Pondok Pancawarna

90 4 0
                                    



Apa aku harus menyesal pindah rumah?

Mungkin. Aku tak terlalu senang tinggal di sini. Kalau tida salah kota kecil pinggir laut ini namanya Malnet.

Namanya aneh. Kenapa juga aku harus ikut ibu pindah kemari? 

Tapi 'kan kita tidak boleh begitu. Kata ibu itu tidak mensyukuri nikmat. Lalu aku harus bagaimana? Aku sendirian dan kebosanan.

Tak ada anak seumuranku di lingkungan baru ini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali digoda dengan sebutan cantik dan semacamnya, dan dibilang mirip perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan aku berusia 15, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, anginnya berbau amis, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya

Dengan senang hati.

Jangan bilang ibuku.

Ibu dan eyang selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar, dan terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa, palingan jawabannya juga itu-itu saja. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Eyang tambah bilang kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.

Kesalahan ibu dan eyang, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu bercat putih yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai pondok. Aku beberapa kali melewatinya, dan setelah kuperhatikan, bentuknya tidak seperti pondok kok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besar yang indah. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman besar itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu pondok,

Pondok Pancawarna.

Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.

Bayangan Merah di Laut dan Tempat Untuk KembaliWhere stories live. Discover now