikan harapanku ini, bisiknya.

Matahari sudah tinggi di atas sana. Pendaki lain telah bersiap untuk menuruni puncak Rinjani.

"Yara, ayo! Kita harus turun sekarang," teriak Kapten Jos, ketua tim pendaki yang Yara ikuti.

"Yes, Capt!" Yara bersiap, memasukkan diary ke saku jaket dan menyusul timnya.

Selamat tinggal, Rinjani. Terima kasih telah berbagi keindahanmu dengan kami. Aku tak akan melupakan hari ini. Yara mulai menuruni puncak Rinjani bersama timnya. Lagi, selangkah demi selangkah.

Tiba di Segara Anakan, salah satu spot tercantik di jalur pendakian gunung Rinjani. Sebuah danau cantik yang dikelilingi bukit indah. Seperti sebuah mata air suci yang tak boleh tersentuh. Mereka berencana mendirikan tenda di sekitar danau bersama beberapa tim pendaki lain untuk bermalam dan melanjutkan perjalanan esok hari. Anggota laki-laki mulai membangun tenda, sedangkan anggota perempuan mempersiapkan makan malam. Setelah semua siap Yara membongkar tasnya untuk mencari kamera instan dan menyiapkan buku diary-nya.

Yara mulai berkeliling dari satu tim pendaki ke tim pendaki lainnya untuk menanyakan satu pertanyaan.

"Permisi, apa di tim ini ada yang bernama Arya?" Kegiatan yang selalu dilakukannya setiap kali berhasil mencapai puncak gunung. Sudah lima tahun sejak pertama kali Yara mendaki gunung dan mencari seseorang yang bernama Arya. Lima tahun lamanya, hanya untuk bercerita bahwa dia telah lama mencari seseorang bernama Arya dan menunjukkan buku diary yang penuh dengan foto-foto dirinya bersama semua orang yang bernama Arya yang ia temui di gunung. Tak jarang orang yang bernama Arya itu adalah kakek-kakek atau bahkan anak kecil. Namun, Yara tak masalah. Baginya, ia hanya ingin melihat dan mengajak mereka berfoto saja. Bahkan tak jarang ia kembali bertemu dengan Arya yang pernah ditemui sebelumnya. Itu akan menjadi sebuah reuni tanpa sengaja.

Memetik BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang