Keping 1

6 0 0
                                    


K E P I N G 1

Jauh di atas bukit yang di tumbuhi ilalang dan rerumputan, di balik celah ranting-ranting pohon dan bulu-bulu domba. Sebuah rumah kecil berdiri canggung sendirian. Gemersik suara angin seakan sedang membisikan syair kematian " pulanglah ke rumah...jangan berjalan terlalu jauh....jalan ini tidak ada cara untuk kembali.....Tomo...Tomo" sepenggal syair yang penuh misteri. Tempat ini jauh dari pemukiman orang-orang, terpencil dari masyarakat. Jalan setapak yang basah meliuk menuju perbukitan. Gemercing bel yang menggantung di leher para sapi berbunyi suram dari atas bukit. Si Bukit tua nan jauh di atas sana.

Kaki kecil anak laki-laki itu berlarian membelah rerumputan, mengejar anak-anak domba agar tidak lari dari induknya. Seekor anak anjing mengikutinya dari belakang. Menggigiti celana anak itu seakan sedang mengatakan pada anak itu agar tidak terus berlarian. Namun, anak kecil itu tidak menghiraukan. Ia terus saja berlarian, sesekali ia terpeleset ke dalam kubangan lumpur karena jalan yang ia lewati terlalu licin. Dari kejauhan seorang wanita paruh baya hanya memperhatikan, ia mencoba untuk tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh anak kecil itu.

Tomo baru berusia 4 tahun. Ia dilepas begitu saja bermain dengan hewan ternak orang tuanya. Kedua orang tuanya sama sekali tidak memikirkan apa yang akan terjadi dengan Tomo jika ia dilepas bermain sendirian. Tomo kecil memang terlahir cacat. Ia tidak bisa bicara, matanya rabun dan ia dikira idiot oleh ibunya. Setelah Tomo lahir, kedua orang tuanya memilih untuk pindah dan tinggal di atas bukit, mereka tidak tahan akan hinaan orang kepada mereka. Orang-orang mengatakan jika Tomo adalah kutukan dan ada pula yang menyebutkan jika Tomo adalah anak iblis. Itu karena wajah Tomo yang seram dan memiliki dua buah tonjolan berbentuk tanduk di kepalanya.

Semenjak itu, keluarga Tomo di timpa banyak masalah dan jatuh miskin. Ayahnya sendiri menyebutkan jika Tomo adalah anak pembawa sial. Ibunya menolak untuk menyusuinya sehingga Tomo hanya minum dari susu domba. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari pada kehilangan kasih sayang kedua orang tua. Tomo bahkan tumbuh besar bersama binatang gembalanya. Kadang ia tidur bersama para domba di kandang, ia tidak dimadikan berhari-hari. Bajunya jarang diganti. Hanya ketika aroma busuk tubuh Tomo mulai meyengat hidung, ibunya merendam Tomo dalam sebuah tong. Tomo kecil memang tak terurus, tapi sejatinya ia anak periang. Ia suka sekali tertawa dan bermain bersama anjing gembalanya.

Pernah suatu hari, Tomo tidak kunjung pulang ke rumah. Para ternak semuanya sudah masuk kandang. Mentari sudah tenggelam. Malam semakin larut dan Tomo belum juga pulang. Seperti biasanya, setelah pulang bekerja Ayah Tomo mulai memeriksa kandang. Ia menyadari jika seekor anak domba telah hilang, ia pun keluar untuk mencari anak domba, bukannya untuk mencari anaknya. Berbekal sebuah senter kecil, ia telusuri jalan setapak itu. Menerobos gelap dan dinginnya malam. Sayup-sayup terdengar suara jeritan anak domba di sebelah bukit. Di sebuah lubang yang cukup dalam terlihatlah Tomo dan anak domba itu.

Ayah Tomo membuang pandangannya. Ia mengeluarkan Tomo dan dombanya. Tubuh kecil Tomo yang kurus menggigil menahan dingin. Tomo pun dibawa pulang. Pintu rumah terbuka dan terlihat wajah Ibu Tomo begitu kesal.

" Ada apa dengannya ? " tanya Odet pada suaminya.

Dave hanya diam dan masuk ke dalam rumah.

" Menyusahkan SAJAAA !!!" hardik Odet.

Hari itu, untuk pertama kalinya Tomo merasakan lezatnya masakan sang ibu. Tidak seperti hari-hari biasanya, ia harus makan makanan sisa yang di berikan ibunya. Sup yang benar-benar hangat dan lezat. Tidak seperti sup yang selalu ia makan, yang begitu dingin dan terasa seperti muntah kerbau. Api melahap perlahan kayu di perapian. Nyala cahanya sesekali terang lalu meredup.

" Di mana kau menemukan anak ini ? " tanya Odet.

