1

13 0 0
                                    


2 BULAN LALU.

Di balik bilik restoran itu, terakhir kali nya aku melihat dia. Matanya merah nanar seperti ingin menangis, raut wajahnya serius memperlihatkan geram dan amarah yang sudah berkobar lama. Sedari tadi dia memenggenggam erat kedua tangannya, meremasnya dengan kencang sampai aku bisa melihat urat-urat biru di telapak luar tangannya. Sedangkan aku. Aku hanya bisa bergeming, saling pandang, tapi kupastikan aku tidak akan bisa melihatnya lekat-lekat untuk waktu yang lama lagi. Untuk waktu yang sekian lama, aku benci saat-saat ini. Ingin aku mengucapkannya kepadanya, tapi tidak bisa kulakukan semua sudah bulat.

Di bilik restoran ini, tempat aku dan dia selalu menghabiskan setiap tanggal jadi kami setiap tahun, kami duduk dilesehan saling berhadapan. Sudah sangat lama sampai aku tak tahu pukul berapa kala itu. Kami terdiam dalam emosi masing-masing. Setelah aku tak tahan, aku menggerakan kedua kepala ku, menggerakan ke kekanan dan kekiri. Sudah. Ini sudah berakhir, batinku menguatkan perasaan ini, yang aku pun tidak tahu ini benar atau salah.

Dia kembali menatapku lekat, melihat gerak gerik ku sekali lagi. Aku tahu apa yang difikirkannya, aku tahu pasti, karena mungkin itu yang aku pikirkan. Tapi sayangnya dia tidak berani mengutarakannya, dia menunduk untuk kesekian kali.

"bim, ini udah jadi yang terbaik" akhirnya aku menyelesaikan pertemuan ini.

Dia tetap menunduk, aku menanti jawaban yang sebenarnya tidak ingin aku dengar. Sejenak, pundaknya bergetar lemah, dia perlahan mengusap kedua wajahnya pelan. Dia menangis. Untuk beberapa saat, kami kembali diam. Dada ku sakit, seperti tertusuk duri, rasanya sesak, aku seperti kehilangan oksigen. Aku memalingkan wajahku ke samping menjauh dari hadapannya. Mataku terasa panas sekali, aku berusaha menolak gejolak ini sekali lagi, aku tidak bisa melakukan ini. Sayangnya, cairan hangat itu jatuh di pipiku tanpa bisa ku tolak. Akupun ikut menangis.

"kenapa baru sekarang?" tanya lelaki yang didepan itu tiba-tiba. Matanya berair, raut mukanya terlihat sangat sedih. Aku memalingkan wajah ku sekali lagi, menolak melihat pancaran kekecewaan dari setiap garis wajahnya. Aku menyikap air mataku pelan.

"bim, dari awal kan kan kamu tahu ini bakalan terjadi sama kita" jawab ku pelan.

"aku gak nanya itu, aku tanya kenapa" aku bisa mendengar intimidasi dibalik suara nya yang parau.

Sejujurnya, aku pun tidak bisa menjawab itu.

"yah karena kamu emang mau mempertahankan apa? Kamu mau kaya gini terus? Kamu mau bawa kemana emang hubungan ini bim? Kemana aku tanya sekarang" jawab ku berbohong tegas. Aku menatap maniak matanya yang mencari jawabnya yang sebenarnya.

"ter, aku ga nanya itu! Aku tanya, kenapa baru sekarang?! Kamu pikir ini main-main hah?!" suaranya menaik, menjawab lontaran ku. Aku sungguh tak tahan lagi, melihat dia seperti ini menyadarkan ku tentang sesuatu hal yang seharusnya tidak aku lakukan.

Dia kembali menatap wajah ku lekat-lekat, menunggu jawab ku. Kami saling menatap. Wajahnya yang bersih itu, aku tak tahu aku harus bagaimana lagi. Di pucuk matanya, aku bisa melihat air mata yang tersisa yang membuat ku semakin tidak siap untuk semua ini. Aku menarik nafas ku dalam-dalam mengumpulkan kesadaran dan keberanian yang kuat menjawab jawabnya.

Tiba-tiba tanganya yang lembut mendekat kedua tangan ku membuat ku terkesiap.

"ter, aku masih sayang sama kamu. Kamu mau aku kaya gimana lagi ter. Aku belum siap"

Aku bergeming, mendengar ucapannya yang penuh kesedihan itu. Aku menarik kedua tangan ku pelan. Sudah saatnya diselesaikan.

"bim, aku uda bilang berkali-kali Cuma ini kan akhir dari semua ini. Iya kan? Apa sih yang bakalan kita harapin didepan bim? Gak ada."

UnrequitedWhere stories live. Discover now