Prolog

166 8 26
                                    



"Kamu memang bukan makhluk hidup, Ra," ujar gadis berambut cokelat keemasan yang membaringkan tubuh di ranjang dengan santai.

"Aku bernapas, Anne."

Gadis yang dipanggil Anne mendengus. "Ya, bernapas tapi tidak menunjukkan tanda kehidupan."

Sosok gadis lain yang tengah berkutat dengan buku tebal langsung berpaling dan melotot sadis. "Aku masih hidup."

Anne bangkit berdiri dan mendekati sahabat karib sejak SD tersebut. "Kamu memang menunjukkan tanda kehidupan, Ra. Bernapas, makan, tumbuh dan berkembang. Tetapi, ada banyak hal yang membuatmu tampak tak hidup."

"Seperti apa misalnya?" tantang Rara.

"Seperti lulus kuliah dalam jangka waktu yang lebih cepat dengan nilai cumlaude."

"Itu namanya kerja keras, Anne."

"Kamu nggak pernah kelihatan belajar loh!"

"Ngaco!"

Anne memutar bola mata bosan. "Sampai kapan kamu akan menunggunya, Ra?"

Rara bergeming. Ya, sampai kapan ia akan menunggu laki-laki itu kembali? Seminggu, sebulan, setahun...bertahun-tahun? Dia sudah melewati masa penantian yang cukup panjang. Membohongi Anne sama artinya dengan bunuh diri.

"Jangan menunggu seseorang yang tidak memberi kepastian, Ra!"

"Aku nggak menunggunya, Anne!"

Anne tahu bahwa Rara masih menunggu laki-laki itu. Akan terus begitu. Menanti seseorang yang belum tentu kembali. Bukankah hal yang bodoh?

"Siapa tahu dia sudah menikah sekarang. Lihat aja, Mas Satria juga udah nikah dan punya anak. Mereka seumuran 'kan?" Anne mencoba membuat Rara menyadari kemungkinan itu.

"Besok aku kencan deh," sahut Rara asal.

Sekali lagi, Anne mendengus. Gadis itu tahu bagaimana reaksi Rara jika ia meminta sang sahabat mencoba menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Rara bilang tidak punya waktu kencan, sibuk dengan tugas kuliah, takut dimarahi Om Darma hingga alasan tak masuk akal lain. Ya, tentu saja alasan yang paling logis adalah Rara gagal move on. Kapan mereka pernah pacaran? Anne menggaruk kepala yang tak gatal sebelum menyerahkan sebuah amplop berwarna kuning gading.

"Nih!"

"Apa?" tanya Rara mendongak.

"Kamu memang keterlaluan, Ra. Serius jadi penulis sih!" sindir Anne.

Rara mengerucutkan bibir sebelum terpana pada dua nama yang ada di lembar kertas itu. Gadis berwajah manis itu membuka mulut sebentar namun segera menutupnya kembali.

"Mendadak. Gara yang melakukannya kemarin. Baru acara pertunangan—" Ucapan Anne terpotong sebab Rara sudah terburu memeluk gadis bermata biru itu.

"Kehabisan napas nih!"

Rara mengabaikan protes Anne. Gadis itu memeluk sang sahabat erat sebelum berkata penuh ketulusan, "Selamat ya, Anne! Aku benar-benar nggak nyangka loh!"

"Kamu terlalu sibuk ngurusin skripsi dan tetek bengeknya! Aku nikah duluan aja!"

Rara terkikik pelan dan menepuk pundak Anne berkali-kali. Mata gadis itu sedikit berkaca-kaca mengingat Anne bilang tidak akan menikah sebelum genap berusia 25 tahun. Eh!

"Aku ada janji dengan Gara sebentar lagi. Jangan lupa loh! Awas kalau kamu nggak datang dan mengaku sibuk lagi. Aku bakal datang ke rumah dan menyeretmu ke hotel!"

"Siap, Bos!"

"Jangan lupa untuk membawa pacarmu di acara pertunanganku!"

Rara mengerutkan kening. "Lelucon?"

Anne mengibaskan tangan kesal. "Pokoknya kamu harus datang ke acara pertunanganku! Bawa Evan atau siapa aja, terserah!"

"Iya, Anne. Berisik! Aku bakal pergi ke Tokyo besok buat jemput dia!"

"Ra!"

Rara tertawa. "Bercanda! Aku bakal datang sama cowok kok!"

"Jangan bilang kalau cowok itu Mas Satria!"

"Hahaha."

Anne merengut sebentar. "Aku pulang dulu! Saranku tetap tidak berubah, Ra. Cari hot guy sekarang juga!"

"Pergilah! Gara sudah menunggumu!"

"Ingat petuahku!"

"Berisik, Anne!"

Selepas kepergian Anne, gadis berambut pendek sebahu itu menatap sekilas pada topi hitam yang bertuliskan KARA di atas meja belajar. Rara mengambil dan mengusap topi kesayangan itu dengan lembut.

"Aku lelah, Ka," bisiknya lembut sembari menatap sunset yang bergelayut di langit Jogjakarta dari balik jendela.

"Kenapa kamu suka sunset?"

"Indah."

"Ya, sunset memang menawan tapi hanya sekejap."

"Hn."

"Seperti kamu, memberi kenangan indah lalu lenyap."

"Ra?"

"Ya?"

"Aku bukan sunset."

"Lalu?"

"Aku ingin menjadi matahari."

Sayang, matahari itu telah hilang dari kehidupan Rara. Menyisakan musim dingin berkepanjangan selama lima tahun terakhir.

***

Nantikan kelanjutan kisah semanis gula tebu ini dengan cara follow akun saya di sini

https://sweek.com/profile/681121/74088

Krisan yaaaa! Ntar saya edit sebelum diposting di Sweek. :D

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 17, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

HomesickWhere stories live. Discover now