" Kenapa kau membawanya pulang, biarkan saja dia tidur di luar..." sambungnya lagi.

" Ia terperosok ke dalam lubang bersama seekor anak domba" jawab Dave sambil menghabiskan sisa makanan di meja makan.

" Lalu kanapa? kenapa kau tidak bawa saja dombanya? Kenapa kau harus membawanya anak ini bersamamu?"

" Apa yang bisa aku lakukan?" jawab Dave.

" Kau bisa berpura-pura tidak melihatnya dan meninggalkan dia sendirian di sana"

" Apa maksudmu ?".

"Anak ini pembawa sial, dia tidak akan terluka bahkan dia tidak akan mati"

"Cukup !!" bentak Dave.

"Yang aku katakan itu benar, sudah berapa kali dia hampir mati tapi tetap saja nyawanya belum di cabut."

" HENTIKAAN !!!"suara laki-laki paruh baya itu meninggi.

"Hentikan semua ini, aku lelah..." sambungnya lagi lalu berdiri meninggalkan ruang makan.

"Oooh.... entah apa dosaku sehingga Tuhan mengutukku dengan memberikan anak ini." Kata Odet sambil menghela nafas panjang.

Odet selalu berpikir jika tidak ada yang bisa mencabut nyawa Tomo bahkan malaikat maut sekali pun enggan untuk melakukannya. Upatan demi upatan setiap hari dilempari pada anaknya. Namun di balik semua itu, secercah harapan datang menghampiri. Kedatangan Kakek Tomo bagaikan sebuah pelita yang berada di dalam lubang gelap. Kendati sang cucu terlahir cacat dengan bentuk fisik tidak sempurna. Bagi kakek, Tomo tetaplah cucunya.

Karena melihat kondisi cucunya yang memprihatinkan, Kakek Tomo memutuskan untuk menghabiskan waktu musim panasnya tinggal bersama Tomo.

"Tomomo....... Tomomo..." begitulah panggilan kesayangan kakek padanya.

Hampir setiap hari, kakek menghabiskan sebagian besar waktunya mengajari Tomo berbicara. Di bawah pohon jati yang mulai daunnya mulai berguguran, Kakek Tomo selalu mengajarii Tomo.

"Tomomo......ayo ucapkan HALOO..." ucap Kakek. Tomo mengikuti gerakan mulut kakeknya, namun sekeras apapun dia berusaha tapi yang terdeagr hanyalah A dan O.

Bayang-bayang senja mulai memanjang. Awan-awan mengambang mulai menyelimuti pinggang bukit. Dari balik jalan setapak, terdengar suara derap langkah para sapi pulang menuju kandang. Sesekali terdengar suara Ibu Tomo menghalau sapi agar tetap berada dalam barisan.

"Moo.....mmoo....mmooomm" kata Tomomo kegirangan sambil menunjuk ke arah kumpuan sapi.

"Apa yang kau katakan? Coba ulangi lagi Tomomo sayang" ujar Kakek terkejut.

"Mmoom...moo...moommm"

"Hei... lihatlah !! Tomomoku sudah bisa bicara.."sorak Kakek. Odet datang mendekat, sedangkan Ayah Tomo yang mendengar teriakan kakek langsung berlari dari kandang babi menemui kakek.

"Ada apa ayag berteriak? Apa terjadi sesuatu?" tanya Ayah Tomo.

"Ayah... dia hanya bergumam tidak jelas menirukan sapi-sapi itu. Kenapa ayah begitu senang? Dia melakukannya setiap hari." Cetus Odet.

"Kau tidak mendengarnya? Tomo coba ucapkan lagi!!"

"Mmoom...mooom"

"Odet.. dia memanggilmu. Moom...mom (ibu) dengar?" kata kakek. Odet mencemooh.

"Ooh... aku benar-benar sudah gila jika anak ini bisa bicara" ujarnya tetap tidak percaya.

Perlahan namun pasti, Tomo kecil sudah pandai mengucapkan satu persatu kata yang dipelajarinya. Ia juga sudah pandai menulis walaupun tulisannya sangat sulit dibaca. Dave sedikit membuka hati melihat perkembangan anaknya namun ketika Tomo menataapnya, hatinya berubah. Waktu berlalu begitu cepat, tibalah saatnya bagi kakek untuk pulang ke rumahnya.Tomo begitu sedih menyadari bahwa ia harus berpisah dengan kakeknya. Ia ingin menghabiskan lebih banyak waktunya lagi bermain, belajar semua hal dengan sang kakek.

Di pagi buta itu, Tomo sekeluarga menaiki kereta kuda menuju dermarga. Untuk pertama kalinya, Tomo turun dari atas bukit. Melihat jajaran rumah-rumah penduduk yang mana dinding-dindingnya hampir menyatu satu sama lain.

ud

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 20, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

TOMOMOWhere stories live. Discover now