PROLOG

8.7K 617 31
                                    

Aku teringat sewaktu pertama kali bertemu dengan Laura di usiaku yang masih sembilan tahun, saat itu aku dan keluargaku baru pindah ke sebelah rumahnya. Tubuh Laura agak gemuk dan kulitnya sawo matang. Aku merasa ia sangat cantik, sehingga ketika beberapa bulan kemudian aku mendapatinya menangis sepulang sekolah karena ia ditolak teman sekelasnya, aku mengatakan isi hatiku.

"Menurutku kamu cantik, Laura, temanmu saja yang bodoh sudah menolakmu!"

"Tidak usah menghiburku." Ia menyusut air matanya. Ia sangat manis dalam balutan seragam putih birunya. Rambutnya yang tebal dan bergelombang membuatnya makin menggemaskan di mataku.

"Aku tidak menghiburmu." Aku berjongkok di hadapannya yang sedang duduk di teras rumahnya. "Laura sangat cantik."

Kulihat wajahnya tampak malu-malu. "Terima kasih, ya." Ia mengelus kepalaku lembut, lalu berdiri meninggalkanku masuk ke rumahnya.

Aku hanya mampu menghela napas pelan. Rasyad, adik Laura yang sebaya denganku tiba-tiba menepukku dari belakang. "Semangat, Bro."

"Kamu... menguping?" Aku mengerjap kaget.

"Tidak juga, suaramu sangat keras sampai terdengar ke ujung gang, mau tidak mau aku mendengarnya." Rasyad menaikkan kacamata minusnya lalu menjulurkan lidah sebelum berlari masuk ke dalam rumahnya.

Kurasakan panas menjalari wajah hingga telingaku, pasti saat itu warna merah sudah mendominasi.

💎💎💎

Tiga tahun kemudian, Laura mencari pria yang jauh lebih tua untuk menjadi pacarnya, dengan bayangan kumis dan cambang. Ia tampak bahagia dan mencintai pria itu, tawanya sungguh membuatku betah hanya melihatnya berlama-lama seperti ini.

Lalu tiba-tiba ia melihatku yang sedang mencuci sepeda. Gadis itu melambai padaku dengan senyum lebar.

"Malam Minggu seperti ini, kamu tidak pergi ke mana-mana, Mahes?" tanyanya sebelum menaiki mobil si pria.

Aku menggeleng tanpa senyum. Selalu seperti ini, aku tidak bisa memunculkan senyumku jika melihatnya dengan pria lain meskipun susah payah aku berusaha.

"Semoga kamu lekas mendapatkan pacar." Laura masuk ke mobil lalu menutup pintu tanpa membuka jendela lagi, ia sudah sibuk dengan pria tuanya.

Aku tidak suka melihatnya jalan dengan pria lain, tetapi aku tidak bisa berbuat apa pun. Aku masih mengenakan seragam putih biru sementara Laura sudah memakai seragam putih abu-abu—usia kami terpaut tiga tahun.

"Mahes, ayo masuk, makan malam sudah siap," panggil ibu tiriku.

"Ya, Bu, sebentar lagi." Aku buru-buru membilas sabun yang menyelimuti sepedaku, lalu masuk ke dalam rumah untuk makan malam.

💎💎💎

Kamarku di lantai dua hanya dibatasi dinding yang cukup tipis dengan kamar Laura. Jika orang tua Laura pergi, gadis itu akan mengajak pacarnya ke kamarnya, dan aku yang sedang belajar, membaca majalah, atau bermain game, akan menangkap suara-suara itu. Suara desahan, erangan, rintihan, ranjang yang berderit, dan entah apa lagi. Biasanya aku akan menghentikan kegiatanku, lalu turun ke bawah dan pergi dengan sepeda sejauh mungkin tanpa tujuan.

Saat akhirnya Laura pergi kuliah dan memilih untuk kos meskipun kampusnya masih di dalam kota yang sama, aku bernapas lega sekaligus kesepian. Aku begitu merindukannya, namun setiap kali mengingat bahwa gadis itu selalu bermesraan di kamar dengan pacar-pacarnya—selama bertetangga, Laura sudah tiga kali berganti pria—hatiku berdenyut sakit.

Sejak itu, aku hanya beberapa kali bertemu Laura karena ia jarang pulang ke rumah. Ibunya bilang Laura sibuk kuliah, tetapi Rasyad membisiki bahwa kakaknya itu sibuk berpacaran dengan pria berusia tiga puluhan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 22 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

PEREMPUANKU by EMERALDWhere stories live. Discover now