file: permohonan.

1.5K 442 183
                                    

Seperti apa, sih, rasanya donat?

Aku ingin tahu. Kata teman-temanku, rasanya manis karena diberi gula. Adonannya empuk, seperti bantal. Dan membuat siapapun yang melahapnya pasti ketagihan.

Katanya. Karena aku belum pernah mencicipinya barang segigit pun.

Ketika teman-temanku yang lain bahas tentang donat, aku malah asik mendengarkan obrolan mereka.

"Kemarin Ayahku pulang dari kantor kerjanya beliin aku donat, dong!" kata temanku yang bernama Raihan.

"Aku juga pernah makan donat! Rasanya stoberi. Enak, deh," kata temanku yang lainnya, Satrio.

Temanku yang bernama Rifki mengangguk antusias. "Iya, bener banget! Donat tuh, rasanya enak. Aku pernah nyoba rasa cokelat, vanilla, stoberi, pokoknya banyak, deh!"

Mendengarnya membuatku ingin sekali mencicipi betapa enaknya donat. Pokoknya nanti aku harus minta belikan sama Ayah!

Ketika bel pulang sekolah akhirnya berdentang nyaring, aku cepat-cepat merapikan buku tulis dan keluar kelas ketika sebelumnya menyalami punggung tangan Ibu Guru.

Aku menaiki sepeda bututku dan melajukannya menuju tempat kerja ayahku. Ayahku bekerja sebagai kuli bangunan. Membopong apa saja yang diperlukan untuk membangun sebuah gedung bertingkat.

Jalanan hari ini padat. Ditambah lagi kehadiran cahaya mentari yang bersinar terik, membuatku lelah di tengah jalan. Untung saja aku meniatkan hatiku untuk bertemu ayah lalu meminta belikan donat. Satu donat pun tak apa, asalkan aku pernah merasakan makan donat dan memamerkannya kepada teman-temanku yang lain.

Saat aku membelokkan sepada di tikungan jalan, aku bisa lihat sebuah lahan yang di pusatnya berdiri gedung setengah jadi. Mengayuh lebih cepat, aku akhirnya sampai di depan lahan tersebut.

Aku merebahkan sepada bututku secara asal, lalu masuk ke dalam halaman gedung itu guna mencari ayah.

Itu dia! Aku menemukan ayah setelah celingak-celinguk mencarinya. Ayah tengah memanggul sekarung semen di pundaknya dari mobil bak terbuka menuju tempat gilingan semen.

Aku berlari-lari kecil menuju ayah, mencipta pasir-pasir yang kupijak melayang terbang ke sana ke mari.

"Ayah!" teriakku begitu jarak antara ayah dan aku sudah tidak terlalu jauh.

Ayah berbalik setelah menaruh sekarung semen, dan dari gurat wajahnya terlihat bahwa ayah kaget melihatku ada di sini.

"Kamu kenapa ke sini, Nak?" tanya ayah berjongkok di depanku.

"Ayah," kataku pelan sambil menyilangkan kedua tangan di balik punggung dan meremas jari-jariku sendiri.

"Iya?"

"Ayah ..., aku mau donat."

Ayah sempat kaget sebentar waktu mendengar permintaanku, namun ayah cepat-cepat tersenyum, berkata, "Iya, nanti, ya. Kalau ayah ada uang, pasti ayah belikan."

Aku cemberut mendengarnya. "Aku maunya sekarang!"

"Ya sudah, kamu pulang dulu nanti ayah belikan."

Aku sangat senang mendengarnya. "Benar ya, Yah?"

"Iya."

"Janji?" kataku sambil mengulurkan jari kelingking.

"Janji," kata ayah mengaitkan jarinya dengan jariku.

"Hati-hati, Arya, pulangnya!"

***

Aku mengayuh sepedaku dengan perasaan senang yang membuncah. Akhirnya aku akan segera mencicip donat! Bagaimana, ya, rasanya? Apa benar seperti yang dibicarakan teman-temanku? Aku tak sabaran ingin makan donat!

Karena pikiranku sepenuhnya terpusat pada donat, aku dengan sesuka hati berbelok di tikungan jalan. Seketika itu juga sebuah benda besi beroda hitam memenuhi penglihatan.

Entah apa yang baru saja terjadi, aku merasakan sensasi seolah baru saja dipaksa memasuki pipa karet yang begitu sesak, aku tidak bisa bernapas dengan normal. Pandanganku berputar, tidak bisa menemukan titik jelas. Hal terakhir yang kuingat adalah suara teriakan dan bau amis darah, sebelum pusaran hitam kelam menelanku begitu saja.

***

Sudah empat jam yang lalu Arya minta dibelikan donat, maka di sinilah ayah berada. Sebuah kedai donat sederhana. Setelah selesai dengan kerjaannya, ayah membeli sekotak donat dengan harga murah, yang terpenting bisa membuat Arya senang saja.

"Terima kasih, Pak," ucap ayah saat diterimanya sekotak donat yang terbungkus plastik.

Setelahnya ayah keluar kedai dan berjalan santai menuju rumah. Hanya butuh sekitaran sepuluh menit untuk menuju rumahnya tinggal.

Dengan berjalan santai tak terasa sudah mau sampai rumahnya. Memasuki gang rumah, ayah mengerutkan dahi melihat teras rumahnya dipenuhi warga.

"Ada apa ini?" gumam ayah kepada dirinya sendiri.

Ayah terus berjalan hingga sampai benar-benar di depan rumah. Banyak sekali orang, membuat perasaan tidak enak menggerogoti hatinya.

Melihat ayah datang, salah satu tetangganya menghampiri, berkata, "Sabar ya, Pak. Dia sudah tenang di sana."

Ayah memasuki rumahnya. Dan betapa terkejutnya dia melihat tubuh anaknya terbaring tenang di ruang depan. Di sekitarnya alunan surat Yasin terdengar. Dia ... tidak percaya sama apa yang dilihatnya.

Anaknya, Arya, tidak mungkin sudah pergi. Beberapa jam yang lalu dia masih bisa meminta kepadanya. Tidak mungkin, ini tidak mungkin! Perasaan sesak menggelayuti dadanya, yang perlahan bergumul memenuhi pelupuk mata. Aryanya ... telah pergi. Tidak akan pernah kembali lagi. Selamanya.

Kotak donat itu jatuh dari genggamannya, bersamaan dengan kristal bening yang tidak bisa dibendung. Hanya bisa berdiri, melihat tubuh anaknya dalam diam, seperti sebuah jam rusak yang sudah tidak berfungsi lagi.

Andai hidup seperti jam pasir, yang kalau sewaktu-waktu pasir di satu sisinya habis, bisa diputar dengan mudahnya. Andai ....

Tidak usah berandai, bahkan permintaan terakhir anaknya saja tidak bisa diwujudkan olehnya. Dia merasa telah menjadi orang tua paling bodoh sedunia.

Bersama kristal bening yang kembali meluncur bebas, pertahannya runtuh seketika.

| b e r a k h i r |

810 kata,
Birgie

23-08-2018

Permohonan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang