Satu (Selesai)

876 236 40
                                    

Semua orang menganggap mereka sebagai makhluk yang ada-tapi-tak-dianggap-ada. Nenek Aminah dan cucu laki-lakinya, Kasim, hidup di antara mereka yang mampu—ralat, sangat mampu, membuat mereka dikucilkan di tempat mereka tinggal. Namun, itu tak membuat sang nenek yang berusia tujuh puluh tahun itu  dan cucu laki-lakinya merasa malu. Justru menjadi penyemangat hidup karena menurut mereka itu adalah cobaan Tuhan untuk mereka.

Orang-orang yang berada di sekitar rumah Nenek Aminah jauh lebih mampu jika dibandingkan Nenek Aminah yang bekerja sebagai pembuat kue tradisional yang dijual di pasar. Rumah mereka besar, megah, berdiri kokoh bersanding dengan bangunan-bangunan lainnya yang serupa.

Lain halnya dengan rumah Nenek Aminah yang berada terpencil di belakang rumah-rumah besar itu. Rumah kayu yang kecil, lagipun sudah rapuh. Genteng-genteng sebagian sudah termakan usia, bewarna hitam, ada yang sudah hilang di berbagai tempat. Jika hujan tiba, akan membuat Nenek Aminah sedia ember, agar tidak membasahi isi rumah.

Kasim, sang cucu yang bekerja serabutan, sangat menyayangi sang nenek, keluarga satu-satunya. Ibu dan ayahnya sudah pindah ke kota lain. Meninggalkannya. Entah kabar mereka, sang anak tak tahu sama sekali.

Kasim tidak bersekolah. Walaupun tidak sekolah, Kasim tahu membaca dan menulis. Nenek Aminah memang tidak bisa menyekolahkan Kasim, namun bukan berarti Kasim akan menjadi anak yang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Negara ini membutuhkan generasi yang berpikir, tidak mudah terpengaruh oleh siapapun.

Nenek Aminah juga menanamkan nilai moral pada cucu satu-satunya itu. Hanya itu yang bisa ia lakukan pada masa tuanya ini.

Pada suatu ketika, Kasim sedang mencari kayu bakar di kebun yang tak jauh dari rumah.

Tanpa sengaja, matanya menangkap sesuatu di balik pohon jati yang besar. Hari ini cuacanya panas. Terik matahari menyengat menyentuh kulit. Sesuatu itu berkilau.

"Itu apa ya?" ujar Kasim yang berada sekitar lima meter dari pohon jati yang besar itu. Sambil menenteng beberapa kayu bakar, Kasim berjalan mendekat dengan rasa penasaran yang menyelimuti, serta menerka-nerka apa yang ada di sana.

Kasim melihat benda itu. Ternyata benda yang hanya berukuran kepalan tangan itu adalah benda mulia. Emas. Astaga, bahkan Kasim belum pernah melihat emas dalam bentuk apapun. Ini, bongkahan emas ini, Kasim melihatnya secara langsung. Kasim tahu dimana tempat untuk menukarkan benda ini. Neneknya pernah berkata bahwa orang-orang yang ada di sekitar mereka mempunyai bongkahan yang berwarna emas, berkilau jika terkena matahari. Mereka menukarnya di toko emas.

Kasim lalu mengambil bongkahan emas itu, lalu membawanya pergi. Ia lalu berjalan menuju pasar yang biasa ia kunjungi setiap pagi. Lalu bertanya pada orang-orang yang berlalu lalang, dimana toko emas. Kasim dengan arahan orang-orang yang ia tanya, akhirnya sampailah di toko emas. Pepatah 'malu bertanya sesat di jalan' ia terapkan di situasi ini.

Ia lalu mengambil bongkahan emas itu yang ia selipkan di antara kayu bakar yang ia bawa. Lalu menunjukkannya pada penjaga toko.

"Mbak, ini saya-em, saya ingin menjual ini." Kasim meletakkan bongkahan emas itu di meja. Sangat hati-hati. Penjaga toko itu tersenyum, lalu pergi.

Kasim terlihat seperti orang yang bingung. Pakaiannya yang seperti ini; lusuh, kusam, dan warna kulitnya yang terbakar. Ia tidak pantas di sini. Orang-orang di sini mempunyai baju yang bagus, kalung, gelang yang terbuat dari emas melingkar di tubuh mereka. Tidak peduli wanita atau pria.

Jaman Sudah Berubah, Sim!Where stories live. Discover now