Autobiografi: Inilah 'Habis Gelap Terbitlah Terang' Versiku.

109 0 0
                                    


Namaku Syifa Shara Salsabila, usiaku saat ini 20 tahun. Aku lahir di kota pahlawan, Surabaya, Januari 1998 silam. Kota yang sangat panas yang membuat warna kulitku sedikit gelap, tinggiku saat ini 161cm dengan berat badan 58kg. Ya, memang tidak ideal bak model Victoria’s secret. Aku putri sulung dari pasangan Andri Utomo [46] dan Diennie Adisari [44], memiliki satu adik laki-laki bernama Salman Shira Sabilillah, si keras kepala yang amat sangat kusayangi. Saat ini usianya 18 tahun, ia hendak menyusulku memasuki dunia perkuliahan, insyaallah.

K

eluarga kecilku adalah teman baikku sejak kecil. Saat berusia 2 tahun, aku sudah merengek untuk segera pergi ke sekolah. Hingga akhirnya setahun kemudian, mamaku menyekolahkanku di salah satu Taman kanak-kanak islam swasta di Surabaya, Al-Muttaqien namanya. Aku bersekolah disana hingga SD kelas 6. Aku adalah gadis yang masih terbilang sangat muda pada awal masuk sekolah. Sehingga tak jarang guru di sekolah meremehkan kemampuan belajarku.

“Dia masih lima tahun usianya, belum cukup umur untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar bu!”, ujar salah satu guru SD pada mamaku saat itu. Ayah dan mamaku adalah orang yang selalu mengusahakan sesuatu terbaik demi anaknya, sama seperti orang tua pada umumnya. Hingga setelah perdebatan yang cukup panjang, akupun diizinkan bersekolah disana. Saat bersekolahpun semuanya tidak berjalan baik. Pada saat itu ayah dan mamaku bukanlah orangtua yang bekerja dengan gaji tinggi, kami masih hidup seadanya. Dibandingkan teman temanku yang lain, aku tidak ada apa apanya jika dilihat dari penampilan dan fasilitas belajar. Jika semua temanku selalu mengganti seragamnya dengan yang baru setidaknya sebulan sekali, aku harus menunggu kenaikan kelas dulu. Ohiya, terlebih lagi aku adalah salah satu murid korban bullying pada saat itu, karena penyakit yang kuderita. Aku punya banyak teman, tapi di waktu tertentu, teman-temanku menjauhiku. Untung aku punya beberapa saudara yang bersekolah disitu juga, adikku salah satunya. Tak jarang ia membelaku saat aku diejek teman temanku. Sungguh hatiku sangat sakit jika harus dipaksa kembali ke masa itu. Setiap pulang sekolah aku selalu mengurung diri di kamar dan menangis. Sorenya, aku harus kembali ke sekolah untuk mengaji di TPQ sekolahku. Rasanya aku ingin mati saja selama lima tahun di sekolah dasar  hidup seperti itu. Sungguh aku memendam dan mencoba merahasiakan itu dari kedua orang tuaku. Tempat yang sangat kutakuti adalah sekolah. Mau tidak mau, tempat itu adalah tujuanku bangun di pagi hari, dan baru pulang dari mengaji pukul 18.00. Rasanya seumur hidup aku ingin dirumah saja, betapa mencoba sekeras mungkin, gadis berusia 9 tahun ini untuk kuat.
Pada saat usiaku 10 tahun, aku mulai tidak mampu memendam semuanya. Aku bercerita kepada ayah dan mamaku atas segala yang terjadi di sekolah. Ayah adalah orang yang paling tidak terima dengan hal ini, tapi mama mencoba meredam emosinya.

“Kamu pasti bisa melewatinya, sebentar lagi kamu masuk SMP, semangat! Mama sayang kamu!”, itu yang selalu mama ucapkan padaku saat aku terjatuh.

Aku kembali menjadi siswa biasa di SMP Islam Swasta Khadijah Surabaya, sekolah yang tidak murah pada zamannya. Aku sudah bukan korban bullying lagi disini. Aku sudah tergerak untuk menjadi siswa dengan kepercayaan diri yang tinggi. Aku menyibukkan diriku dengan dunia kepenulisan. Beberapa piala kemenanganku dipajang di sekolah tersebut, hingga pada tahun keduaku, aku dijadikan sebagai Ketua Umum Ekstrakulikuler Kepenulisan dan Jurnalistik di sana. Di sekolahku ini, aku memilih untuk tinggal di asrama atau bisa dibilang pondok pesantren. Tetapi karena kebersihan tempat yang kurang terjaga, penyakitku dirasa semakin parah. Hal itu sedikit merepotkan mama karena harus bolak-balik menjengukku ke asrama. Dan pada akhirnya di tahun ketigaku, dokter memerintahkan mama untuk mengeluarkanku dari asrama karena ditakutkan keadaanku semakin buruk.

Di usia 14 tahun, aku pindah ke Sidoarjo untuk beberapa alasan. Akupun melanjutkan SMAku di Madrasah Aliyah Negeri Sidoarjo, aku masuk di sekolah ini dengan jalur prestasi karena beberapa piala yang pernah kudapatkan saat SMP. Aku merasa hidupku diperbarui saat meninggalkan kota lahirku. Akupun sangat bersemangat memulai ajaran baru disana. Masih dengan hal yang sama, aku masih menekuni dunia tulis menulis dan jurnalistik. Dan dengan kejadian yang sama, ditahun keduaku aku diangkat menjadi ketua umum El-Manzil, ekstrakulikuler bidang tulis menulis majalah sekolah MAN Sidoarjo. Sungguh betapa tidak menyangkanya aku pada saat itu.

Aku adalah siswa yang sangat lemah di pelajaran matematika IPA. Nilai terbaikku adalah 60 untuk pelajaran tersebut. Sampai pada akhirnya aku merengek untuk les privat khusus pelajaran matematika dan IPA pada saat kelas sepuluh. Ironisnya, ayah dan mamaku tidak melihat perubahan apapun pada nilaiku, hingga akhirnya keluar sebuah kalimat dari mulutku..

“Aku sudah nggak mau les privat matematika, IPA. Aku mau les Bahasa Prancis yah, kalau ada. Dimana ya?”

Ayah dan mamaku sungguh terkejut mendengarnya. Tetapi dengan senang hati, ayah mencarikanku informasi tentang les bahasa prancis lewat internet. Sampai akhirnya ia menemukan IFI  [Institut Français d'Indonésie] di Surabaya. Tanpa pikir panjang ayah langsung mendaftarkanku disana. Akupun mulai rutin mengikuti kegiatan belajar mengajar di IFI sejak akhir kelas sepuluh.

Les di IFI pun aku tidak leha leha. Disana teman-temanku semua anak orang kaya. Beberapa diantar jemput supir dengan mobil pribadinya. Aku bersungguh sungguh belajar disana, bayangkan saja, rumahku di Sidoarjo, IFI berada di Surabaya. Aku pulang sekolah pukul 15.00, sedangkan pukul 17.00 aku sudah harus berada di IFI. Aku harus melawan macet, belum lagi saat hujan deras, pasti kehujanan. Sampai kelas, basah kuyup. Tidak jarang aku les menggunakan seragam sekolah. Aku berangkat dengan mengendarai sepeda motor, setiap hari Selasa dan Kamis aku melanggar pak polisi karena di usiaku yang 15 itu aku belum punya SIM. Hal itu kulakukan rutin sampai aku duduk di kelas tiga SMA. Dimana semua teman-temanku konsentrasi belajar menuju Ujian Nasional, mereka mengikuti bimbel dan les privat pelajaran UN, aku malah berusaha untuk mengembangkan Bahasa Prancisku demi cita cita muliaku, yaitu S2 di Prancis.

