Dia, Vanilla

58 2 0
                                    


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Nimatnya aroma Vanilla latte takkan menghilangkan nikmatnya secangkir kopi hitam tanpa gula. Karena hidup terkadang manis, terkadang sedih. Seruputlah perlahan. Biarkan aromanya menguar.

Minggu adalah hari di mana aku tak memiliki banyak waktu untuk me time. Tapi hari ini, aku sedang tak memiliki pekerjaan untuk kulakukan. Semua projek telah selesai dan projek selanjutnya baru dimulai dua minggu ke depan. Sebagai CEO sebuah WO yang sedang berkembang, aku hampir tidak memiliki waktu untuk menikmati hari minggu.

Matahari telah condong ke ufuk barat. Sebentar lagi rona jingga itu akan menghiasi langit. Rona yang pernah begitu kucintai. Rona yang pernah membuat jantungku selalu berdegub kencang.

Aku kembali melangkahkan kaki ke café itu. Café di mana dulu aku terbiasa menghabiskan waktuku denganya. Bukan untuk mengenangnya atau karena aku masih berharap dia kembali. Dia adalah masa lalu. Dan aku harus berdamai dengan masa lalu itu jika ingin terus melangkah.

Aku tak harus berusaha melupakanya. Yang aku tahu semakin aku berusaha melupakannya, aku semakin mengingatnya dengan jelas. Bayangan itu semakin mengikatku dengan erat. Jadi kuputuskan untuk kembali ke café ini. Aku tak boleh lagi terus mengurung hatiku pada kenangan itu.

Kuhentikan kakiku tepat di depan pintu masuk. Pintu ini dulu sering kulewati sembari mengenggam tangannya. Kutarik nafas perlahan, kutahan dalam hitungan ketiga kuhembuskan kembali secara perlahan. Aku masih merasakan debaran itu. Debaran setiap kali melangkah pada pintu ini.

Dengan keyakinan penuh kulangkahkan kakiku memasuki ruangan. Kuedarkan pandanganku mencari tempat duduk kosong. Dan aku menemukannya. Di sudut ruangan. Kuingat jelas tempat itu adalah tempat favoritku dengannya. Tak ada meja kosong lainnya selain itu, sembari kembali menghembuskan nafas kuseret kakiku ke arah meja itu.

Rasanya masih sama seperti dua tahun lalu, saat terakhir kali aku bisa menggenggam tangannya. Saat terakhir kali aku bisa menatap matanya yang bersinar. Aku duduk di tempat duduk yang biasa dia duduki. Aku ingin tahu bagaimana rasanya. Ini adalah tempat duduk favoritnya, dari sini, aku bisa melihat ke arah pintu masuk sekaligus aku bisa melihat lalu lalang di luar sana melalui jendela kaca di samping kananku. Dulu aku hanya bisa menatap ke arahnya. Kini aku tahu kenapa dia membiarkanku selalu duduk di seberangnya, supaya aku hanya menatapnya.

Kutarik nafas lagi berharap sisa-sisa aromanya masih tertinggal. Ah.... Aku masih terus bergulat dengan hatiku. Sejauh apa pun aku berusaha menghapusnya, dia tetaplah yang terindah. Aku bahkan tak pernah berniat menggantinya.

"Mau pesan sekarang atau nanti, Mas?" suara pelayan itu membuyarkan seluruh lamunanku.

"Vanilla latte panas jangan terlalu manis dan kopi hitam gulanya setengah sendok," jawabku tanpa melihat daftar menu yang disodorkannya. Tanpa kusadari aku memesan dua porsi minuman seperti biasanya dulu aku bersamanya. Tapi kuputuskan untuk membiarkannya. Aku penasaran dengan minuman kesukaannya itu. Biarkan saja ini akan menjadi moment terakhir aku mengingat tentangnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 11, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Dia, VanillaWhere stories live. Discover now