Bab 1

125K 7.9K 150
                                    

Hari seperti sedang berpihak kepadaku, turun hujan deras sama seperti rasa sakit hati ini. Berita mengejutkan yang dibawa oleh calon mertuaku begitu mengejutkan. Bagaiamana tidak? Tiga hari lagi kami akan menikah dan sekarang dengan seenak udelnya mereka membatalkan pernikahan ini. Bukan mereka yang membatalkan, tapi calon suamiku. Menurut penuturan kedua orang tua calon suami bangsatku itu, dia calon suamiku berubah pikiran di saat terakhir.

"Ini pasti karena mantannya Coki kembalikan Tante?" tanyaku judes, tentu saja aku tahu mengenai info mantan tersayang Coki tiba-tiba muncul kembali.

Aku dapat melihat tatapan bersalah dari mata Tante Lara, tatapan dulu yang selalu berbinar saat melihatku main ke rumahnya kini penuh tatapan rasa bersalah. Memang sudah sepatutnya mereka merasa bersalah. Bahkan si brengsek Coki yang pengecut itu mangkir dari acara pembatalan atau mungkin bisa disebut pembubaran pernikahan.

Meski aku terlihat tegar, tidak dengan Ibu yang sudah menangis sejadi-jadinya. Bahkan Ayah sempat mengeluarkan keris keramatnya dan ingin mencari Coki. Bagaimana tidak, pernikahanku tinggal menghitung hari, lusa adalah hari sakral itu dan sekarang aku harus bagaimana? Undangan sudah tersebar, catering dan gedung sudah dipesan. Tetapi Tuhan berkehendak lain.

"Om dan Tante silahkan pulang, saya rasa sudah tidak ada lagi yang harus kita bicarakan," tegasku dengan terang-terangan mengusir mereka. Untunglah mereka cukup tahu diri untuk segera berpamitan.

Ibu menatapku iba, beliau membawaku ke dalam pelukannya. Ayah juga bergabung bersama kami, tidak lama kemudian aku mulai terisak perih. Pernikahanku batal dan kini aku harus mencoba tegar di hadapan Ibu dan Ayah. Aku bersyukur kakak tertuaku, Bang Rafli tidak ada di sini. Jika ada, dia pasti akan dengan senang hati mencari Coki dan menembak kepala laki-laki bangsat itu.

Jika bisa, aku lebih memilih menjadi.perawan tua saja. Seumur hidup mengabdikan diri untuk Ayah dan Ibu, mengurus keduanya yang sudah renta. Tetapi aku yakin Ibu dan Ayah pasti tidak akan setuju dengan keputusanku. Untuk saat ini biarlah semua mengalir seperti air.

Ingatanku kembali terbang ke dua tahun lalu. Dimana kejadian yang hampir sama pernah terjadi padaku. Di hari aku akan bertunangan, calon tunanganku justru tidak hadir. Namanya Braka, menurut keterangan teman dekatnya, laki-laki itu pergi meninggalkanku untuk mantannya.

Sekali lagi gara-gara mantan, jodoh memang di tangan MANTAN. Dulu mungkin aku tidak terlalu kecewa, itu baru pertunangan. Tetapi, berbeda dengan sekarang ini, aku begitu terpukul dengan apa yang sudah terjadi. Hingga aku berpikir jodoh bukan di tangan Tuhan, tetapi di tangan MANTAN.

•••

Hari minggu besok merupakan hari pernikahanku, meskipun kini hanya tinggal mimpi buruk saja. Sejak malam kemarin, rumahku sudah ramai didatangi keluarga jauh dan teman dekat, semuanya datang karena ingin melihat calon pengantin katanya. Karena semua kekacauan inilah aku akhirnya diungsikan Ibu ke Singapore. Aku diungsikan Ibu dan Ayah ke tempat Abangku berada.

"Kenapa sih kamu harus larang abang buat pulang dan matahin itu leher pria bangsat?!" dumel abang yang saat menjemputku di bandara. Abangku ini gagah dan beliau sangat pemberani, mantan atlet tembak dulunya. Maka dari itu aku takut si abang akan langsung menembak Coki ketimbang mematahkan leher Coki, menembak Coki lebih terdengar seram bagiku.

"Aku baik-baik aja bang, udah jangan bawel deh. Aku pusing dengernya, setiap hari selalu rasa iba dan kasihan yang aku terima," ujarku menghela napasku yang tiba-tiba menjadi memberat. "Aku butuh hiburan dan ketenangan Bang," lanjutku lagi.