Ya! Cita-citaku tersebut kumulai dengan berkuliah di Universitas Brawijaya, program studi Bahasa dan Sastra Prancis. Aku masuk disini lewat jalur mandiri, ceritanya lumayan panjang. Jika ingin tahu ceritanya akan kuceritakan di tulisanku yang lain. Aku memang tidak terlalu sulit menerima pelajaran disini karena aku sudah belajar di IFI pada saat SMA. Tetapi tentu saja perjuanganku tidak berhenti disitu. Karena aku merasa akademikku berjalan dengan aman, akupun memilih menyibukkan diri di organisasi. Karena bagiku, berdiam di zona aman tidak seru, aku harus mencari tantangan. Pada saat statusku masih maba, aku masuk menjadi pengurus himpunan mahasiswa program studi dan pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa secara bersamaan.  Aku menyeriusi keduanya hingga di tahun kedua berkuliah aku memfokuskan untuk bergelut di himpunan saja dengan status Koordinator Departemen Infokom.  Ayahku sangat mewanti wantiku untuk mengejar beasiswa LPDP demi tercapainya cita-cita s2 ku kelak. Dengan syarat, baik di organisasi, akademik dan juga menyelesaikan DELF B2. Percaya atau tidak diusiaku yang 18tahun aku sudah mengikuti dua kali DELF B1 dengan satu kali gagal. Dan akhir bulan Maret kemarin, aku gagal di ujian B2ku. Tapi ayahku tak henti hentinya menyuruhku berlatih supaya pada saat aku lulus kuliah, aku sudah harus mendapatkan sertifikat lulus B2. Itulah ayahku, yang pernah kusebut rela melakukan apa saja demi kesuksesanku. Begitu juga mama tentunya! Baginya, duit tak berharga lagi, yang penting aku sampai pada cita-citaku.

Desember 2017, ayah dan mama lah dalang mengapa akhirnya aku mencalonkan diri sebagai kandidat ketua himpunan mahasiswa Bahasa dan Sastra Prancis, FIB UB. Sungguh aku dan mereka sempat berdebat panjang karena berbeda pendapat. Aku menangis mempertahankan pendapatku untuk tidak mau menjadi calon ketua hima. Tetapi ayahku langsung berkata, “Kalau kamu menyerah, Cita-citamu harus direvisi!”. Sungguh kalimat itu yang membunuh ketidakmauanku dan membuatku bangkit lagi diantara tugas-tugas kuliah semester tua yang hampir membuatku menyerah. Akhirnya atas restu mereka akupun resmi menjadi Ketua Himpunan Program Studi Bahasa dan Sastra Prancis 2018. Entah apalagi cerita hidupku berikutnya, tapi aku bersyukur telah melewati susah-senang, pahit-manis kehidupan. Aku selalu percaya, ada kekuatan dibalik kelemahan. Ada cerita sedih, dibalik kebahagiaan seseorang. Dan peran keluarga kecilku sungguh penting dalam perjalanan hidupku, itulah sebabnya aku bilang di awal tulisan bahwa keluarga kecilku adalah teman baikku sejak kecil. Karena merekalah yang mengerti jalan hidup dan perjuanganku melawan malu karena penyakit yang kuderita. Begitu juga ayah dan mama yang tidak langsung menjadi sukses dalam pekerjaannya, yang merintis semua dari nol sehingga kami semua bisa hidup lebih baik sekarang. Jika kau belum pernah merasa bersyukur, coba tanyalah padaku, aku bisa sedikit memberitahumu cara keluargaku bersyukur.

“Percayalah, Allah tidak akan memberi ujian diluar batas kemampuan hambanya, nak!” ujar mamaku disetiap tangisku. Itulah prinsip yang kupegang sampai sekarang.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 23, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Autobiografi: Inilah 'Habis Gelap Terbitlah Terang'  VersikuWhere stories live. Discover now