First Day of Classes

13 2 18
                                    

QEIZA

Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah di semester tiga. Waktu masih menunjukkan pukul 05.45 saat aku sampai di lobi sekolah.

Sebenarnya, jadwal sekolahku dimulai pukul 06.30. Tapi aku sengaja datang lebih pagi agar aku bisa melihat daftar kelas baru yang ada di mading tanpa dihalangi oleh siswa lain.

Aku menghentikan langkahku saat aku berada di depan mading. Mengamati satu persatu daftar siswa, sambil menunjuk nama demi nama yang ada.

Hingga akhirnya aku berhenti saat aku melihat nama Radea Qeiza Oksana berada pada daftar siswa kelas 11-2, yang berarti, aku masuk kelas unggulan.

Gak. Mungkin.

Aku gak mau.

"Qei, lo kelas apa?" Tiba-tiba ada orang yang menepuk bahuku.

Aku tersentak lalu menoleh. "Gila, kaget. Kelas 11-2 Dyr."

"Ih kita gak sekelas." Dyra ikut mencari namanya di daftar kelas 11-2, lalu ia berhenti di daftar nama kelas 11-6. "QEI! KENAPA KITA GAK SEKELAS?"

Dyra itu salah satu dari empat sahabat perempuanku dari kelas sepuluh, btw. Kita pikir, kita bisa sekelas lagi karena peringkat kita berdekatan, aku peringkat dua, dan dia peringkat empat.

Kita pikir, kita berempat bakal masuk kelas unggulan. Tapi ternyata, cuma kita bertiga yang masuk. Ya, kita berempat sama-sama masuk peringkat lima besar.

Thalia peringkat satu, Rycca peringkat tiga.

Tapi yang masuk kelas 11-2 hanya aku, Thalia, Rycca, dan salah satu sahabat laki-laki ku. Haidar namanya.

Dyra sedikit tidak terima saat tahu kalau Haidar lah yang masuk kelas 11-2. Karena kalau kriteria masuk kelas itu dilihat dari kecerdasannya, harusnya Dyra yang menempati posisi Haidar di kelas baru itu.

"KENAPA HAIDAR MASUK 11-2 SIH? DIA KAN RANKING 7?" Tanya Dyra sedikit teriak sambil menahan air mata yang sudah berkumpul di pelupuk matanya.

"GUE GAK TAU DYR, ASLI. GUE JUGA BINGUNG KENAPA LO GAK MASUK." Aku ikut panik melihat dia sedih seperti itu.

"Kenapa cuma gue yang dipisah? Kenapa kalian bertiga disini? Mana gue masuk kelas paling terakhir." Ucapnya dengan suara bergetar.

"Iya Dyr, ngertii. Gue ngerti banget rasanya. Tapi kan kita beda kelas tuh bukan berarti kita gak main bareng. Kita bisa main pas lagi istirahat atau pulang sekolah." Ucapku menenangkan.

"Iya Qei, bener." Kini wajah Dyra sedikit lebih tenang.

"Udah, jangan nangis, malu ntar kalo ketawan orang." Ucapku sambil menepuk-nepuk pundak sahabatku itu.

"Iya Qei." Ucapnya sambil tersenyum.

"Eh, masuk kelas yuk!" Aku melihat jam yang sudah menunjukkan angka 06.15.

"Yuk!"

Kami pun berjalan ke lantai empat melalui tangga.

Saat sampai di depan kelasku, kita saling dadah dan aku masuk kelas.

"QEIZA!" Teriak sahabatku, Rycca.

Aku melambaikan tanganku cukup semangat, kemudian bertanya,"Ryc, kita duduk bareng kan?" Tanyaku  setelah mengamati kelas yang sudah cukup ramai, dan melihat kursi kosong di sebelah Rycca.

"Iya." Jawabnya sambil menepuk-nepuk kursi itu.

Setelah aku duduk, aku mendengar ada yang memanggilku.

"Qei, bener kan kata gue, lo masuk kelas unggulan." Ucap cewek berkerudung dengan kacamata berwarna coklat, Kaila.

"Haha, iya Kai. Tapi gue sejujurnya gak mau masuk kelas ini." Kataku dengan nada cemas, sedih dan berbagai nada lainnya yang membuat nada bicaraku sedikit membingungkan.

"Loh kenapa?" Tanyanya dengan ekspresi bingung.

"Duh, gue gak yakin bisa survive di sini. Terus katanya anaknya pada ambis, kan? Terus gue gak mau jadi terlalu ambisius juga."

"Lo emang udah ambis kali, Qei." Sela Rycca yang ikut mendengar percakapan tadi.

"Ya kan tadi gue bilangnya 'terlalu ambisius'. Jadi gue ngaku kalau diri gue itu udah ambis. Makannya gue gak mau jadi makin ambis nantinya." Jelasku berbelit-belit.

"Ya udah, jalanin dulu aja sekarang mah." Ucap Kaila.

"Haha iya." Ujar ku dengan kecemasan yang nyata.

Gimana kalau peringkat gue disini anjlok?

Gimana kalau nantinya gue jadi egois karena gue terlalu ambisius?

Gimana kalau temen-temennya pada
ambisius?

Gimana kal—

"Assalamua'laikum." Ucap guru matematika wajib—Bu Iswara, sambil memasuki kelas kami.

"Qei, tau gak?" Tanya Rycca dengan nada pelan.

"Enggak." Jawabku datar.

"Ihh, serius." Ujar Rycca kesal sendiri.

"Lagian lo ngomongnya setengah-setengah." Ucapku tak kalah kesal.

"Katanya, guru yang ngajar di jam pertama di hari senin itu bakal jadi wali kelas kita." Jelas Rycca tanpa mempedulikan hujatan ku.

"Wah? Kok sama lagi? Bukannya kelas 10-2 wali kelasnya Bu Iswara juga?" Tanyaku bingung.

"Gak tau deh."

"Selamat pagi anak-anak." Suara Bu Iswara menghentikan percakapan kami. "Selamat, kalian merupakan orang terpilih yang masuk kelas ini. Tepuk tangan buat semuanya."

Kini suasana kelas tidak setegang tadi.

Aku ikut tepuk tangan, tetapi perasaan ragu-ku masih mendominasi. Perasaan bangga yang mungkin dirasakan teman-temanku hanya ada sekian persen di dalam diri ini.

"Bu, saya kenapa bisa masuk kelas ini?" Tanya salah satu temanku yang bernama Rama. Dia dulu satu kelas denganku.

"Gak tau saya juga. Mungkin Bu Vey salah masukin kamu kali ya?" Canda Bu Iswara yang disambut gelak tawa oleh seluruh siswa kelas.

"Ih ibu, parah pisan." Ujar Rama sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ya gak tau atuh, Ram. Saya juga gak tau. Yang jelas, saya harap kalian bakal betah di kelas ini, dan semoga kalian bisa memberikan yang terbaik untuk kelas ini."

Gak bakal betah.

What's Wrong With Us?Where stories live. Discover now