"Kenapa tidak menginap di apartemen Abang?" tanya Bang Rafli kemudian saat mobilnya membawaku menuju hotel yang sudah aku booking kemarin.

"Abang tahu alasanku. Kak Santi begitu sensitif denganku, bahkan aku tahu alasan Abang tidak pulang saat pernikahanku adalah Kak Santi," ujarku blak-balkkan. Beginilah aku, selalu mengatakan apa yang aku pikirkan. Aku melirik Bang Rafli yang terlihat menghembuskan napasnya lelah, aku tahu dia pasti begitu rindu Ibu dan Ayah. "Abang ambillah cuti, ajak Kak Santi dan Dino balik ke Jakarta selama aku di sini," saranku kemudian.

Mata sipit Bang Rafli menatapku sekilas, ada rasa bersalah yang mendalam di bola matanya itu. Jujur saja, aku sakit melihat Abangku yang merupakan arsitek terkenal harus menderita seperti ini. Mungkin memang aku yang membawa sial, terlalu banyak orang yang tidak menyukaiku dan terlalu banyak yang meninggalkanku. "Aku tahu Bang. Mungkin bukan salahku menjadi mantan adik kelas bekas suami Kak Santi, tetapi memang sejak lahir aku sudah salah Bang. Apa yang tidak aku kerjakan pun tetap salahku," gumamku pelan dan panjang. Aku yakin Bang Rafli pasti mendengar dengan jelas ucapanku tersebut.

"Dek ..." aku mengangkat tanganku memberi tanda untuk abangku itu diam dan tidak mencoba menghiburku.

"Ingat saranku tadi Bang! Ibu dan Ayah rindu dengan anak, mantu dan cucunya," pesanku saat mobil Bang Rafli sudah sampai di depan lobi hotel. Aku mencegah Bang Rafli saat dia ingin keluar membantuku membawa koperku. "Ada bell boy. Abang pulang saja, Kak Santi pasti gelisah melihat suaminya harus menjemput adik angkatnya berdua saja," jelasku kemudian.

Kalian kaget? Seharusnya tidak, aku sudah sempat menyinggung bahwa aku memang terlahir salah bukan? Aku hanya anak yang ditinggalkan di panti asuhan, jika aku tidak ditinggalkan di panti berarti aku bukan kesalahan. Ibu dan Ayah sepakat mengadopsiku karena mereka menginginkan anak perempuan, ini jugalah yang menjadikan alasan Kak Santi begitu tidak menyukaiku. Dulu mantan suaminya, begitu sangat menyukaiku dan tidak bisa mempertahankan pernikahan mereka. Kemudian Kak Santi bertemu dengan Bang Rafli, tambah murkalah perempuan itu saat tahu aku adik angkat Bang Rafli.

Menyukai abang angkat sendiri tidak ada dalam kamusku, ini bukan cerita fiksi yang begitu banyak khayalan tingkat tinggi, hidupku tidak seindah dunia fiksi. Aku sangat menyayangi keluarga angkatku, setidaknya aku tidak sebatangkara dan dapat membagi suka duka bersama mereka. Selama 20 tahun aku tinggal dengan Ibu, Ayah dan Bang Rafli, selama itu pula aku merasa hidup dan merasa aku benar-benar sangat dibutuhkan.

"Mari kita bersenang-senang!" seruku ceria saat telah sampai di dalam kamar hotel. "Aku akan menghabiskan tabunganku!" tekadku kemudian. Gaji yang selalu aku sisihkan setiap bulan selama hampir satu tahun akan aku hambur-hamburkan di sini. Jujur saja, aku bingung harus berkata apa saat masa cutiku selesai. Gunjingan dan pertanyaan penasaran dari rekan kerjaku yang julid-julid itu pasti akan memberondongku. Seketika aku membenci tempat kerjaku saat ini, dulu sekali aku begitu bangga dengan tempat kerjaku sekarang.

"Mungkin pulang nanti aku harus mengundurkan diri," gumamku kemudian. Terlebih lagi, aku dan si brengsek Coki bekerja di tempat yang sama, sudah pasti manusia brengsek itu tidak akan meninggalkan posisinya yang merupakan seorang manajer di sana.

Bersambung

Ayey~ Cerita baru nih ....

Jangan lupa Vote dan Komentarnya ya^^

Jodoh Di Tangan Mantan (Terbit Lagi)Where stories live. Discover now