Jumat, 28 Juli 2017

74 27 4
                                    

Gelap, hujan, tidak ada sedikit pun penerangan malam ini. Membuatku terbangun dan berjalan menghampiri jendela. Jendela kubuka lebar. Angin bersama rintik hujan menerobos masuk ke ruangan.

Sunyi, adalah suasana yang aku rasakan saat ini. Penerangan minim yang berasal dari jendela yang kubuka, hanya sinar rembulan yang menyapaku di ruangan yang sunyi.

Tiba-tiba petir menyambar pohon yang tidak jauh dari kamarku. Membuatku mundur menjauh dari jendela. Aku melihat sekelilingku. Mencari keberadaan seseorang yang telah lama ada. "Halo... apa ada orang?" Namun tak ada jawaban.

Ketika kucoba perhatikan sekelilingku, aku seperti melihat bayangan. Aku menajamkan penglihatanku. Bayangan itu menuju ke arahku.

Terlihat semakin besar dan tinggi. Namun semakin dekat, bayangan itu memudar. Aku pun terpaku ketika bayangan itu mendekat dan perlahan memudar.

Aku yang masih shock mencoba mengeluarkan suaraku yang tiba-tiba tercekat panik.

"Hei, siapa di sana?!" Rasa penasaran menyerangku, mendorong kakiku untuk melangkah menuju pintu. Tak ada orang, hanya hujan yang semakin turun deras di luar sana. Seruanku tak dibalasnya, kucoba menoleh kembali namun nihil.

Kucoba menajamkan telingaku menangkap gesekan benda yang tak kuketahui dari mana asalnya.

Saat aku mencoba berbalik, tanganku ditarik dengan kasar. Membuatku terlempar ke belakang dan badanku membentur dinding dengan keras. Aku meringis kesakitan.

Kulihat, ada setetes darah menitik di belakang kepalaku. Kucoba untuk bangkit. Namun, suara misterius menghentikan langkahku.

"Kamu seharusnya tidak di sini," serunya. Aku merasa detak jantungku berhenti sejenak. "Apa benar ada seseorang di sekitarku?" batinku.

"Si... siapa?" Tak ada jawaban. "Kalau berani tampakkan dirimu," ucapku terlihat sok berani.

Brak!

Ada yang menggedor pintuku. Aku bergeming menunggu gedoran yang kedua.

Dengan langkah yang mantap, aku menuju pintu untuk melihat siapa yg menggedor. Awalnya ku ragu dan 'CKLIK' aku pun membuka pintunya dan terpaku.

Tak ada orang. Tak kuhiraukan lagi sakit yang terus mendera. Kakiku kini melangkah hingga menapak di aspal.

Sunyi, gelap, dingin. Air hujan seakan membantu membersihkan darah yang mengalir di beberapa bagian tubuhku.

Pandanganku kosong, langkahku terus tanpa henti, tak kuhiraukan malam gelap disekitarku, bau amis yang disapu air hujan menggenang di aspal basah. Langkah terakhir mematikanku ketika pandangan mataku bertemu dengan sorot tajam tak kukenali.

Sekujur tubuhnya basah karena hujan. Matanya tampak dingin, kemudian berbinar senang melihatku yang bergeming. Seringai sadis menghiasi bibirnya. Kemudian ia tertawa kencang, seolah menikmati aku yang kini telah menggigil ketakutan.

Kulihat langkahnya mulai mendekatiku. Pelan namun pasti. Tampak sebuah tombak panjang diacungkan ke atas siap untuk menusukku. Aku belum ingin mati. Aku harus lari. Ya, lari. Dengan kekuatan yang masih tersisa, aku berlari menjauhinya.

"Tolong!!!" Aku berteriak sekuat yang kubisa. Namun, hasilnya nihil. Tak ada satu orangpun yang muncul.

Dengan rasa sakit pada kakiku yang mendera, aku terus berlari. Aku berlari sambil mencari ponselku yang ada pada kantung celana tidurku. Aku coba menghubungi siapapun yang ada pada panggilan pertama.

Namun, belum sempat aku berucap, tanganku sudah tertarik dan ponselku entah berada di mana. Aku pun meneguk ludahku sebelum menoleh ke arah di mana dia menarik tanganku.

Suara tawanya membuat keberanianku perlahan pergi. "Kau harus mati, kau harus mati," ujarnya diikuti tawa yang menyeramkan. Aku mencoba berontak namun percuma saja. Tenaganya tak bisa kutandingi.

"Tolong!!" Aku terus berteriak walau kutahu takkan ada yang mendengar kecuali makhluk sialan itu.

"Kau harus mati." Aku melihat ke arahnya yang mengarahkan tombak padaku. Wajahnya entah bagaimana harus kujelaskan. Matanya hanya berwarna putih.

"Selamat tinggal," ucapnya sembari menancapkan tombak ke perutku diikuti tawa renyah darinya. Aku rasakan sekujur tubuhku yang sakitnya luar biasa. Cairan kental merah mengalir menganak sungai dari perutku. Perlahan nyawaku lepas dari raga.

Aku... mati?





--------END--------

Sambung Cerita Altair PaperlineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang